Wagub Mualim?
Peta Kandidat
Pilkada Aceh 2017 memang masih dua tahun lagi, namun eskalasi suhu politik semakin seru. Beberapa nama kandidat calon gubernur Aceh yang akan bertarung pada pilkada 2017 mulai dilemparkan ke publik. Ada Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf, Tarmizi Karim, Nasir Djamil, Zakaria Saman, dan incumbent Dato Zaini. Mereka jelas sudah tidak asing bagi masyarakat Aceh, sehingga soal sosialisasi kandidat gubernur atas nama mereka jadi tidak begitu penting, kecuali kerja-kerja politik untuk memperbesar dukungan masyarakat atau konsituen.
Satu catatan yang dapat diberikan terhadap beredarnya sejumlah calon kandidat gubernur Aceh sejauh ini masih tidak bergerak dari muka lama, dan tampaknya sulit diharapkan akan muncul calon baru yang lebih fresh. Ada beberapa faktor yang menyebabkan tidak muncunya calon alternatif, antara lain, yaitu :
Pertama, kegagalan partai menjadi institusi pendidikan politik bagi lahirnya calon pemimpin. Golkar misalnya, sebagai partai yang mendulang suara kedua terbanyak yaitu 11,11 persen atau 9 kursi tidak percaya diri menjadi inisiator membentuk koalisi partai mengusung calon alternatif, malah mimilih mengikuti arus deras politik populis. Apalagi situasi partai yang masih terjebak pada konflik internal, sedikit banyaknya menguras energi internal dan mencabik elanvitalnya sebagai partai yang lama yang sarat pengalaman. Kisruh yang paling anyar Golkar dengan upaya melakukan PAW terhadap Sulaiman Abda dari jabatan pimpinan DPRA adalah langkah distortif penghamburan kekuatan politik Golkar untuk pilkada 2017.
Dengan kompleksitas masalah di tubuh Golkar Aceh saat ini, sulit berharap lahirnya kandidat fresh dari partai ini, bahkan sangat mungkin berpengaruh terhadap capain-capaian mereka pada pilkada 2012 yang lalu, jika tidak mungkin untuk mengatakan mereka tidak mampu mendulang kembali prestasi pilkada 2012 yang lalu, misalnya di Naganraya, Aceh Barat, Aceh Tengah, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Semeulue, Aceh Tamiang dan Aceh Singkil.
Sementara Nasdem sebagai parnas fenomenal pada pemilu 2012 yang lalu sejauh ini masih wait and see, mereka memang belum menentukan kandidat Gubernur Aceh. Bukan tidak mungkin Nasdem akan menjadi inisiator membangun koalisi dengan beberapa partai untuk memunculkan kandidat gubernur. Tentu membangun koalisi partai bukan suatu hal yang mudah. Salah satu penyebabnya adalah adanya kegamangan partai-partai yang membangun koalisi untuk menentukan calon yang fresh, marketable dan dapat diterima oleh semua partai koalisi. Sesuatu yang mungkin mereka lakukan adalah mencari tokoh lain di luar partai yang dianggap marketable dan dapat diterima. Namun melihat lanscap politik yang ada sejauh ini sepertinya Nasdem akan mengalami kesulitan mencari tokoh untuk menjadi kandidat gubernur yang seimbang, bisa jadi pilihan yang sama dan tidak terelakkan seperti partai lainnya, Demokrat, PKS, Gerindra, Golkar, dan PPP, bergabung dengan PA
Di sisi yang lain, sejauh ini perkembangan Partai Aceh cukup dinamis. Partai ini tidak mengalami problem kaderisasi kepemimpinan, karena mereka masih memiliki cukup banyak barisan kader pemimpin berbasis idologis. Hanya saja jika Partai Aceh tidak melakukan reorientasi model kepemimpinannya, seperti menata sistem rekruetmen dan kaderisasi kepemimpinan berbasis partai dan demokrasi, mereka akan mengalami berbagai persoalan pelik di masa yang akan datang.
Secara kepartaian, Partai Aceh memiliki surplus kader atau elit politik yang berbasis ideologis yang tidak tersalurkan “will power”-nya. Maka mekanisme prosudural dan konstitusinal rotasi kepemimpinan lima tahunan menjadi momentum penting kerja-kerja orbitasi kepemimpinan dalam partai. Momentum pemilu ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin diabaikan sebagai solusi mengelola potensi konflik kekuasaan elit politik partai Atas dasar ini maka kandidat gubernur, walikota dan bupati dari partai Aceh pada pilkada 2017 tetap menampakan wajah “asoe lhok” partai Aceh.
