Pemetaan Political Marketing Partai Nasional dan Partai Lokal Pada Pemilu 2009 di Provinsi Aceh

Read Time:76 Minute, 3 Second

Oleh : Aryos Nivada***

Abstrak

Penelitian tentang pemetaan political marketing partai nasional (parnas) dan partai lokal (parlok) pada pemilu 2009 di Provinsi Aceh. Pembatasan tahun 2009, dikarenakan lebih fokus. Penelitian ini lebih memfokuskan kepada (voters), partai kompetitor (competing party), anggota partai (party members), dan kelompok eksternal (external groups) yang menjadi bagian dari political marketing partai. Di sini peneliti lebih tertarik, dikarena akan membandingkan political marketing partai politik di pemilu 2009. Metode penelitian yaitu kualitatif. Teknik analisisnya yaitu analisis diskriftif. Daerah penelitian berada di pusat ibu kota yaitu Banda Aceh. Hasil penelitian menemukan hadirnya tindakan kekerasan dan intimidasi di dalam political marketing yang dahulu sudah ditinggal di era orde baru direproduksi dan diterapkan kembali yakni intimidasi dan kekerasan. Varian baru lainnya dalam political marketing yang dilakukan partai politik di Aceh yaitu mengangkat serta memunculkan issue kearifan lokal. Temuan lainnya penerapan political marketing sangat berpengaruh terhadap tipelogi partai, ditemukan tipelogi partai nasional dengan partai lokal sangat berbeda. Terbagi menjadi bertipe partai Partai Catch-All , partai bertipe kaderisasi modern, partai bertipe berbasiskan massa. Partai yang sengat sekuler, seperti Golkar dan Partai Aceh, dan sangat islamis, seperti; PKS dan PDA.

Kata kunci : political marketing, kekuasaan, dan kepentingan

I. Latar Belakang

Pemilihan umum (pemilu) tahun 2009 di Provinsi Aceh sangat berbeda, unik, dan penuh dinamikanya dibandingkan dengan pemilu di provinsi lain. Hal ini, dikarenakan kehadiran partai lokal  (parlok) di Aceh yang merupakan hasil dari kesepakatan di MoU Helsinki di Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005, pada butir kesepakatan 1.2 “Partisipasi Politik”. Turunan dari kesepakatan dituangkan dalam Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal. Kehadiran partai lokal memberikan warna politik berbeda di Aceh sekaligus bagian dari upaya pemerintahan melakukan transisi politik ke lokalan Aceh.

Pada dasarnya, ada kebutuhan dari konsistuen untuk alternatif pilihan baru melalui partai lokal. Sehingga di pemilu tahun 2009 sangat menarik memahami political marketing dikedua ranah yang berbeda tersebut. Di pemilu tahun 2009 partai nasional tidak hanya dihadapi pada persaingan sesama partai nasional namun menghadapi rival lokalnya yakni partai lokal.

Mengulas sedikit perbedaan mendasar antara partai nasional dan lokal terletak pada kekuasaannya yang hanya dilevel provinsi saja, sedangkan partai nasional sampai pada level nasional. Nilai-nilai kelokalaan pun terakomondir di dalam visi dan misi yang membedakan dengan partai nasional. Belum lagi jenjang siklus administrasi dan pengambilan keputusan yang sifatnya strategis dan urgen bagi kalangan partai nasional harus melibatkan partai nasional yang berada di pusat. Maka otonomi dan kewenangan yang tidak diberikan partai nasional secara luas berakibat membatasi ruang gerak bagi partai nasional di tingkat provinsi.

Mengingat masih minimnya kajian bertemakan political marketing dalam studi politik di Indonesia, khususnya studi komperatif dua aras yang berbeda yakni partai nasional dan lokal Aceh. Secara umum orientasi dari political marketing berbasiskan klasik pastinya seputaran pengoptimalan dari barang-barang politik seperti; spanduk, baliho, kalender dan sebagainya. Lebih jauh lagi diperlukan menelusuran apakah pada tahun 2009 sudah terjadi bergeseran dari cara-cara political marketing yang diterapkan oleh partai politik. Bermuara kepada tujuan prioritas yaitu mendapatkan kekuasaan di dalam sistem kepemerintahan.

Dalam semangat inilah membuat kajian tentang political marketing menjadi penting dipahami oleh para politikus maupun masyarakat secara holistik tanpa terkecuali. Caranya melalui pemahaman dengan kajian riset dan referensi literatur buku. Dengan demikian bentuk strategi dari political marketing menjadi bervarian. Apalagi kajian akan politik marketing masih minim. Oleh karena itu, politik lokal dengan tema pemilu 2009 bagian dari memberikan kontribusi untuk keduanya tersebut.

Pastinya banyak hal berbeda dalam mendesain political marketing yang dilakukan partai politik di pemilu 2009 pada Provinsi Aceh. Tulisan ini bagian dari mengidentifikasi atau inventarisir keseluruhan dari penerapan political marketing oleh partai politik. Bisa dipastikan tergambarkan melalui matriks nantinya hasil dari kajian ini. Tentunya diselaraskan melalui kerangka teoritik. Mentelaah political marketing di pemilu Aceh tahun 2009 akan menggunakan alat analisis dari pemikiran Robert P Ormrod. Dasar utama menggunakan teori Ormrod karena bisa memetakan political marketing dari segi orientasi pasar.

Bagian dari orientasi pasar politik terdiri dari empat bangunan yang merepresentasikan orientasi dari stakeholders yang ada di tengah masyarakat, yakni pemilih (voters), partai kompetitor (competing party), anggota partai (party members), dan kelompok eksternal (external groups) seperti media, warga, serta kelompok lobby dan kelompok kepentingan. Sehingga indikator itulah menjadi acuan dalam menganalisis political marketing yang diterapkan oleh kalangan partai politik di Aceh pada pemilu 2009. Kemudian disinergiskan dengan penyebab atau alasan mengapa partai menerapakan cara-cara di dalam political marketing tersebut.

Fokus partai yang menjadi objek kajian yakni Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Aceh, dan Partai Daulat Atjeh. Komposisi dari objek kajian masing-masing dua partai nasional dan dua partai lokal. Argumentasi pemilihan objek atas pertimbangan bahwa keduanya berbeda secara ideologi dan aliran politiknya. Dasar pertimbangan lainnya karena keberadaannya di nasional dan lokal.

Jadi signifikasi dari kajian tulisan ini berkontribusi pada dua aspek yakni, teoritik dan praktis. Identifikasi awal terdapat fenomena semakin maraknya penggunaan teori dan praktik pemasaran oleh partai politik dalam memasarkan produk politik dan kandidatnya.

Berkaitan daripada itu, kajian ini memiliki barometer untuk membaca maupun memprediksikan political marketing apa yang akan diterapkan pada pemilu 2014 di Provinsi Aceh. Sekali lagi saya tegaskan, bahwa hasil analisis political marketing pada pemilu 2009 di Aceh menjadi bahan rujukan memahami apakah sama political marketing diterapakan pada pemilu 2014 nantinya. Kajian ini tidak memfokuskan pada hal itu.

Sekarang menjadi tanda tanya adalah bagaimana marketing partai politik nasional dan partai lokal pada pemilu 2009 di Aceh? Pertanyaan itu menjadi pondasi kuat mengulasnya dalam bentuk kajian kualitatif dengan teknik analisis diskriptif. Pengumpulan data mencakup lima tahapan yaitu studi dokumen, wawancara mendalam, observasi (survey) lapangan, pengadaan diskusi (focus group diskusi) dan analisis.

Penerima manfaat pada penelitian ini adalah partai politik, akademisi, masyarakat umum. Mereka diharapkan memahami dan mengetahui akan political marketing yang dibuat oleh partai politik dalam menentukan hak-hak politik sebelum menentukan pilihan, juga memperkuat partisipasi mereka untuk terlibat dalam semua proses tahapan pemilu.

