‘Perang Mazhab’ di Pilpres 2019

Read Time:4 Minute, 55 Second

PEMILIHAN Umum (Pemilu) 2019 sudah di depan mata, hanya menghitung minggu saja. Penyelenggara pemilu (KIP dan Panwaslih) sibuk dalam memantapkan agenda sampai hari H. Sementara itu para peserta (parpol dan perseorangan) sedang giat-giatnya menebar kharisma pada konstituen yang ingin diwakilinya, dan tidak ketinggalan para pengamat dan penggiat pemilu yang masih setia dengan berbagai macam analisisnya. Tinggallah masyarakat yang hanya bisa ikut larut dalam menikmati euforia pesta demokrasi lima tahun ini.
Khusus pemilihan legislatif (Pileg), terdapat 20 partai politik (parpol), baik nasional maupun lokal yang siap bertarung. Ini membuat masyarakat memiliki banyak alternatif untuk menentukan perwakilannya di dewan. Sementara itu, kontestasi pemilihan presiden (Pilpres) masyarakat hanya disediakan dua pilihan saja; pasangan nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin (Jokowi-Ma’ruf) dan pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno (Prabowo-Sandi).
Ketentuan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang terlampau tinggi, yaitu 25%, menjadi penyebab mengapa capres dan cawapres yang berlaga pada Pilpres 2019 ini hanya dua pasang saja.
Menakar peluang kemenangan antara pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi, perebutan jabatan RI-1 dan RI-2 kali ini tidak hanya seputar perseteruan analisis ketokohan dan loyalitas pada masing-masing kandidat, namun juga menjadi ajang perselisihan antarpenganut dua mazhab yang sangat populer dalam filosofi ilmu pengetahuan, yaitu positivism dan post-positivism.
Dua mazhab
Tokoh filsuf berpengaruh dunia, Auguste Comte (1798-1857), menggagas pemikiran positivism yang menyatakan bahwa pengetahuan manusia akan sesuatu tidak bisa melebihi kesahihan atau fakta yang bersifat absolut. Positivism tidak mengakui akan adanya hal-hal yang berbau spekulasi dan alasan-alasan non-logis yang tidak didukung oleh validitas data empiris yang jelas.
Realita yang diamati berulang-ulang dan memiliki hasil yang sama dapat digeneralisasikan untuk observasi berikutnya. Berdasarkan karakteristik yang disebutkan di atas, tim sukses (timses) dan loyalis dari pasangan nomor urut 01 Jokowi-Ma’ruf adalah para penganut mazhab positivism.
Melihat sepintas ke belakang, Litbang Kompas mencatat bahwa 57,9% hasil Pilkada serentak edisi pertama yang melibatkan 260 daerah baik kota/kabupaten ataupun propinsi pada 9 Desember 2015 lalu berhasil dimenangkan oleh calon petahana yang mencalonkan diri kembali. Dua tahun berselang, 60,65% lebih petahana memenangkan Pilkada serentak 2017 (rumahpemilu.org).
Kemudian, naik ke level pemilihan yang lebih tinggi, Pilpres 2004 menghasilkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai Presiden RI pertama yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Lima tahun berselang, SBY yang maju sebagai calon petahana mampu menang mudah atas pesaingnya pada Pilpres 2009.
Berkaca pada bukti empirik berupa napak tilas persaingan pada kontes politik baik Pilpres maupun Pilkada, bisa dikatakan bahwasanya penyelenggaraan pemilu cenderung akan dimenangkan oleh calon incumbent. Berangkat dari fakta ini, Timses dan pendukung Jokowi-Ma’ruf yang berafiliasi pada positivism dibekali antusiasme yang tinggi untuk memuluskan jalan Pakde Jokowi melanjutkan amanahnya sebagai Presiden RI periode 2019-2024.
Rasa percaya diri kian meninggi melihat hitung-hitungan jumlah dukungan parpol yang lebih dari setengah merapat ke kubu Jokowi. Keberadaan mesin politik bertenaga Banteng (PDIP) akan ditopang oleh delapan partai sekelas Partai Golkar, Nasdem, PPP, PKB, Hanura, PSI, Perindo, dan PKPI. Dan jumlah tersebut bisa saja bertambah, karena saat ini PBB di bawah besutan Yusril Ihza Mahendra yang masih “malu-malu” mengisyaratkan diri akan segera bergabung dalam barisan partai pendukung Jokowi.