Partai yang lahir paska MoU Hensinki ini masih berada dalam proses transisi antara membangun kultur politik kepartaian dengan kultur garis ideologi perjuangan GAM, dimana kepemimpinan ideologi masa konflik menjadi dominan ketimbang kepemimpinan politik berbasis kepartaian dan demokrasi. Inilah yang menyebabkan tidak akan lahir calon pemimpin dari partai Aceh dari rahim dinamika kaderisasi, demokrasi dan politik internal partai. Suka atau tidak, seiring perkembangan sosio politik dan demokrasi, maka pada waktunya Partai Aceh akan melewati proses ini, yaitu transisi kepemimpinan historis-ideologis kepada kepemimpinan institusionalisasi berbasis kaderisasi dan demokrasi.
Kedua, faktor yang lain adalah perhitungan matematis politik dan high cost politik dalam pilkada. Besarnya biaya politik, kampanye dan tim sukses sering kali tidak berbanding lurus dengan kualitas kerja-kerja tim mereka di lapangan, apalagi mampu memenangkan pertarungan pemilu. Belum lagi biaya politik sudah dimulai dari proses pencalonan, melamar “perahu politik”, membuat banyak partai dan perseorangan harus memperhitungkan kalkuasi-kalkulasi rasional dan prakmatis untuk maju menjadi kandidar gubernur. Di sisi yang lain, banyak pihak akan mempertimbangkan analisa kekuatan politik berdasarkan capaian dan peta pilkada 2012 atau pun “politik arus deras” menjelang pemilu 2017.
Lalu bagaimana dengan jalur perseorangan? Mungkin ini satu-satunya jalur yang dapat diharapkan munculnya kandidat baru yang fresh. Apalagi setelah lahirnya keputusan MK yang mengubah pasal 41 ayat 1 dan 2 UU Nomor 8 tahun 2015 tentang pilkada, dimana calon gubernur dari jalur perseorangan dengan jumlah pemilih 2 juta sampai 6 juta jiwa harus didukung paling sedikit 8, 5 persen. Jika DPT Aceh 4 juta jiwa, maka calon perseorang harus memenuhi syarat dukungan KTP sebanyak 340.000. Syarat ini sangat meringankan dan membuka peluang banyak kandidat memilih jalur ini
Wagub Mualim
Bila memperhatikan pernyataan dukungan partai politik dan gencarnya gerakan dukungan kepada Mualim untuk meraih tahta Aceh 1, maka membenarkan tesis bahwa kondisi partai-partai di Aceh sedang mengalami proses regresif dan krisis dalam melahirkan pemimpin Aceh. Bisa jadi karena kekalahan telak partai-partai ini dalam pilkada 2012 yang lalu menyebabkan mereka melakukan renewel strategi dalam pilkada 2017. Hanya Golkar yang menang di 7 kabupaten/kota, mungkin akan mencoba mengulang kembali sukses mereka, meski di bawah bayang-bayang problem kemelut yang rumit di Golkar. Golkar akan kembali menjadi kekuatan yang dapat diperhitungkan apabila kubu Muntasir cs dan Sulaiman Abda mampu segera melakukan rekonsiliasi yang dapat menyelesaikan konflik internal secara baik.
Situasi yang menarik di perbincangan setelah qua vadis kontestasi kandidat gubernur Aceh adalah siapa wagub Aceh yang dipilih mendampingi Mualim. Pernyataan Muntasir Hamid “menyerahkan kandidat wagub”kepada Mualim adalah pernyataan politik tidak percaya diri sebagai kontestan berkoalisi. Hal itu dapat dimaklumi karena jumlah partai berkoalisi belum kongkrit kekuatannya. Jika benar terjadi dukungan koalisi beberapa parnas, umpamakanlah kekuatan semisal 41 kursi, dimana Golkar 9, Demokrat 8, PPP 6 kursi, PAN 7 kursi, PKS 4 kursi, Gerindra 3 kursi, PKB 1, PBB 1 kusi, PKPA 1 kursi, dan kemungkinan Parlok PDA 1 kursi, maka negosiasi wagub menjadi kepentingan kelompok partai berkoalisi. Lagi-lagi situasi probem konflik Golkar menjadi partai yang tidak pede mendorong kader partainya untuk menjadi calon wagub Mualim. Jika koalisi terjadi, maka hal yang mungkin didorong adalah mencari tokoh di luar partai yang marketable dan dapat diterima oleh semua partai koalisi.
Dalam konteks ini, perebutan posisi wagub menjadi semakin menarik ketika kelompok lain di luar partai mengintai dan mengkristalkan momentum. Salah satu kelompok yang potensial menjadi mesin dan modal politik untuk dipinang atau secara simultan melakukan penampakan kekuatan akar rumputnya adalah kelompok dayah. Politik tengku dayah dalam gerakan sosialnya patut diperhitungkan oleh Mualim sebagai modal politik, sekaligus membangun image syari’ah dalam pencalonan Mualim sebagai Gubernur Aceh.
Gerakan sosial dayah memang bukan gerakan politik, tetapi mengandung kekuatan politik yang tidak dapat diabaikan. Hanya saja dayah dan tengku akan lebih strategis tidak berubah menjadi mesin politik langsung dalam pilkada 2017, katakanlah berwujud dalam pancalonan dari jalur perseorangan. Gerakan dayah akan lebih strategis bila bermertaforsa menjadi gerakan penyeimbang kekuasaan, mengawal arah pembangunan masa depan Aceh, dan melakukan gerakan dakwah amar ma’ruf nahi mungkar.
Namun disisi yang lain, Mualim tidak dapat mengabaikan dinamika yang terjadi dengan Partai Aceh, antara lain situasi ketegangan komunikasi Mualim dengan Dato Zaini, harapan beberapa petinggi PA dan KPA agar Mualim berpasangan dengan “awak droe” (orang dari partai sendiri), adanya perbedaan dan konflik personal antar petinggi PA saat pemiihan Ketua DPRA, menyempal sebagian kecil kader dan grass root pada PNA, dan terakhir kultur kepemimpinan PA Aceh masih cenderung bersifat ideologis dan cenderung berotasi lambat, artinya saat ini PA memiliki banyak elit pemimpin ideologis tetapi tidak memiliki “keurajeun”.
Secara politicosfer sulit untuk membantah selalu saja ada dorongan-dorongan psikologis bagi elit pada kelompok-kelompok tertentu untuk mewujudkan “mimpi berkuasa”. Hal ini ini pun dialami oleh Partai Aceh sebagai dinamika politik dan demokrasi yang tidak bisa terhindarkan. Maka partai akan melakukan logika politik dan mengembangkan dinamika “kehausan politik” itu dengan berbagai bentuk, bisa bersifat political education atau political decree.
Dalam prakteknya perspektif model political education dapat berbentuk model konvensi, survey dukungan calon, usulan-usulan dari bawah (battom up) terhadap pencalonan seseorang atau elit partai. Ringkasnya kegiatan tersebut tidak hanya bermaksud menjaring calon tapi sekaligus mengelola dinimaka “kehausan kekuasaan elit” agar tidak menjadi sesuatu yang kontra produktif bagi partai.
Sementara political decree, lebih bersifat “titah politik”, keputusan tertinggi partai yang harus dilaksanakan terhadap penentuan calon elit tertentu. Partai membangun mekanisme struktural-administratif terhadap potensi-potensi konflik akibat “kehausan kekuasaan elit partai.”
Maka menurut saya Mualim akan cenderung pada pilihan politik yang menguntungkan bagi pencalonannya, yaitu menerima kandidat wagub dari kalangan sendiri, yang ditentukan dalam sebuah mekanisme keputusan partai.
Lalu secara bargaining politik, apa arti koalisi parnas dengan PA pada pilkada 2017 ? Menurut saya parnas sejauh ini tidak menciptakan kendali untuk menguatkan positioning bergaining politiknya, parnas hanya memberikan surplus politik kepada PA untuk melenggang mulus pada pilkada 2017 nanti. PA sangat menyadari dan percaya diri, tanpa dukungan parnas sekalipun mereka tetap menjadi lawan yang sangat harus diperhitungkan.
Jika ini terjadi maka sebelum hajatan pemilu score menjadi 2–0 untuk kemenangan PA, yaitu pertama kegagalan parnas dalam melahirkan adanya kandidat gubernur yang cukup diperhitungkan oleh PA, dan yang kedua, kekalahan parnas koalisi menjadi kandidat wagub bagi Mualim.
Lalu apakah kita masih dapat berharap dari Nasdem, Golkar, PKS, PPP, Demokrat atau jalur perseorangan untuk memberi alternatif pilihan yang seimbang selain Mualim? Suka atau tidak, realitasnya dalam politik apa saja bisa terjadi, politik adalah seni komunikasi tentang bagaimana sesuatu yang tidak mungkin dapat terjadi. Kita tunggu saja! (Nyak Arief Fadhillah Syah)
Penulis adalah Ketua Empaty (Empawering Community) Aceh
Email : nyakarieffadhillahsyah@gmail.com
(Tulisan ini juga dimuat di media acehtrend.co edisi 2 November 2015)
Average Rating