No Kegiatan Penerima Manfaat Keterangan
1 Penelitian 2 orang Peneliti utama, anggota peneliti
2 Distribusi Informasi
2.1. Fokus Group Diskusi
2.2. Wawancara Narasumber
2.3. Media sosial
2.4. Tracking Media
 
2.1. 25 org
2.2. 30 org
2.3. 100 org
2.4. 7 media
 
2.1. kelompok sasaran100 %
2.2. kelompok ahli 80 %
2.3. Perempuan 45 %
2.4. Media cetak/elektronik 50%
3 Publikasi
3.1 Kampanye Media
 
500 orang
 
Feed back information
    662 orang  

Sebelum dimulai pencarian data, penulis mengidentifikasikan bagian dari prediksi yang terbagi menjadi peluang dan hambatan ketika di lapangan. Berikut hasil identifikasi;

No Peluang Hambatan Langkah antisipasi
1 Memiliki jaringan ke kabupaten/kota Partai menutup akses informasi Melakukan komunikasi persuasif serta menggunakan cara resmi dalam bertemu.
2 Berpengalaman dan memahami perpolitikan lokal Aceh Kesibukan dari elit partai untuk bertemu dan melakukan wawancara dengan peneliti Mencari informasi kapan waktu luang narasumber serta mencari jadwal narasumber agar bisa melakukan wawancara tanpa membuat janji.

Pada saat implemensi penelitian akan mengutamakan narasumber dari kalangan perempuan. Selain daripada itu melibatkan kaum perempuan ketika melakukan fokus group diskusi. Intinya setiap kegiatan dalam penelitian akan melibatkan kaum perempuan.

 
II. Alur Penelitian

alur penelitian 

III. Refleksi Teoritik untuk Memahami Political marketing

Kajian political marketing dibutuhkan seiring dengan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, semakin terintegrasinya masyarakat global dan tekanan untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi, institusi politik pun membutuhkan pendekatan alternatif untuk membangun hubungan dengan konstituen dan masyarakat luas.

Dalam konteks inilah political marketing untuk menghubungkan produsen dengan konsumen.  Penggunaan metode political marketing untuk membantu politikus dan partai politik agar lebih efesien serta efektif dalam membangun hubungan dua arah dengan konstituen dan masyarakat secara luas (Firmanzah 2007)[i].

Tentunya terdapat beberapa asumsi yang mesti dilihat untuk dapat memahami political marketing, karena konteks dunia politik memang mengandung banyak perbedaan dengan dunia usaha. Hal ini diperjelas oleh O’Shaughnessy (2001)[ii], politik berbeda dengan produk retail, sehingga akan berbeda pula muatan sebuah nilai (value). Jadi isu politik bukan sekedar produk yang nilai menghubungkan individu-individu. Dalam hal ini politik lebih dilihat sebagai aktivitas sosial untuk menegaskan identitas masyarakat.

Sejalan dengan pemikiran Locke dan Harris (1996)[iii], karakteristik mendasar yang membedakan political marketing dengan pemasaran dalam bisnis. Perbedaan ini berasal dari kenyataan bahwa kondisi pemilih umum memang berbeda dengan konteks dunia usaha pada umumnya. Perbedaan mendasar terletak dari konsep pembelian (purchase) dalam politik dibandingkan dengan pembelian yang terdapat dalam dunia usaha.

Penerapan political marketing merupakan bagian dari strategi politik begitulah yang dikatakan Schroder (2003)[iv]. hakekat dari strategi politik adalah “kemenangan”, maksud dari kemenangan adalah mewujudkan cita-cita politik. Tanpa strategi politik keinginan tidak bisa terwujud, bahkan hanya sebatas keinginan saja. Salah satunya cara dalam strategi politik membuat marketing pada tujuan atau target politik yang ingin di capai politikus atau partai politik.

Pemikiran lain dikatakan O’Cass (1996)[v], political marketing sebagai suatu proses analisis, perencanaan, implementasi, dan kontrol terhadap program politik dan pemilihan umum yang didesain untuk menciptakan, membangun, dan membina hubungan pertukaran yang saling menguntungkan antara institusi politik (partai politik atau kandidat) dengan pemilih untuk mencapai tujuan political marketing. Ketika pemilih menggunakan hak pilihnya, maka suatu transaksi telah berlangsung. Dalam upaya mengembalikan atau menukar dengan hak pilih dari pemilih, maka partai atau kandidat membuat dan menawarkan kebijakan sesuai dengan keinginan dari pemilih.

Berbicara political marketing tidak terlepas dari pembahasan akan orientasi bisnis dan produk. Keduanya menjadi penting di perhatikan dalam political marketing. kalau orientasi bisnis lebih menekankan kepada komoditas ke institusi, fungsi menuju ke manajemen, dan akhirnya ke masyarakat. Selanjutnya orientasi produk harus memperhatikan produksi, biaya produksi, target produksi, dan proses produksi (Kotler 1994)[vi].

Masih membahas tentang produk, dimana Niffeneger (1989)[vii] menjelaskan product yang ditawarkan seorang kandidat politik merupakan blend yang kompleks dari banyak potensial yang akan diterima seorang pemilih bila kandidat politik terpilih. Sementara itu price adalah biaya-biaya yang berhubungan dengan pemilihan kandidat. Niffeneger membagi tiga macam biaya, economic cost yang biasanya merupakan biaya yang paling dipertimbangkan oleh pemilih berkaitan dengan uang atau biaya yang dirasakan pemilih ketika memutuskan memilih kandidat. Untuk pschologis cost berkaitan dengan seberapa nyaman pemilih memilih kandidat dengan latar belakang agama, kulit, ras, suku, dan lain sebagainya. Sementara itu promotion cost kunci dari keberhasilan marketing. Teknisnya kandidat politik menggunakan paid and free media dalam menyampaikan produk-produknya.

Sementara itu Henneberg di dalam tulisannya tentang Generic Functions of Political Marketing Management mendeskripsikan political market memiliki tidak sub market. Sub market yang pertama disebut sebagai electoral market ini terdapat exchange relationship antara partai politik (berserta kandidatnya) dan para pemilih. Dan perlu diketahui juga bahwa partai politik ini juga ‘connect’ dengan anggota dan pengurusnya juga dengan penyandang dana guna bisa menutup dana kampanye. Relasi antara partai dengan pemilih tidak dilakukan sematas secara langsung tetapi juga bisa dilakukan melalui media.

Sub market kedua mengandung exchange relationship antara pemerintah (termasuk executive body) dan masyarakat luas (termasuk didalamnya pemilih). Proses ini bisa melalui mediasi lembaga legislatif. Dan terkahir sub market yang ketiga  didefinisikan Henneberg sebagai market for political activism. Kelompok kepentingan saling berkompetisi di pasa ini untuk memperebutkan sumber daya untuk kegiatan politik. bentuk hubungan yang sekunder dibangun bersama donor, media, pemerintah dan partai politik.

Pemikiran berbeda tentang political marketing diuraikan oleh Ormrod (2011)[viii] mengatakan bahwa partai atau kandidat dikatakan berorientasi pasar ketika partai atau kandidat sensitif terhadap sikap, kebutuhan, dan keinginan stakeholders internal dan eksternal, dan menjadikan pandangan stakeholders sebagai basis untuk membangun kebijakan dan program-program demi meraih tujuan partai atau kandidat.

Kebutuhan pemangku kepentingan, konsumen, pemilih atau pasar antara lain adalah program kerja yang jelas, ideologi yang mantap, harapan serta kepemimpinan yang mampu memberikan rasa pasti untuk melangkah ke depan. Sesuai dengan pesan political marketing yang tidak menjadikan pemilih sebagai objek namun menjadikannya sebagai subjek, maka dalam proses pelaksanaan political marketing ada kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan politik kepada pemilih, transparansi penjaringan kebutuhan pemilih, dan berpolitik atas dasar motivasi kepada pemilih, atau dalam hal ini kepada rakyat.

Pemikiran berbeda tentang political marketing diuraikan oleh Ormrod (2011)[ix] mengatakan bahwa partai atau kandidat dikatakan berorientasi pasar ketika partai atau kandidat sensitif terhadap sikap, kebutuhan, dan keinginan stakeholders internal dan eksternal, dan menjadikan pandangan stakeholders sebagai basis untuk membangun kebijakan dan program-program demi meraih tujuan partai atau kandidat.

Kebutuhan stakeholders, konsumen, pemilih atau pasar antara lain adalah program kerja yang jelas, ideologi yang mantap, harapan serta kepemimpinan yang mampu memberikan rasa pasti untuk melangkah ke depan. Sesuai dengan pesan political marketing yang tidak menjadikan pemilih sebagai objek namun menjadikannya sebagai subjek, maka dalam proses pelaksanaan political marketing ada kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan politik kepada pemilih, transparansi penjaringan kebutuhan pemilih, dan berpolitik atas dasar motivasi kepada pemilih, atau dalam hal ini kepada rakyat.