Oleh karena itu, melihat iklim politik tahunan yang terjadi dalam beberapa tahun belakangan dan diperkuat dengan komposisi dukungan partai politik yang meruah, timses dan pendukung Jokowi yang berpedoman pada tarekat Positivism sangat percaya diri untuk mengantarkan pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin ke puncak kekuasaan.
Di sisi yang berseberangan, kepercayaan diri timses dan pendukung aliran positivism dibantah langsung oleh timses dan pendukung yang menganut mazhab post-positivism (Karl Popper, 1934). Penganut mazhab ini melihat manusia memiliki perilaku yang tidak konstan dan cenderung berubah-ubah, sehingga setiap manusia memiliki nilai sendiri yang tidak dapat digeneralisasi. Timses dan pendukung yang berasal dari kalangan post-positivism ini tak lain dan tak bukan adalah barisan relawan pemenangan pasangan nomor urut 02 Prabowo-Sandi.
Menyukai hal baru
Gejala sosial yang tercermin pada rasa kecewa terhadap kinerja pemerintah saat ini dan rasa muak terhadap kandidat yang pernah menduduki kursi kekuasaan adalah ciri-ciri para pemilih yang bermazhab post-positivism. Karakteristik masyarakat penganut post-positivism yang lebih menyukai hal yang baru daripada yang lama inilah, yang nantinya dapat mengantarkan ambisi Prabowo Subianto ke singgasana tertinggi di Indonesia bisa saja terwujud.
Pilkada serentak 2018 lalu yang merupakan “ajang pemanasan” bagi parpol dalam menyongsong Pemilu 2019 menghasilkan cerita di luar ekspektasi penganut positivism. Hasil akhir pemungutan suara di level pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur; 10 dari 12 calon yang berstatus petahana harus rela digusur posisinya oleh non-petahana. Jika diibaratkan dengan sesuatu, maka kondisi yang terjadi ini layak diibaratkan dengan pertandingan sepakbola, bahwa selama bola itu bergulir, apa pun masih bisa terjadi. Dan petaka bagi pemuja positivism tersebut tentu menjadi sebuah kabar gembira bagi para penganut gerakan post-positivism.
Kemudian, satu peristiwa lain pada Pilkada 2018 yang membuat relawan Prabowo-Sandi bersukacita adalah merosotnya suara PDIP di daerah. Dari 17 pasangan calon yang didukung oleh partai penguasa tersebut, hanya enam daerah yang berhasil dimenangkan, sementara itu 11 sisa diamankan oleh koalisi parpol yang tidak ada kader PDIP di dalamnya. Mulai meredupnya sinar PDIP akhir-akhir ini, bisa menjadi momentum kalangan post-positivism untuk mewujudkan kampanye #2019GantiPresiden.
Keberadaan mazhab post-positivism dalam filsafat ilmu pengetahuan adalah untuk menutupi kelemahan yang dimiliki oleh mazhab positivism. Oleh karena itu, Pilpres 2019 ditinjau dari dua mazhab yang berbeda ini, tidak berargumentasi untuk mendukung salah satu kandidat tertentu. Akan tetapi, hanya ingin mencoba menganalisis karakteristik para pemilih dan para kandidat dalam menjalankan pesta demokrasi dari sudut perspektif yang lebih menarik.
Harapan bersama masyarakat Indonesia terhadap siapa pun presiden/wakil presiden periode 2019-2024 yang nantinya terpilih, tentu bermuara pada ujung yang sama, yaitu terciptanya keadilan dan kesejahteraan yang sebesar-besarnya bagi bangsa Indonesia.
 
*Tulisan ini telah dimuat di Harian Serambi Indonesia edisi 17/01/2019
*Saddam Rassanjani, S.IP, M.Sc., Peneliti di Jaringan Survei Inisiatif.
*Email: sany.arrahman@gmail.com

About Post Author

Rizal

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %