Ada Apa Dengan Garam?
Garam termasuk komoditi pangan yang diperlukan di masyarakat. Walaupun dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 27/M-DAG/PER/5/2017, tentang harga acuan pembelian Sembilan Bahan Pokok (SEMBAKO), garam tidak termasuk kedalam kesembilan komoditi pangan tersebut. Meskipun demikian kebutuhan akan ketersediaan garam tidak bisa dilepaskan oleh masyarakat Indonesia.
Beberapa sumber data, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Pusat Statistik (BPS), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), dan Kementerian Perdagangan (Kemendag), menyatakan bahwa permintaan akan ketersedian garam di masyarakat pada tahun 2017 sekitar 3,6 juta ton. Sementara garam produksi lokal yang mampu dihasilkan hanya sebesar 916,9 ribu ton saja. Artinya, pada tahun 2017, Indonesia mengalami defisit garam sekitar 2,7 juta ton. Sementara itu, pada tahun 2018 jumlah impor garam dilaporkan telah mengalami peningkatan hingga 3,7 juta ton. Hal ini lagi-lagi disebabkan oleh jumlah produksi garam lokal yang sangat rendah pada tahun 2018.
Ironi
Kebutuhan akan garam yang tinggi di Indonesia berbanding terbalik dengan ketersediaan garam produksi dalam negeri. Bahkan hasil produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi setengah dari permintaan garam tersebut. Lalu yang menjadi pertanyaanya jika garam produksi dalam negeri tidak mampu memenuhi setengah permintaan garam masyarakat darimana pemerintah menutupi kekurangan yang ada? Jawabannya mudah yaitu dengan mengimpor garam.
Pada tahun 2016, Australia menjadi negara pengimpor garam terbesar untuk Indonesia. Sebanyak 1,8 juta ton garam negeri kangguru tersebut masuk ke Indonesia. Selain Australia, beberapa negara seperti India, Tiongkok, Selandia Baru, Jerman, Denmark, Singapura, juga turut “membantu” Indonesia dalam mengatasi kekurangan garam. Negara-negara tersebut rata-rata mengimpor sebesar 55,7 ribu ton garam. Data tersebut dihimpun oleh katadata.co.id yang bersumber dari BPS.
Lalu ironinya dimana? Indonesia merupakan negara tropis dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia. Dimana panjang garis pantai di Indonesia adalah 99.093 km2. Sebagai negara tropis, Indonesia setidaknya disinari matahari selama 6 bulan dalam setahun. Beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur bahkan hanya memiliki periode musim penghujan selama 3 bulan dalam setahun. Berdasarkan fakta geografis ini, Indonesia seharusnya mampu menghasilkan garam dengan kuota produksi lebih besar daripada negara lain dan mampu memenuhi kebutuhan garam di negeri sendiri. Namun faktanya, Indonesia mulai mengimpor garam dari negara-negara subtropis dengan jumlah yang tidak sedikit sejak tahun 1990, bahkan produksi garam lokal sempat anjlok hingga 96% pada tahun 2016.
Siapa yang harus disalahkan?
Selama ini kebutuhan garam dalam negeri diperoleh dari hasil petani tambak lokal di beberapa kabupaten di Indonesia. Kabupaten penghasil garam terbesar diantaranya adalah Kabupaten Cirebon (Jawa Barat), Kabupaten Sampang (Madura), dan Kabupaten Pati (Jawa Tengah). Sementara itu, jumlah keseluruhan tambak garam di Indonesia hanya sebanyak 20 tambak. Tambak-tambak tersebut sebagian besar merupakan tambak tradisional yang mengandalkan tenaga angin dan matahari sebagai energinya, sehingga faktor cuaca sangat berpengaruh terhadap hasil panen garam.
Namun akhir-akhir ini cuaca di Indonesia dikatakan tidak menentu. Hujan yang tiba-tiba datang dengan intensitas yang tinggi terjadi belakangan ini, hal ini disebabkan oleh dampak peristiwa alam, La Nina yang terpaksa menghambat jalannya proses produksi. Menurut Mendag, Enggartiasto Puji, menurunnya kualitas air laut juga turut menambah sulitnya peningkatan kualitas garam dalam negeri. Beliau menambahkan wilayah sentra produksi seperti Cirebon mengalami penurunan kualiatas air laut lantaran telah banyak tercemar. Alhasil laut berubah warna menjadi kecoklatan. Nah, kalau sudah begini kira-kira siapa yang harus disalahkan? Apakah petani tambak, pemerintah, atau mungkin alam?
Bagian Akhir
Islam mengajarkan Allah tidak akan mengubah suatu kaum kecuali kaum tersebut mengubah dirinya sendiri. Bila sibuk menjadikan peristiwa alam sebagai kambing hitam dari persoalan yang ada bukankah cakupan masalahnya bisa jadi lebih dari itu. Peristiwa alam hanya menjadi salah satu faktor yang berpengaruh dan menjadi faktor yang tidak bisa dikendalikan manusia. Justru sebaliknya, manusia yang harus mengikuti kehendak alam. Di samping itu, beberapa faktor lain penyebab kelangkaan garam di negeri pesisir pantai ini dapat dikendalikan oleh manusia.
Mengutip informasi dari BBC Indonesia, kelangkaan garam mungkin dapat diatasi dengan beberapa solusi. Menurut pengamat dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudistira, solusi ini dapat dimulai dengan mendorong keberpihakan pemerintah terhadap petani tambak garam. Pemerintah diminta untuk memangkas rantai penyediaan garam yang dinilai begitu panjang. Sebelum garam lokal dapat dinikmati oleh masyarakat, garam tersebut harus melewati setidaknya 7 rantai penyediaan garam. Dimana masing-masing tempat memiliki biaya masing-masing. Hal ini menyebabkan harga garam saat sampai ke tangan konsumen cenderung tinggi sementara petani garam memperoleh untung yang sedikit. Sehingga harapanya pemerintah mampu membuat skema penyediaan garam yang jelas dan memihak kepada petani garam.
Sementara itu, untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas garam produksi dalam negeri dapat dilakukan dengan penambahan daerah sentra produksi garam di Indonesia. Mendag mengatakan daerah Indonesia bagian timur memiliki potensi untuk dijadikan sebagai daerah produksi garam diantaranya adalah Timor dan Flores. Kedua daerah tersebut masing-masing mengalami hujan selama 2 bulan dan 3 bulan dalam setahun. Solusi-solusi tersebut dianggap cukup ideal untuk menangani krisis kelangkaan garam. Dibandingkan dengan impor garam yang hanya mampu menangani krisis dalam jangka pendek, solusi lain dibutuhkan untuk menangani krisis dalam jangka panjang.
Penulis : Shinta Lestari
Mahasiswa Statistik Universitas Syiah Kuala
Intership di JSI