Lex Specialis PILKADA Aceh
Iklim perpolitikan tanah air kembali menghangat memasuki momentum perhelatan Pemilihan Kepala Daerah serentak. Aroma kompetisi antar kandidat semakin kentara di daerah yang menggelar Pilkada tahun ini. Tidak terkecuali di Aceh – meski pergulatan antar kandidat dalam meraih kursi kepala daerah masih berlangsung setahun lebih lagi – namun geliat kompetisi antar calon kandidat sudah mulai terasa dan tidak kalah semarak dengan daerah lain.
Memasuki era perdamaian, konflik seakan belumlah usai dari sejarah Aceh. ketika era konflik Aceh kerap berhadapan dengan konflik bersenjata, pasca damai Aceh kerap berhadapan dengan konflik regulasi. Terutama setiap perhelatan pesta demokrasi digelar. selalu disertai dengan “drama” konflik regulasi antara UUPA vis a vis UU yang berlaku secara nasional. Adalah UU No. 8 /2015 perubahan atas UU No. 1/2015 tentang Pilkada (UU Pilkada) yang memantik keresahan sebagian kalangan melalui pasal pasalnya yang dinilai menghambat seseorang dalam memuaskan syahwat kekuasaan. Apa pasal? Ialah Pasal 7 hurus s dalam UU Pilkada yang mengatakan, bahwa anggota DPR, DPD, dan DPRD cukup memberitahukan pencalonannya sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah kepada pimpinan, sehingga tidak perlu mengundurkan diri. Pasal tersebut dinilai diskriminatif, karena Anggota legislatif tidak perlu mundur cukup memberitahu pimpinan, sedang di ketentuan lain dalam UU tersebut (Pasal 7 Huruf t dan u) profesi selain anggota legislatif (PNS, TNI/POLRI, BUMD/BUMD) justru wajib meninggalkan status dan jabatannya begitu hendak maju.
Hal demikian dirasa tidak fair, dikarenakan calon yang berlatar belakang aparatur sipil harus berkompetisi face to face dengan calon yang berlatar belakang legislator yang masih berstatus sebagai anggota aktif lengkap dengan segala fasilitas dan atribut lain yang melekat padanya sebagai pejabat negara. seorang anggota dewan dapat mencalonkan diri menjadi kepala daerah sembari tetap menjadi anggota. jika tidak terpilih, masih ada harapan duduk kembali di kursi dewan. sementara mereka yang berlatar aparatur negara harus siap gigit jari bila tidak terpilih jadi kepala daerah. Kursi kekuasaan tak dapat status abdi negara lenyap.
Alhasil atas dasar pemberlakuan aturan berbeda antara Anggota dewan dan aparatur sipil inilah lantas dilakukan Uji materi terhadap Pasal 7 huruf s UU No 8 tahun 2015 yang diajukan oleh dan Dr Ali Nurdin. MK dalam Putusan Perkara Nomor 38/PUU/-XIII/2015 mengabulkan sebagian permohonan judicial review. Pasal 7 huruf s UU a quo dianggap inkonstitusional. Maka sejak dikeluarkan putusan tersebut, sahlah anggota dewan juga wajib mundur dari jabatan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak ditetapkan sebagai calon sebagaimana yang diatur dalam Peraturan KPU No. 12/2015 tentang Pencalonan dalam Pilkada.
Lantas banyak pihak kebakaran jenggot dengan aturan tersebut! sebagian anggota dewan yang berhasrat menjadi kepala daerah buru buru mengatakan bahwa Aceh berpeluang tidak ikut putusan MK. Karena Pilkada aceh dapat diatur dengan Qanun. Benarkah ?
UU KHUSUS VS PUTUSAN MK
Disatu sisi UUPA sebagai salah produk hukum yang mengakui kekhususan Aceh dalam struktur ketatanegaraan Indonesia, mengatur seluruh instrumen tata kelola Pemerintahan Aceh termasuk dalam hal penyelenggaraan Pemilu. Aceh diberikan keistimewaan dalam UUPA untuk menyelenggarakan Pilkada melalui instrumen Qanun. Disisi lain, kerapkali ketika momentum Pemilu tiba UUPA kemudian berbenturan dengan produk hukum Pemilu yang berlaku secara nasional. Produk hukum nasional ini ini pun kerap berubah ubah.