Ormrod menegaskan kembali, model konseptual dari orientasi pasar dalam politik terdiri dari empat bangunan yang merepresentasikan orientasi dari stakeholders yang ada di tengah masyarakat, yakni pemilih (voters), partai kompetitor (competing party), anggota partai (party members), dan kelompok eksternal (external groups) seperti media, warga, serta kelompok lobi dan kelompok kepentingan. Bangunan konseptual pertama adalah orientasi pasar pada pemilih (voters). Parpol atau kandidat sebaiknya memahami, sadar dan perduli dengan kebutuhan dan keinginan pemilih dalam rangka pembangunan program atau proses pertukaran nilai ketika pemilihan terjadi.

Bangunan kedua adalah partai kompetitor (competing party). Parpol atau kandidat harus memahami pasar ini untuk menemukan celah kerjasama atau koalisi yang dapat berguna bagi tujuan parpol atau kandidat.

Bangunan ketiga adalah anggota internal parpol (party members). Parpol akan memperoleh ide-ide mengenai apa yang pemilih inginkan dengan cara mendengarkan pendapat anggota partai, baik anggota grassroot maupun aktivis.

Bangunan keempat adalah kelompok eksternal (external groups). Memperhatikan kelompok eksternal bukan saja karena menganggap mereka sebagai pemilih potensial, namun lebih dari itu, kelompok eksternal dapat menjadi kelompok yang berpengaruh dalam keberlanjutan dan karir politik partai atau kandidat. Tidak sedikit pula bahwa bagian dari kelompok eksternal merupakan opinion leader di tengah masyarakat.

Sedangkan pada pemikiran Ormrod perihal orientasi political marketing perilaku (political market orientation as behaviour) memperkuat pemikiran stakeholder dari Ormrod. Pemikiran behavioral chain dari Ormrod terdiri information generation, information dissemination, member participation, dan consistent external communication.

Dengan demikian pemikiran Ormrod menjadi fokus dikaji dalam penelitian ini. Argumentasi penguatnya, dikarenakan Ormrod mengkolaborasikan pemikiran Kohli dan Jaworski. Di sisi lain pemikiran Ormrod dalam pembahasannya lebih sesuai dengan perkembangan dinamika perpolitikan, khusus membuat political marketing. Dengan demikian pada penelitian ini lebih memfokuskan pemikiran Ormrod guna menjawab objek yang diteliti.

Jadi pada penelitian empat variabel Ormrod yaitu; pemilih (voters), partai kompetitor (competing party), anggota partai (party members), dan kelompok eksternal (external groups) dikorelasikan dengan objek penelitian yakni Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Aceh, dan  Partai Daulat Umat sebagai case study. Keseluruhan variabel Robert Ormrod akan di telaah menemukan indikator-indikator yang dijadikan landasan penguat akan variabel yang telah ditentunya melalui pemikiran Ormrod.

Akhirnya sampai juga di posisi pemikiran peneliti mengartikan political marketing adalah tindakan yang dilakukan partai politik dalam bentuk strategi-strategi penjaringan pemilih dalam manajemen marketing yang telah disusun dan terkonsep. Pada prinsipnya political marketing bukanlah barang baru, dikarena partai politik sudah menerapkan sebelum pemikiran akan political marketing lahir. Dibuktikan dengan kehadiran tindakan dan pola yang sudah diterapkan selama perpolitikan di Indonesia berjalan, bahkan diseluruh dunia.

 
IV. Analisis Terbentuknya Partai

Sejarah Partai Golkar bermula pada tahun 1964 dengan berdirinya Sekber Golkar pada masa akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Sekber Golkar didirikan oleh golongan militer, khususnya perwira Angkatan Darat (seperti Letkol Suhardiman dari SOKSI) menghimpun berpuluh-puluh organisasi pemuda, wanita, sarjana, buruh, tani, dan nelayan dalam Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar)[x].

Sedangkan terbentuknya Partai Keadilan Sejahtera pada tanggal 20 Juli 1998. PKS berdiri dengan nama awal Partai Keadilan (PK) dalam sebuah konferensi pers di Aula Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Presiden (ketua) partai ini adalah Nurmahmudi Isma’il. Dampak dari penerapan UU Pemilu Nomor 3 Tahun 1999 tentang syarat berlakunya batas minimum keikutsertaan parpol pada pemilu selanjutnya (electoral threshold) dua persen, maka PK mengubah namanya untuk dapat ikut kembali pada pemilu berikutnya.

Pada tanggal 2 Juli 2003, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyelesaikan seluruh proses verifikasi Departemen Kehakiman dan HAM (Depkehham) di tingkat Dewan Pimpinan Wilayah (setingkat Propinsi) dan Dewan Pimpinan Daerah (setingkat Kabupaten/Kota). Sehari kemudian, PK bergabung dengan PKS dan dengan penggabungan ini, seluruh hak milik PK menjadi milik PKS, termasuk anggota dewan dan para kadernya. Dengan penggabungan ini maka PK (Partai Keadilan) resmi berubah nama menjadi PKS (Partai Keadilan Sejahtera)[xi].

Untuk partai lokalnya, Partai Aceh dahulu bernama Partai Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kemudian pernah berubah menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri[xii]. Tahun berdirinya pada tanggal 19 Februari 2007 bernama Partai GAM dengan akta notaris H. Nasrullah, SH akta notaris 07 pada tanggal 07 Juni 2007 dengan pendaftaran Kanwilkum dan HAM dengan nomor : WI.UM. 08 06-01. Terakhir partai lokal yang dimasukan dalam objek kajian yakni Partai Daulat Aceh. Berdiri pada tanggal 1 Februari 2008. Tokoh pendiri Tengku Haji Hasanul Basri, Tengku Haji Muhammad Nasir Wali.

Ketika menganalisis dari terbentuk partai dengan menggunakan cara berpikir Robert Ormrod tentang partai kompetitor (competing party). Kerangka berpikirnya yakni partai yang telah lama berdiri memiliki kestabilan yang kuat dari segi manajemen, pengalaman, dan kaderisasi yang kuat. Apalagi pengalaman menerapkan political marketing sudah sangat banyak. Pengoptimalan akan potensi pengalaman menjadi bagian tidak terpisahkan dari sebuah keuntungan partai yang telah lama berdiri dibandingkan partai yang baru terbentuk. Logika politiknya, partai Golkar dan PKS adalah partai nasional yang memiliki pengalaman membuat dan menerapkan marketing lebih dahulu dibandingkan partai lokal yaitu Partai Aceh dan Partai Daulat Umat.

Partai kompetitor atau pesaing akan memanfaatkan keunggulan dari segi pengalaman dalam mendesain political marketing untuk kemenangan di pemilihan umum (pemilu). Masing-masing dari partai akan menonjolkan keunggulan produk politiknya dan strategi di dalam political marketingnya. Dalam hal menguji keunggulan political marketing pengalaman menjadi kekuatan utama sebuah partai. Tentunya pengalaman tidak akan cukup, dimana harus disinergiskan dengan ide yang dibuat berdasarkan kebutuhan konsumen (pemilih).

Berbicara ide politik hanya akan dapat, atau diwujudkan dalam satu pertarungan melawan penentang ide tersebut, yang akan selalu bertumpu pada bagaimana kekuasaan dan pengaruh dapat diperoleh, tetapi yang menjadi permasalahannya tentu saja, bagaimana kekuasaan dan pengaruh itu bisa diperoleh pada saat yang sama? Banyak kelompok yang menghendaki hal yang sama, maka untuk mampu meraih kemenangan tentunya dalam Pemilu, dibutuhkanlah suatu perencanaan yang hati-hati, maka disilah letak substansi dari starategi politik itu[xiii].

Dari segi jaringan kelompok eksternal, berlaku umum logika politik mengatakan bahwa semakin lama berdiri sebuah partai besar peluang akan membangun jaringan yang saling menguntungkan dengan kelompok eksternal diluar partai, seperti; media, organisasi masyarakat, paguyuban, dan mahasiswa. Jika lebih lama terbentuk keseluruhan jaringan dari kelompok eksternal akan terbentuk dan menguntungkan partai secara kepentingannya.

V. Kondisi Marketing Parpol Aceh Pemilu 2009

Dalam kontek political marketing yang dilakukan partai nasional dan partai lokal di Provinsi Aceh pada pemilu 2009 berdasarkan kajian Achenese Civil Society Task Force lebih cenderung partai politik terjebak pada marketing klasik yakni baliho, spanduk, bagi-bagikan uang. Tetapi juga menemukan hal baru hadirnya intimidasi dan kekerasan sebagai bentuk dari political marketing. Berarti menunjukan, bahwa ada pergeseran partai dalam membuat political marketingnya.

