Menuju Kabinet Jokowi 2.0, Aceh Utus Siapa?
Situasi politik paska Pilpres 2019 dapat tergambarkan secara gamblang dalam sebuah buku yang berjudul Politic; Who Gets What, When, and How karya ilmuwan politik Amerika Serikat bernama Harold Dwight Lasswell. Definisi Siapa Memperoleh Apa, Kapan, dan Bagaimana merupakan bagian dari perilaku politik yang dalam bahasa lebih populernya dikenal dengan istilah “there is no free lunch” atau tidak ada yang namanya makan siang gratis. Dan hal tersebut ialah benar adanya karena semua pihak sedari awal sudah saling paham bahwa memang tidak ada yang namanya makan siang gratis dalam politik kekuasaan, sebuah ikatan politik tidak dibangun karena alasan persahabatan sejati, melainkan hanyalah sebuah kepentingan hakiki.
Pasangan presiden dan wakil presiden terpilih Pilpres 2019 Jokowi-Ma’ruf saat ini tengah disibukkan dengan penyusunan komposisi kabinet periode 2019-2024. Sementara itu, rekanan partai koalisi siap sedia menanti jatahnya masing-masing. Dalam praktik politik, bagi-bagi kue kekuasaan hasil perjuangan adalah hal yang lumrah terjadi karena tanpa adanya deal-deal politik, maka relasi politik antar partai politik sulit untuk dicapai. Namun yang menjadi catatan saat ini adalah sejauh mana Jokowi sebagai sang empunya kue mampu menempatkan tiap-tiap bagian sesuai dengan porsinya.
Paska penetapan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2019, Jokowi menyampaikan bahwa dirinya adalah presiden untuk seluruh rakyat Indonesia, maka baginya tidak ada lagi yang namanya Cebong atau Kampret. Karena itu dalam pembentukan kabinet, Jokowi akan mempertibangkan setiap unsur dan golongan yang ada, mulai dari aspirasi partai koalisi, bantuan kalangan profesional, dan tidak lupa kekuatan dari kelompok sipil. Selain tiga golongan tersebut, masih terdapat satu kelompok lagi yang sepertinya bakal masuk hitungan, yaitu potensi partai oposisi.
Silaturahmi antara Prabowo Subianto (Gerindra) dengan Megawati Sukarno Putri (PDI-P) beberapa waktu lalu membuat publik berspekulasi, apakah peristiwa tersebut pertanda akan rujuk dan membangun kembali romatisme masa lalu saat bahu-membahu menggotong Jokowi dalam menaklukkan DKI, dan sepertinya kini sudah saatnya kembali berkolaborasi demi NKRI. Kemudian disisi lainnya, PAN dan Demokrat akhir-akhir ini juga ikut menjadi sorotan akan potensinya merapat ke koalisi Jokowi. Kehadiran partai-partai oposisi tersebut sebenarnya membuat kegaduhan dalam internal partai koalisi, karena partai-partai pendukung Jokowi tersebut khawatir jatah kursinya akan berkurang.
Dalam ketidakpastian politik, didekati bukan berarti akan diberi, bisa saja cuma sekedar safari. Namun, ditengah pilihan yang ada, alangkah eloknya apabila Gerindra, PAN, dan Demokrat tetap berada dalam satu barisan oposisi bersama dengan PKS dan juga Berkarya, hal ini penting agar terciptanya keseimbangan dalam sistem pemerintahan berupa check and balance bagi rezim yang berkuasa, sehingga iklim demokrasi di Indonesia berjalan dengan sehat. Bahkan seorang politikus berkebangsaan Inggris, Lord Acton, pernah mengataan bahwa “power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely”. Oleh karena itu, agar rezim di masa mendatang ini tidak terjebak dalam perilaku korupsi yang brutal, maka kubu oposisi harus diperkuat agar demokrasi bisa berselancar diatas derasnya arus gelombang kekuasaan.
Menteri Aceh
Indonesia tercatat sebagai negara yang memiliki beragam etnis, suku, dan budaya yang tersebar luas dalam 17 ribu pulau yang ada. Kebesaran tersebut ternyata tidak hanya menjadi sebuah kekayaan dan kebanggan tersendiri bagi bangsa ini, namun hal tersebut juga menjadi sebuah dilema bagi Jokowi dalam menentukan putra terbaik bangsa untuk bisa ikut masuk dalam kabinet kerja. Sulit rasanya untuk memaksakan bahwa setiap daerah dari ujung Aceh hingga ujung Papua memiliki satu menteri dalam kabinet, oleh karena itu pertimbangan keterwakilan daerah per propinsi sepertinya mustahil untuk diwujudkan.
Khusus untuk Aceh, ternyata hampir di setiap era pemerintahan terdapat perwakilan Aceh ke istana negara. Mulai dari presiden pertama Soekarno hingga saat ini Jokowi pasti setidaknya menyelipkan satu nama putra terbaik Aceh. Beberapa yang masyhur diantaranya seperti Hadi Thayeb, mantan Gubernur Aceh ke 12 yang dipercaya sebagai Menteri Perindustrian era Soekarno. Lalu mantan Gubernur Aceh lainnya Ibrahim Hasan juga ikut dipercaya oleh presiden berikutnya Soeharto pada jabatan Menteri urusan Pangan.
Selanjutnya paska reformasi, mantan aktivis mahasiswa ’78 asal Aceh yang bernama Hasballah M. Saad, dipercaya sebagai Menteri urusan HAM era presiden Abdurrahman Wahid. Lalu tidak ketinggalan politisi PPP Bachtiar Chamsyah yang dipercaya untuk menjabat sebagai Menteri Sosial di dua era sekaligus yaitu Megawati dan SBY. Periode kepemimpinan SBY sepertinya menjadi era terbanyak orang Aceh di pusaran kabinet, selain Bachtiar Chamsyah, rupaya masih ada Mustafa Abubakar yang sempat menjabat sebagai Menteri BUMN, lalu ada Azwar Abubakar yang menjabat Kemenpan RB. Dan tidak ketinggalan Sofyan Djalil yang mencicipi jabatan sebagai Menkominfo dan Menteri BUMN secara bergantian, tidak berhenti disitu, hebatnya lagi pria asal Langsa ini masih eksis menjabat di periodenya Jokowi, beberapa jabatan yang pernah diemban seperti Menko Perekonomian, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional, dan terakhir Menteri Agraria dan Tata Ruang.
Tokoh Aceh
Jika menelusuri nama-nama tokoh Aceh dengan reputasi nasional maka sulit untuk ditemukan keberadaanya. Mungkin ada, tapi ia sekedar memiliki garis keturunan dari orang tuanya tanpa pernah melihat matahari terbit di Aceh. Mungkin ada, tapi ia hanya dikenal dikalangan elit saja tidak oleh masyarakat umum. Menelisik sejumlah public figure kenamaan Aceh yang memiliki pengalaman birokrasi dan masih aktif berkiprah dalam berkontestasi politik setidaknya dalam lima tahun terakhir maka ditemukan nama-nama seperti Muzakir Manaf, Tarmizi Abdul Karim, dan Ghazali Abbas Adan yang menurut hemat penulis potensial untuk diberikan kesempatan masuk dalam kabinet kerja Jokowi.
Kemesraan yang tengah terbangun antara Gerindra dengan PDI-P saat ini bisa mengantarkan Muzakir Manaf ke kursi eksekutif di kabinet Jokowi. Ketua Dewan Penasihat DPD Partai Gerindra Aceh ini bisa dikatakan sebagai wajahnya masyarakat Aceh untuk saat ini, mengingat partai lokal besutannya Partai Aceh masih sebagai pemilik suara mayoritas di parlemen Aceh. Perlu diingat bahwa tingkat kepercayaan publik Aceh terhadap Jokowi saat ini berada di titik terendah merujuk pada hasil Pilpres 2019, keberadaan Muzakir Manaf di kabinet adalah jalan mulus bagi Jokowi untuk melakukan rekonsiliasi terhadap salah satu wilayah “garis keras” versi Mahfud MD ini. Bagi Muzakir Manaf, pengalaman mengurus KONI Aceh bisa menjadi batu loncatan baginya untuk menjabat sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga RI.
Sementara itu, sederet pengalaman birokrasi yang pernah diemban oleh Tarmizi Abdul Karim merupakan nilai lebih yang tidak dimiliki oleh pejabat lainnya. Mantan Bupati Aceh Utara (1997-2002) ini pernah menduduki jabatan sebagai Pejabat Gubernur di tiga propinsi sekaligus, yaitu; Kalimantan Timur (2008), Aceh (2012), dan Kalimantan Selatan (2015-2016). Pengalaman emas tersebut menjadikannya cocok untuk mengenban tugas sebagai Meneteri Dalam Negeri atau Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional.
Begitu halnya dengan sosok Ghazali Abbas Adan yang selama ini mewakili rakyat Aceh di level legislatif baik DPR-RI maupun DPD-RI. Lebih lanjut, pengalamannya di kancah DPD-RI membuatnya akrab dengan hal-hal yang berkaitan dengan otonomi daerah dan sebagainya, sehingga cocok untuk menjabat sebagai Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Dan jangan lupa pula, Ghazali Abbas Adan merupakan jebolan kontes pencarian duta pariwisata Abang-None Jakarta tahun 1979, sehingga posisi Menteri Pariwisata juga cocok disematkan padanya.
Selain nama-nama beken diatas, masih ada nama-nama lain yang bisa dilirik oleh Jokowi dari kalangan sipil dan profesional. Pada dasarnya, popularitas bukanlah prasyarat utama untuk menjadi seorang menteri, memiliki integritas dan etos kerja yang tinggi dirasa sudah cukup mumpuni untuk menjadi pembantu presiden. Buktinya Susi Pudjiastuti yang jauh dari kata populer di kalangan masyarakat umum sebelum menjadi menteri mampu bekerja begitu impresif sejak didapuk sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan, pemilik Susi Air ini terbukti sulit diguncang dari ancaman reshuffle Kabinet Kerja Jokowi periode 2014-2019.
Secara historis, keberadaan menteri asal Aceh di kabinet presiden adalah hal yang sudah turun-temurun dilakukan oleh presiden-presiden sebelumnya, namun potensi absennya menteri asal Aceh juga besar kemungkinan mengingat Aceh adalah penyumbang suara terkecil di Indonesia bagi Jokowi. Adapun tulisan ini tidak bermaksud untuk meng-endorse ataupun mengadvokasikan kepentingan pihak tertentu. Penulis sekedar menyampaikan antusiasme terhadap proses pembentukan kabinet kerja presiden terbaru. Penulis juga ingin menguraikan rasa penasaran diri, yaitu akankah Jokowi sakit hati dan tidak melanjutkan tradisi, atau malah move on dan melakukan rekonsiliasi dengan memampang setidaknya satu wajah putra terbaik Aceh dalam kabinet kerja. Patut ditunggu!
Penulis: Saddam Rassanjani, S.IP, M.Sc
Imail: sany.arrahman@gmail.com