Kekhususan Aceh yang termaktub dalam UUPA merupakan kelebihan sekaligus kekurangan Aceh dibanding daerah lain. Melalui UUPA, Aceh memiliki keleluasaan yang luas dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Aceh dapat menyelenggarakan tata kelola pemerintahannya sendiri tanpa harus terikat dengan UU yang berlaku secara nasional. Namun berbeda halnya dalam konteks penyelenggaraan Pemilu. Ketentuan pemilu yang sejatinya dinamis justru menjadi rigid, kaku dan sulit beradaptasi dengan dinamisasi demokrasi tanah air begitu diatur pasal per pasal dalam UUPA. Masih belum lekang dari ingatan kita, ketika pada Pilkada 2012 lalu terjadi polemik calon independen, dimana ketika seluruh Indonesia membuka keran calon independen secara lebar, Aceh justru mengunci keran tersebut rapat rapat melalui pasal 256 UUPA. Beruntung kemudian Palu hakim MK menyelamatkan demokrasi Aceh dengan membatalkan pasal kontroversial tersebut. pun begitu harus ditebus dengan tarik ulur pelaksanaan Pilkada yang melelahkan hingga membuat Pilkada Aceh ketika itu sempat tertunda beberapa kali.
Hal ini menegaskan bahwa UUPA walau memiliki sifat hukum khusus (lex specialis) namun ia sejajar dengan produk hukum lain di Indonesia ketika harus berhadapan dengan Putusan MK. Ini karena Putusan tersebut dapat disejajarkan dengan konstitusi karena alat uji Putusan MK adalah UUD 45. Putusan MK menguji UU dibawah UUD untuk menilai apakah putusan tersebut melanggar konstitusi negara atau tidak. konsekuensinya tidak ada upaya hukum lain untuk bisa mengubah Putusan MK karena Final dan Binding (mengikat). terlebih dalam sejarah pelaksanaan Pemilu di Aceh sendiri, tidak pernah (serta tidak akan bisa) Aceh tidak taat pada Putusan MK.
LEX SPECIALIS
Ada kekeliruan dalam penggunaan terma lex specialist selama ini. Lex specialis digunakan berdasarkan kebutuhan politik. Padahal selayaknya asas kekhususan ini ditempatkan sebagaimana mestinya tanpa memandang kebutuhan politik pihak tertentu. Mengenai Ketentuan mundur Anggota Dewan dalam Pilkada misalnya. dalam UUPA tidak diatur secara khusus ketentuan tersebut. Maka berlaku asas Logische Specialiteit (kekhususan yang logis) disini. Dalam arti ketentuan dikatakan mempunyai sifat khusus apabila ketentuan tersebut selain memuat semua unsur ketentuan yang bersifat umum, juga memuat unsur unsur yang bersifat khusus.
Karena UUPA tidak mengatur secara khusus ketentuan mundur bagi Anggota Dewan, maka untuk menentukan undang-undang mana yang akan diberlakukan maka berlaku asas systematische specialiteit (kekhususan yang sistematis), dalam arti berlakunya ketentuan dalam undang-undang khusus yang telah ada. UU khusus yang mengatur secara terperinci mengenai Pilkada ialah UU No. 1/2015 tentang Pilkada.
Maka dalam konteks Pilkada, UU Pilkada ialah lex specialist dalam Penyelenggaraan Pilkada. Sedangkan UUPA ialah lex specialst dalam tata kelola pemerintahan Aceh. hal ini sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 199 UU Pilkada bahwa Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan Pemilihan di Provinsi Aceh sepanjang tidak diatur lain dalam Undang-Undang tersendiri.
Meski untuk konteks Pilkada UUPA menyerahkan pengaturan lebih lanjut dalam Qanun, namun Qanun sendiri tidak boleh dianggap lebih tinggi daripada peraturan perundang-undangan di yang secara nasional. Materi muatan yang ada di dalam qanun tidak boleh melampaui materi yang seharusnya dimuat di dalam peraturan daerah. Apabila terjadi pertentangan dengan peraturan di atasnya, maka posisi Qanun harus terbuka untuk dapat dikesampingkan oleh peraturan yang hierarkinya lebih tinggi derajatnya. Terlebih ada Palu MK yang menegaskan bahwa ada ketentuan yang melanggar konstitusi dalam UU Pilkada sehingga harus dihapus. Apabila Aceh tetap ingin mengadopsi ketentuan yang sudah dihapus tersebut, sama dengan Qanun Aceh tidak taat Putusan MK alias tak tunduk konstitusi tertinggi Negara. Nah!
Teuku Harist Muzani
Alumnus Fakultas Hukum Unsyiah. Staf Konsultasi Hukum KIP Kota Banda Aceh
Email: pondekteuku@yahoo.co.id
Average Rating