Bahkan hasil fokus grup diskusi (18/01/2013)[xiv] yang dilakukan peneliti menemukan pembuatan political marketing pun sangat dipengaruhi oleh teori resolusi konflik, dimana prinsip-prinsip peacebuilding menjadi pondasi utama pada saat merencanakan political marketing. Maka besar peluang model political marketing partai nasional dan partai lokal akan sangat berbeda dengan partai lainnya yang telah stabil. Bila benar ada perbedaan patut di identifikasikan pada penelitian ini.

Berdasarkan hasil rekapitulasi akhir suara Pemilu 2009 yang dilaksanakan KIP Aceh. Jumlah suara yang diperoleh Partai Aceh sebesar 33 kursi (48%) dari 69 kursi yang disediakan DPRA. Selanjutnya disusul Partai Demokrat di tempat kedua dengan meraih 10 kursi (15%), dan tempat ketiga diraih Partai Golkar dengan 8 kursi (12%)[xv].

Merujuk terhadap data KIP keberhasilan Partai Aceh diasumsikan telah menerapkan political marketing (PM) di pemilu 2009, sehingga lebih unggul daripada partai nasional. Namun diasumsikan Partai Aceh belum menerapkan PM, apa benar? Akan terjawab pada hasil penelitian yang peneliti lakukan. Tentunya selain Partai Aceh masih terdapat tiga partai (Golkar, PKS, dan PDA) lainnya yang dijadikan kajian dari meneropong political marketingnya.

Menilai political marketing partai ditahun 2009 berdasarkan ideologi Prof. Dr. Ikrar Nusa Bhakti[xvi], Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs LIPI mengatakan, menjelang Pemilu 2009 tipologi ideologi partai mirip 1950-an. Misalnya, Sosialis kiri (Partai Buruh); sosial demokrat dianut Partai Persatuan Indonesia Baru (PPIB); nasionalis kerakyatan (PDI-P, PDP, PNI Massa Marhaen, PNBKI); nasionalis borjuis (Golkar, Hanura, Gerindra, Partai Demokrat, Partai Barnas); Islam modernis (PAN, PMB, PKS, PBB dan separuh PPP); Islam dan Sosialis (PBR); Islam tradisionalis (PKB, PNU; separuh PPP plus partai beraliran NU); partai-partai kecil beraliran campuran, sosialisme dan nasionalisme.

Selanjutnya dirinya menambahkan political marketing dalam prespektif kepemimpinan, ada yang menerapkan gaya demokratik egalitarian, aristokrasi Jawa (ada Dewan Pembina); saudagar besar atau eceran (partai ibarat perusahaan); fasis militeristik (gaya komando); tradisional/modern agamis, atau asas kekeluargaan. Namun, hampir semua tokoh parpol bertipe kepemimpinan solidarity maker, ketimbang administrator. Dari sisi platform ekonomi, ada yang berbasis ekonomi pasar, ekonomi kerakyatan, atau ekonomi syariah. Hampir semua partai nasionalis—PDI-P, Partai Golkar, Partai Demokrat, Partai Gerinda, Partai Hanura, Partai Barnas—mengampanyekan ekonomi kerakyatan.

Namun, partai mana yang menerapkan ekonomi kerakyatan dan kapitalistik, neoliberal dan tunduk pada ekonomi pasar, rakyatlah yang menilai. Tak ada satu partai Islam berani mengembangkan ekonomi syariah. Keuangan dan perbankan syariah yang kini berkembang tak beda jauh dengan perbankan umum. Anehnya, justru lembaga keuangan umum (asing dan nasional) lebih sukses menerapkan ekonomi syariah. Dari platform bangunan masyarakat sipil Indonesia, semua parpol mendukung pluralisme dan multikulturalisme. Jika pun ada yang coba menerapkan homogenisme atau eksklusivisme agama, tidak akan laku pada tataran elite atau massa. Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama mendukung negara kebangsaan dan multikulturalisme.

Sedangkan untuk lokal Aceh, political marketing berdasarkan ideologi terbagi menjadi pancasila, UUD 1945, demokrasi, dan asas Islam. Di lokal Aceh ideologi parlok berbeda beda, dimana ada partai lokal mengusung ideologi hasantiroisme, ideologi etnik religi, dan nasionalisme keacehan[xvii].

Tabel 1:  Asas dan Misi Partai Lokal

NO

NAMA PARTAI

ASAS

VISI

BASED ON

1 PAAS (local Party) Islam Mewujudkan kehidupan rakyat nanggroe Aceh Darussalam yang demokratis, berkeadilan dan bermartabat, tenang beribadah, sejahtera dalam kehidupan dan aman dari ketakutan, dengan karakter kepemimpinan yang amanah (tepercaya), istiqamah (teguh pendirian), ‘iffah (bersih), musyarakah (kebersamaan) dan syaja’ah (berani). Ethnic Religious
2 PDA (Local Party) Islam Mewujudkan kehidupan rakyat nanggroe Aceh Darussalam yang demokratis, berkeadilan dan bermartabat, tenang beribadah, sejahtera dalam kehidupan dan aman dari ketakutan, dengan karakter kepemimpinan yang amanah (tepercaya), istiqamah (teguh pendirian), ‘iffah (bersih), musyarakah (kebersamaan) dan syaja’ah (berani). Ethnic Religious
3 SIRA (Local Party) Persaudaraan, Kerakyatan, Ke-Aceh-an dan Keadilan Sosial 1. Memperjuangkan aspirasi dan kepentingan rakyat Aceh ;
2. Mendorong perdamaian yang berkelanjutan ;
3. Memperjuangkan penegakan HAM dan demokrasi di Aceh
4. Memperjuangkan kedaulatan rakyat;
5. Menciptakan keadilan sosial;
6. Mewujudkan kesejahteraan rakyat
Ethnic Nationalist
4 PRA (Local Party) Terselenggaranya kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera, melalui usaha pengembangan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berdaulat, demokratis, dan mandiri sebagai dasar pergaulan antar bangsa yang berdaya saing dan bermartabat. Ethnic Socialist
5 Partai Aceh (Local Party) Islam 1. Membangun citra positif berkehidupan politik serta melaksanakan mekanisme partai sesuai aturan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan menjunjung tinggi nota kesepahaman Helsinki yang telah ditandatangani pada tanggal 15 Agustus 2005 antara Pemerintah RI dan GAM.
2. Mentransformasi dan atau membangun wawasan berpikir masyarakat Aceh dari citra revolusi party menjadi citra development party dalam tatanan transparansi untuk kemakmuran hidup rakyat Aceh khususnya dan bangsa Indonesia.
Ethnic nationalist religious
6 PBA (Local Party) Islam Terselenggaranya kehidupan masyarakat yang adil dan sejahtera, melalui usaha pengembangan kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang berdaulat, demokratis, dan mandiri sebagai dasar pergaulan antar bangsa yang berdaya saing dan bermartabat.  

Sumber: Diolah oleh peneliti dari berbagai sumber, 2013
Tabel 2: Pemilu Aceh 2009 dalam Angka

Keterangan Angka
Tanggal Pemilu Legislatif Kamis, 9 April 2009
Jumlah Penduduk Aceh 4.459.431 jiwa
Jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) 3.009.965 Jiwa
Jumlah Pemilih yang Memilih 2.311.713 Jiwa
Jumlah Pemilih yang Tidak Memilih (Golput) 698.252 Jiwa (23,19 persen)
Jumlah Calon Legislatif DPR 260 Jiwa (Jatah 13 kursi)
Jumlah Calon Legislatif DPR Aceh 1.368 Jiwa (Jatah 69 kursi)
Jumlah Legislatif Perempuan di DPR Aceh
 
 
4 perempuan
Tiga dari Partai Golkar (Nurlelawati,  Nuraini Maida, dan Yuniar) dan satu dari PAN (Liswani)
Jumlah Partai Politik Peserta Pemilu di Aceh 43 Partai Politik
Jumlah Partai Nasional dan Partai Lokal Peserta Pemilu di Aceh 37 Partai Nasional,
6  Partai Politik Lokal
(Partai Aceh,
Partai Daulat Atjeh ,
Partai Rakyat Aceh,
Partai Aceh Aman Seujahtra,
Partai Bersatu Atjeh,
Partai Suara Independen Rakyat Aceh
Jumlah Partai yang tidak Ikut Pemilu di Aceh 1 Partai [Partai Indonesia Baru]
Jumlah Partai Peraih Kursi DPRA 12 Partai
Jumlah Partai Lokal Peraih Kursi DPRA 2 Partai
(Partai Aceh 33 kursi dan Partai Daulat Atjeh  1 kursi)
Jumlah Partai Nasional Peraih  Kursi DPRA
 
 
 
 
 
10 Partai
(Partai Demokrat 10 orang)
Partai Golkar (8 orang),
Partai Keadilan Sejahtera (4 orang),
Partai Amanat Nasional (5 orang),
Partai Persatuan Pembangunan (4 orang).
Partai Bulan Bintang, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia, Partai Patriot, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Kebangkitan Bangsa  masing-masing 1 orang

Sumber: Diolah oleh peneliti dari berbagai sumber, Agustus 2009
Tabel: Daftar Perolehan Suara Anggota DPR Aceh Hasil Pemilu 2009

Urutan Nama Partai Jlh
Suara
Daerah Pemilihan

1

M Yahya Abdullah Partai Aceh 26.444 Bireuen, Bener Meriah dan Aceh Tengah

2

Ridwan Partai Aceh 26.232 Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang

3

Samsul Bahri ben Amiren Partai Aceh 20.490 Bireuen, Bener Meriah dan Aceh Tengah

4

Umuruddin Desky. Partai Golkar 19.306 Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Subulussalam

5

Muhammad Wali Alkhalidi Partai Aceh 17.935 Bireuen, Bener Meriah dan Aceh Tengah

6

T Nasruddin Partai Aceh 17.603 Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulue

7

Hasbi Abdullah Partai Aceh 17.482 Pidie dan Pidie Jaya

8

Akhyar Partai Aceh 17.400 Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar

9

Adly Tjalok bin Ibrahim Partai Aceh 17.151 Bireuen, Bener Meriah dan Aceh Tengah

10

Jamaluddin T Muku Partai Demokrat 15.289 Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang

11

Sulaimtan Abda Partai Golkar 13.130 Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar

12

Usman Muda Partai Aceh 12.916 Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar

13

Aminuddin Partai Golkar 12.514 Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Subulussalam

14

M. Sidik Fahmi Partai Aceh 12.397 Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulue

15

Muslim Ayub PAN 12.255 Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Subulussalam

16

Firmandez Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia 12.067 Bireuen, Bener Meriah dan Aceh Tengah

17

Irmawan Partai Kebangkitan Bangsa 11.874 Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Subulussalam

18

Amir Helmi Partai Demokrat 10.653 Sabang, Banda Aceh dan Sabang

19

Ilham Partai Aceh 10.448 Bireuen, Bener Meriah dan Aceh Tengah

20

Zainal Arifin Partai Aceh 10.358 Lhokseumawe dan Aceh Utara

21

Ibnu Rusdi Partai Demokrat 10.004 Bireuen, Bener Meriah dan Aceh Tengah

22

Muharuddin Partai Aceh 9.338 Lhokseumawe dan Aceh Utara

23

Zulkifli Partai Aceh 8.977 Lhokseumawe dan Aceh Utara

24

Muhibbusabri AW Partai Daulat Atjeh 8.946 Sabang, Banda Aceh dan Aceh Besar

25

Teuku Iskandar Daod Partai Demokrat 8.661 Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya

26

T. Syarifuddin Partai Patriot 8.185 Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Subulussalam

27

Sanusi Partai Aceh 8.108 Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya

28

Ali Murtala Partai Aceh 8.087 Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya

29

Jemarin Partai Demokrat 7.780 Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Subulussalam

30

Marzuki Partai Aceh 7.538 Pidie dan Pidie Jaya

31

Fauzi Partai Aceh 6.751 Lhokseumawe dan Aceh Utara

32

Usman Abdullah Partai Aceh 6.668 Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang

33

Muhmmad Tanwier Mahdi Partai Demokrat 6.641 Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulue

34

T. Hasdarsyah Partai Demokrat 6.629 Lhokseumawe dan Aceh Utara

35

Jufri Partai Aceh 6.386 Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulue

36

Abdullah Saleh Partai Aceh 6.303 Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya

37

Bukhari MY PAN 6.247 Bireuen, Bener Meriah dan Aceh Tengah

38

Erly Hasyim  Partai Bulan Bintang 6.200 Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulue

39

Ermiadi Abdul Rahman Partai Aceh 6.033 Lhokseumawe dan Aceh Utara

40

Nasruddin Syah Partai Aceh 6.008 Lhokseumawe dan Aceh Utara

41

Ibnu Hajar Partai Aceh 5.977 Lhokseumawe dan Aceh Utara

42

T Husin Banta Partai Golkar 5.930 Bireuen, Bener Meriah dan Aceh Tengah

43

M. Ramli Sulaiman Partai Aceh 5.886 Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang

44

Ghufran Zainal Abidin PKS 5.868 Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar

45

Mawardi Ali PAN 5.840 Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar

46

M Yunus Ilyas Partai Demokrat 5.527 Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang

47

Muslim Usman Partai Aceh 5.474 Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang

48

Nurdin Cut Partai Aceh 5.449 Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang

49

Anwar Idris PPP 5.440 Bireuen, Bener Meriah dan Aceh Tengah

50

Darmuda Partai Aceh 5.108 Sabang, Banda Aceh, Aceh Besar

51

Mohd Alfatah PAN 4.852 Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya

52

Safwan Yusuf Partai Demokrat 4.802 Sabang, Banda Aceh dan Sabang

53

Adnan Beuransyah Partai Aceh 4.617 Gayo Lues, Aceh Tenggara, Aceh Singkil dan Subulussalam

54

Makhyaruddin Yusuf PKS 4.536 Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang

55

Yuniar Partai Golkar 4.304 Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang

56

Anwar Partai Aceh 3.928 Pidie dan Pidie Jaya

57

Liswani PAN 3.901 Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya

58

M. Harun Partai Aceh 3.853 Pidie dan Pidie Jaya

59

Syafi’I Hamzah Partai Aceh 3.669 Pidie dan Pidie Jaya

60

Murhaban Makam PPP 3.621 Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang

61

Zainuddin Partai Aceh 3.325 Pidie dan Pidie Jaya

62

Fadlima PPP 2.765 Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya

63

Moharriadi Syafari PKS 2.704 Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya

64

Zuriat Suparjo Partai Golkar 2.702 Aceh Jaya, Aceh Barat dan Nagan Raya

65

Fuady Sulaiman PKS 2.363 Lhokseumawe dan Aceh Utara

66

Nurlelawati Partai Golkar 2.052 Pidie dan Pidie Jaya

67

Dalimi Partai Demokrat 2.046 Pidie dan Pidie Jaya

68

Muhibbusubri PPP 1.711 Aceh Barat Daya, Aceh Selatan dan Simeulue

69

Nuraini Maida Partai Golkar 1.566 Lhokseumawe dan Aceh Utara

Sumber: KIP Aceh, 2009
 

VI. Desain Marketing Parnas dan Parlok

Pada pemaparan sub bab ini, penulis menjelaskan temuan political marketing partai nasional dan lokal dari hasil penelitian. Temuan ini akan memfokuskan kepada dua partai nasional dan dua partai lokal. Keseluruhan menunjukan hadirnya political marketing dari partai politik tersebut. Bahkan tergambarkan bentuk dan cara yang dilakukan dalam bagian political marketing para partai baik nasional dan lokal.

VI.1.  Golkar

urlPemilu 2009 menjadi titik balik Partai Golkar dari keterpurukan pada tahun 2004, khususnya demokrasi di Aceh. Suara Golkar anjlok pada pemilu legislatif 2009 karena terjebak konflik internal. Akhirnya Partai Golkar menjadi terlalu sibuk bertarung diantara mereka sendiri[xviii]. Salah seorang pengurus Partai Golkar Aceh Muntasir Hamid menuturkan kelemahan Partai Golkar masih terbebani dengan masa orde baru, sehingga membuat penurunan suara[xix]. Selain itu, faktor kemunculan partai baru seperti Gerindra, dan Hanura diduga kuat menjadi penyebab lainnya atas kegagalan Partai Golkar pada pemilu 2009. Sedangkan di Aceh, lebih disebabkan karena hadirnya partai lokal.

Partai berbasiskan nasionalis seperti Partai Golkar kembali bangkit serta menguasai beberapa wilayah di Provinsi Aceh. Tentunya dengan konteks yang sama sekali berbeda dibandingkan era Orba. Walaupun faktanya posisi Partai Golkar belum mampu menjadi juara dipucuk kekuasaan legislatif, bahkan bergeser roda kekuasaan berpindah ke Partai Demokrat untuk level nasional. Dibuktikan dari hasil Pemilu 2009, dimana Partai Demokrat menguasai 40,8 persen suara, jauh melampaui perolehan suara tingkat nasional yang hanya 20,8 persen. Posisi kedua terpaut jauh, diraih Partai Golkar dengan 10,5 persen suara dan Partai Keadilan Sejahtera yang mencapai 7,1 persen suara.[xx]

Dalam realitas hasil di Pemilu tahun 2009, Partai Golkar di Aceh mendapatkan 8 kursi di parlemen yang berasal dari beberapa daerah pemilihan seperti DP 1 Sulaiman Abda, DP2 Hj. Nurlelawati SAg, DP 3 Zuriat Suparjo, SP. Dari pemilihan DP 4, DP5 dan DP6 secara berurutan ada H.M. Husen T. Banta, S.Sos, Drh. Nuraini Maida, dan Hj. Yuniar, SP. Terakhir untuk DP 7 ada dua orang yakni H. Umuruddin Desky, S.Sos, M.M  dan Drs. Aminuddin M. Kes.

Sementara di DP 8 Partai Golkar tidak memiliki kursi satu pun. Hanya Partai Demokrat, Partai Aceh, PAN, PPP, PKS, dan PBB. Ini menunjukkan bahwa mayoritas partai yang berhasil di daerah pemilihan ini adalah partai berbasis agama. Artinya pada Pemilu 2014 Partai Golkar perlu membranding dirinya dengan idiom-diom agama agar suara lebih meningkat.

Sebaliknya di DP 7 Partai Golkar berhasil merebut 2 kursi. Ada partai nasionalis lain yang ikut mendapatkan kursi, Partai Patriot, PKB, PAN, Demokrat. Pendekatan nasionalis menjadi pendekatan cukup diminati oleh pemilih di daerah pemilihan ini. Hadirnya enam parpol lokal sebagai hasil kesepakatan damai Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Kehadiran parpol lokal diyakini merupakan simbol ”kemenangan” rakyat atas dominasi pemerintah pusat yang selama bertahun-tahun dialami rakyat Aceh.[xxi]

Pada Pemilu 2009, Partai Aceh sangat dominan di DP 8 dengan meraih 3 kursi untuk DPR Aceh. Kondisi politik terkini menunjukkan dominasi Partai Aceh sudah mulai menurun. Ini ditandai dengan tidak terpilihnya lagi kandidat Partai Aceh sebagai Kepala Daerah. Ada keberanian masyarakat untuk memilih selain kandidat Partai Aceh. Bagi Partai Golkar menjadi hal menarik untuk kembali berjuang untuk mendapatkan kursi di wilayah ini karena trend pemilih yang bergeser. Perlu dipertimbangkan berbagai pendekatan political marketing berupa strategi guna meraih suara dan kursi. Jika perlu, pendekatan digunakan berdasarkan karakteristik wilayah dan pemilih sehingga semakin tepat membidik pemilih.

Jika dianalisis dari kondisi pemetaan kekuatan Partai Golkar, berarti ada pergeseran pemilih yang awalnya mendominasi ke Partai Golkar pada era orde baru. Pergeseran menurut kalangan pengamat politik, disebabkan faktor keinginan pemilih untuk mempercayakan suaranya kepada partai baru. Selain itu pemilih cenderung melihat figur, dimana kita ketahui secara umum bahwa figur SBY kala itu menjadi magnet kuat mempengaruhi arah suara pemilih. Maka ditafsirkan bahwa belum maksimalnya political marketing yang di desain oleh politikus Partai Golkar pada saat itu. Mengandalkan figur akan juga dilakukan partai lokal yang berada di Aceh, seperti siapa figur yang mereka andalkan, seperti; Said Fuad Zakaria, Sulaiman Abda, Muntasir Hamid, Husein Banta, dll.

Sekilas menjelaskan, jika di tingkat pemilu nasional Partai Demokrat berjaya menguasai Aceh ditunjukan dengan diberikan suara dari masyarakat Aceh sebesar 93% memilih SBY, di tingkat lokal Partai Aceh menguasai 46,9 persen suara dan mendominasi perolehan kursi, baik di DPR Aceh maupun DPR kabupaten/kota di Aceh, khususnya di wilayah Pidie, Aceh Jaya, Aceh Utara, Aceh Timur, dan Bireuen yang dikenal sebagai basis GAM. Ini pun menjadi bukti lain terjadinya pergeseran Aceh sebagai dominasi partai nasionalis. Jika melihat secara formal, Partai Aceh adalah partai bercorak nasionalis, bukan partai Islam.[xxii]

Saat itu Partai Golkar menggunakan berbagai strategi di dalam political marketing untuk merebut simpati pemilih agar mencoblos nama-nama caleg yang diusulkan. Said Fuad Zakaria[xxiii] menyebutkan Partai Golkar Aceh menyusun strategi khusus melalui program perkaderan secara lebih intensif, guna memantapkan persiapan menghadapi pemilu legislatif 2009.

Dikorelasikan dengan pemikiran Ormrod menyebutkan partai atau kandidat sudah market-oriented jikalau sensitif terhadap sikap, kebutuhan, dan keinginan stakeholders internal dan eksternal. Pandangan-pandangan tersebut kemudian diselaraskan dalam perumusan kebijakan dan program. Singkatnya kebijakan dan program Golkar adalah milik anggota. Konsolidasi Partai Golkar ke daerah-daerah bukan hanya fokus pada sosialisasi ide-ide partai  namun bagaimana Partai Golkar mampu menyerap aspirasi dan gagasan internal partai dari lini bawah menjadi lini atas. Selanjutnya aspirasi dan gagasan ini dikemas sedemikian rupa agar menjadi sesuatu yang layak jual di mata publik.

Strategi yang dituangkan melalui political marketing Partai berlambang beringin ini (Golkar) di Aceh meliputi publikasi, kampanye, dan promosi melalui berbagai media seperti iklan, spanduk, baliho, dan media lainnya. Tujuannya adalah berusaha menciptakan citra yang positif mengenai seorang tokoh sehingga secara tidak langsung masyarakat dapat mengenal, memahami, mendukung, dan bahkan menerima tokoh tersebut. Proses tersebut akan meningkatkan elektabilitas tokoh tersebut.

Pada umumnya ada tiga strategi political marketing[xxiv] yang sering dilakukan oleh Partai politik di Indonesia.

Strategi pertama adalah strategi push marketing yang menggiring pemilih dengan berbagai alasan yang rasional dan emosional agar termotivasi untuk mendukung suatu calon.

Strategi kedua pass-marketing yaitu strategi yang digunakan individu atau kelompok untuk menpengaruhi opini pemilih.

Strategi ketiga adalah strategi pull-marketing yang mengkonsentrasikan pada pembentukan image politik yang positif.

Pada ketiga ranah strategi di political marketing yang paling menonjol dari Partai Golkar berada pada pass marketing, dimana masih mengoptimalkan figur ketokohan dari kader Golkar baik yang sudah lama maupun baru bergabung karena menjadi caleg pada era di pemilu 2009[xxv].

Sedangkan push dan pull kurang dimaksimalkan bentuk dari political marketing yang disusun dan dijalankan. Termasuk di pull marketing kurang difungsikan dan dilibatkan anggota partai (party members) sehingga berdampak lemahnya perolehan suara Partai Golkar. Untuk kegiatan di ranah push marketing Partai Golkar Aceh memanfaatkan isu tsunami dan pasca konflik sebagai media mempengaruhi pemilih. Dikongkritkan dengan kegiatan merespon tsunami dan mendorong program reintegrasi[xxvi].

Partai Golkar Aceh sebagai partai politik yang sudah cukup lama berkiprah dalam percaturan politik Aceh sehingga begitu memahami pemasaran dirinya. Riset dan analisis pasar sudah lama dikembangkan dan dipergunakan untuk mendesain berbagai program untuk menarik simpati pemilih.

Perbedaan pencitraan dalam pemasaran politik didasarkan pada karakter politisi yang ingin lebih di publikasikan, isi pesan, dan tujuan yang ingin dicapai dari pemasaran politik. Dengan memahami unsur pemasaran politik ini maka akan dapat mengimplementasikan pemasaran politik yang efektif. Saat ini juga aktivitas politik termasuk pemasaran politik sudah mengalami komodifikasi. Di mana segala aktivitas yang berkenaan dengan ranah politik sudah pasti berlabel komersialisasi. Apalagi bila menyangkut pada pencitraan dan demi tercapainya tujuan dan kepentingan para sosok elite politik, maka akan ada nilai komersialisasi di dalamnya.[xxvii]

Sementara itu, cara masyarakat menentukan pilihannya juga tergantung pada karakteristik masyarakat bersangkutan. Di satu sisi, terdapat kelompok masyarakat yang lebih menggunakan logika dan rasionalitas dalam menimbang kandidat. Kemampuan kandidat dalam memecahkan persoalan masyarakat menjadi titik perhatian kelompok masyarakat ini dipihak lain, kedekatan ideologis juga menjadi kekuatan untuk menarik pemilih kedalam bilik suara dan memilih kandidat yang memiliki paham sama. Pemilih jenis ini tidak begitu mempedulikan program kerja apa yang ditawarkan kontetan bersangkutan. Asal ideologi kandidat tersebut sama dengan ideologi pemilih, sudah cukup alasan baginya untuk memilih kandidat ini.

Proses manajemen kepartaian yang dibenahi mulai perihal masalah kaderisasi. Kita ketahui hampir banyak alumi Golkar Aceh merapat ke partai nasional maupun lokal. Dibuktikan mulai kekalahan pada pemilu 2009, Golkar Aceh melakukan perekrutan kader baru yang berpotensi membesarkan partai Golkar.[xxviii]

Menariknya pada ranah partai kompetitor (competing party), cara Partai Golkar dalam berkomunikasi politik lebih cantik (persuasif) dibandingkan partai pada umumnya. Hal ini dinilai dari gaya pengalaman Partai Golkar di Aceh yang mampu bertahan dalam posisi kekuatan politik partai lokal yang kuat. Kemampuan diraih dari pengalaman yang cukup lama, dimana lintas rezim dan aktor politik yang berkuasa. Tidak hanya itu saja, di ruang kompetitor, Partai Golkar Aceh merangkul lintas masyarakat sipil seperti; ulama, mahasiswa, tokoh pemuda, media, dan tokoh adat. Partai Golkar Aceh mengakui momentum hadirnya parlok telah mampu menjadikan kompetitor utama tidak lagi Partai Golkar tetapi Partai Aceh. Kesadaran dilandaskan kepada pengaruh kuat pilihan alternatif baru selain partai nasional[xxix].

Bahkan cara-cara berafiliasi dengan partai lokal untuk memperjuangkan kepentingan Aceh di tingkat nasional telah dilakukan Partai Golkar. Ini dapat dilihat upaya Golkar bersama-sama dengan partai lokal bersepakat membangun afiliasi, walaupun belum dikongkritkan dalam bentuk kesepakatan terikat secara hukum. Tetapi melalui mekanisme komunikasi politik mampu membuat kesepakatan atas nama kepentingan Aceh berjalan[xxx].

Menelisik area kekuatan anggota partai (party members) yang difungsikan guna mendukung perolehan suara Partai Golkar di Aceh berhasil berkontribusi. Argumentasi peneliti, bahwa keseluruhan underbow atau sayap partai telah memiliki kekuatan dari manajemen serta kaderisasi. Hal itu dikarenakan sudah puluhan tahun mereka dibentuk dan memiliki basis gerakan tersendiri meraih kader dan simpatisan politik diakhir dengan keuntungan suara bagi Golkar Aceh Disinilah keuntungan yang didapatkan Golkar Aceh dibandingkan dengan partai nasional maupun lokal lainnya.

Hasil identifikasi dari tracking media dan berbagai sumber mendapatkan temuan underbow partai Golkar sebagai berikut Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), Kesatuan Perempuan Partai Golongan Karya (KPPG), Majelis Dakwah Islamiyah (MDI),  Kesatuan Organisasi Serbaguna Gotong Royong (Kosgoro), Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR), Himpunan Wanita Kekaryaan (HWK), Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG) dan Sentra Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI).

Menariknya hubungan melalui organisasi Partai Golkar maupun personal kader telah berhasil membangun kedekatan emosional yang kuat. Terlihat dari hubungan dengan media begitu mampu membuat Partai Golkar menciptakan isu dan mengelolaa isu tertentu untuk kepentingan partainya. Di lain pihak kalangan lembaga swadaya masyarakat dan paguyuban dari suku tertentu mampu di organisir oleh Partai Golkar Aceh, salah satunya melalui kegiatan sosial. Bisa dikatakan Golkar Aceh telah menitipkan simpatisannya di internal media maupun lembaga swadaya. Strategi infiltrasi telah berhasilkan dilakukan partai berlambang pohon beringin.

Bisa disimpulkan mesin organisasi underbow partai berfungsi dan berperan mendukung Golkar Aceh meraih kekuasaan di level legislatif maupun eksekutif. Gerakan mereka mampu menggerus gerakan dari underbow partai lainnya, tentunya tergantung dari strategi di masing-masing underbow partai politik. Kuncinya terletak kepada pengalaman, manajemen, kerja-kerja politik menguatkan kekuasaan partainya.

VI.2. Partai Keadilan Sejahtera

LOGO RESMI PKS 2013Merunut akar sejarahnya, pemilih partai berlambang padi dan bulan bintang ini memiliki kedekatan karakteristik dengan pemilih Masyumi yang modernis dan loyal. Embrio partai terbangun atas sebuah peluang yang menginginkan partai yang bersih dan berciri khaskan Islam. Walaupun ada Partai Persatuan Pembangunan (PPP), tetap saja  umat Islam Indonesia berkeinginan akan lahirnya partai Islam baru. Terlepas apakah PPP memiliki steroty publik partai yang cukup lama akan ada cacat pada perilaku kadernya. Berdasarkan latar belakang tersebut Partai Keadilan Sejahtera (PKS) muncul sebagai partai Islam yang sejalan dengan keinginan publik di Indoensia[xxxi].

Tidak dapat dipungkiri bahwa suara PKS dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Dimulai tahun 1999 dengan perolehan suara sebesar 1,51% atau 1.436.5651,36, lalu pada tahun 2004 sebesar 8,18% atau 8.325.0207,34, dan tahun 2009 dengan 10,18% atau 8.206.9557,88[xxxii]. Perolehan jumlah kursi di tahun 2009 dan dianalisis melalui data dapat dilihat dibawah ini.

No. Tingkat Tahun 2004 Tahun 2009 Penambahan Pengurangan
I. Provinsi
1. Aceh 8 4 4
           
II Kabupaten/Kota
2. Banda Aceh 8 5 3
3. Sabang 2 2
4. Aceh Besar 6 4 2
5. Pidie 5 2 3
6. Pidie Jaya (Pidjay) 1 0 1
7. Aceh Barat 2 4 2
8. Nagan Raya 0 1 1
9. Aceh Jaya 0 0
10. Gayo Lues 1 1
11. Aceh Tenggara 2 2
12. Aceh Singkil 0 0
13. Subulussalam 0 0
14. Aceh Barat Daya (Abdya) 0 0
15. Aceh Selatan 0 0
16. Simeulue 1 1
17. Aceh Tengah 1 1
18. Bener Meriah 0 0
19. Bireuen 3 1 2
20. Lhokseumawe 2 2
21. Aceh Utara 1 1
22. Langsa 2 2
23. Aceh Timur 1 0 1
24. Aceh Tamiang 2 2
  TOTAL 48 35 3 (16)

Sumber: KIP Provinsi Aceh, 2009

Tabulasi di atas menjelaskan bahwa terjadi penurunan yang cukup signifikan dari perolehan kursi PKS Aceh baik di level provinsi maupun kabupaten/kotapada tahun 2009, bila dibandingkan dengan tahun 2004.

Secara keseluruhan, PKS Aceh kehilangan 13 kursi atau sebesar 27%. Secara parsial, penurunan jumlah kursi yang paling kentara terjadi di tingkat provinsi, dimana PKS kehilangan 50% dari perolehan sebelumnya. Diikuti dengan penurunan pada 6 kabupaten/kota lainnya, yaitu; Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Pidjay, Bireuen dan Aceh Timur. Terdapat pula 2 kabupaten yang mendapatkan kursi tambahan, yaitu Aceh Barat dan Nagan Raya. Dilain itu, 15 kabupaten/kota lainnya masih mampu mempertahankan jumlah kursinya atau tanpa adanya perubahan sama sekali.

Di tingkat provinsi atau beberapa kabupaten/kota, PKS terpaksa menggabungkan partainya dengan partai lain agar dapat memenuhi kuota fraksi sebagai dampak dari lepasnya beberapa kursi di parlemen. Fenomena ini berakibat pada berkurangnya penguasaan PKS terhadap beberapa dimensi strategis. Akan tetapi, berdasarkan amatan PKS, dinamika ini tidak hanya dialami oleh PKS saja, namun juga oleh hampir seluruh Partai Nasional. Bahkan kondisi yang lebih parah dialami oleh PPP sebagai partai yang dianggap berafiliasi sama dalam hal keagamaan.

Kondisi ketika pemilu 2009 di Aceh, PKS tidak mendapatkan suara maksimal. Komposisi saat ini hanya empat kursi di tingkat DPR Aceh. Penyebab utama banyak kader–kader dari PKS tidak bisa mencoblos karena permasalahan administratif yaitu tidak terdaftar di DPT. Di sisi lain PKS tidak melakukan penguatan pada tingkatan akar rumput, konsentrasi hanya pada kampus dan pusat kota[xxxiii].

Masalah lainnya kekuatan PKS tidak maksimal memperoleh kursi di parlemen Aceh, karena kehadiran partai politik lokal yakni Partai Aceh serta mendominasinya Partai Demokrat pada saat itu[xxxiv]. Apalagi kehadiran momentum perdamaian telah mengubah preferensi pemilih terhadap partai politik nasional dikarenakan hadirnya partai lokal sebagai peserta Pemilu Legislatif 2009. Sehingga, bagaimanapun political marketing yang dirancang pada saat itu tidak berjalan maksimal di lapangan[xxxv].

Berdasarkan penelusuran informan peneliti, PKS Aceh sudah memiliki desain marketing dalam menjaring pemilih sebelum pemilu 2009. Bentuk-bentuk political marketing tidak terlepas dari desain yang sudah dibuat di nasional, seperti fokus ke isu Palestina dan isu lokal Aceh yakni tsunami. Walaupun PKS tidak mengakui bahwa mereka meraih dukungan politik melalui bantuan ketika tsunami. Selain daripada itu, aktivitas kedermawanan berwujud kegiatan sosial selalu kerap kali dibuat oleh PKS Aceh. Ini bagian dari sarana dakwa sekaligus komunikasi politik. Ditunjukan dengan memberikan pengobatan gratis, memberikan bantuan beasiswa, pendidikan usia dini, donor darah, pemberian hewan kurban dll[xxxvi].

Meskipun tidak bisa dipungkiri bahwa ada kecurigaan dari masyarakat bahwa PKS menggunakan strategi mobilisasi dana umat untuk kepentingan kegiatan sosialnya, seperti dana zakat, infaq, shadaqah, dan waqaf melalui organisasi filantropi Islam, terutama Pos Keadilan Peduli Umat (PKPU) demi kepentingan politik[xxxvii]. Sedangkan lokal Aceh, menurut pandangan pengamat politik Aceh, PKS Aceh berhasil memasukan personal kader ke badan atau institusi pengelolaan dana umat. Namun belum diidentifikasikan valid apa-apa saja badan tersebut. Dengan demikian bisa menjadi bagian baru dari political marketing PKS, bilamana hal itu benar-benar dilakukan walaupun tanpa transparansi yang jelas maka makin mengoligraki posisi PKS tidak hanya nasional maupun lokal, khususnya Provinsi Aceh.

Ada yang luput dari creating issue bagian dari political marketing (MP) yang dikonsepkan oleh PKS Aceh yaitu masalah reintegrasi dan isu kearifan lokal berdasarkan hasil tracking media yang peneliti lakukan. Inilah membuat pemilih belum mampu diraih secara maksimal. Lebih jauh issue bersih menjadikan bagian dari MP untuk menarik simpatik atau dukungan politik dari pemilih Aceh. Pola yang dilakukan melalui penghegemonian cara berpikir bahwa “PKS, Bersih dan Peduli”.

Cara lainnya menjaring pemilih melalui ceramah dan pengajian rutin di lingkaran kampus dan masyarakat umum. Belum lagi gerakan militansi dari PKS mempengaruhi masyarakat lakukan melalui media membangun komunikasi persuasif dan bersahaja yang mampu mengubah arah pemilih di Aceh. Masih terkait strategi meraih dukungan pemilih melalui metode melalui perekrutan besar-besaran kader, khusus di kampus dan pusat kota. Teknisnya membentuk sayap organisasi (underbow) bagi PKS guna menjaring pemilih loyalis dan pemilih simpatisan.[xxxviii].

Hasil referensi dari buku berjudul”Ideologi PKS dari masjid kampus ke gedung parlemen”[xxxix]. Berikut ini nama-namanya underbow PKS, Garda Keadilan, Salimah, Serikat Pekerja Keadilan, Perhimpunan Petani Nelayan Sejahtera Indonesia, Kesatuan Aksi Pelajar Muslim Indonesia, dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Kelompok-kelompok  yang secara formal bukan underbow PKS namun berafiliasi secara ideologis, seperti Rohis (Rohani Islam) dan LDK (Lembaga Dakwa Kampus).

Pada hasil observasi peneliti menemukan tidak semua underbow PKS berjalan semua, dimana publik hanya menilai yang berkontribusi sangat signifikan berasal dari underbow diluar lingkaran PKS yaitu Rohis dan LDK. Tetapi kontribusi KAMMI dan Garda Keadilan maupun Salimah sudah memberikan pundi-pundi suara bagi pemilih loyalis PKS. Strategi dari underbow baik internal maupun eksternal tetap tunduk berdasarkan arah atau instruksi dari PKS. Tentunya bermuara kepada kepentingan PKS baik target pemilih dan visi misi.

Hubungan ke eskternal PKS pun melakukan pola clientelistic linkage[xl], maksudnya dalam hubungan dengan warga (pemilih) peran-peran intermediari antara sang patron dan klien kini lebih banyak dimainkan oleh rantai kepengurusan dan organisasi underbow mereka.

Berangkat dari kaderisari melalui personal dan underbow partai yang tersistematis dan solid memproduksi figur tokoh baru yang merata di struktur PKS Provinsi Aceh, terdiri dari Raihan Iskandar, Nasir Djamil, Nourman Hidayat, Surya Darma, Ghufran Zainal Abidin dan lain-lain. Merujuk kebiasaan kebanyakan partai lain di Indonesia yang masih mengandalkan patronase figur, PKS mampu memproduksi sekian banyak figur tokoh hasil kaderisasi internal partai yang kini muncul menjadi tokoh publik.

Ditelaah dalam hal partai kompetitor (competing party) dan kelompok eksternal (external groups), ditemukan bahwa berbicara kompetisi sesama partai dirasakan PKS secara organisasi politik mendapatkan perlakukan intimidasi mengarah kepada psikologi pengurus, kader loyalis, dan simpatisan partai[xli]. Berarti realitas menunjukan hadirnya gaya orde baru berbungkus baru dengan gaya lama di praktekan ketika pemilu 2009. Tindakan tersebut jelas-jelas menurunkan nilai-nilai berdemokrasi secara beretika (fear). Respon dari PKS Provinsi Aceh tetap mengedepankan cara-cara pendekatan emosional kepada partai yang melakukan. Tujuannya agar tindakan itu tidak terulang dan dilakukan lagi ke partai PKS.

Sedangkan kelompok eksternal, metode political marketing menerapkan komunikasi personal kepada kalangan wartawan dan organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat. Pendekatan personal bukanlah memberikan uang, namun lebih memfokuskan memberdayakan agar mereka lebih profesional menjalankan fungsi dan perannya bagi masyarakat Aceh[xlii]. Jika dinilai merujuk fakta temuan peneliti, PKS lebih mengusai media melalui pemberitan kegiatan organisasi kepartaian serta mampu merangkul LSM guna melakukan kegiatan sosial bersama-sama. Lebih menariknya PKS mampu memainkan issue tertentu yang menguntung partai melalui kedekatan dengan media dan LSM.

Hal lain yang terungkap dari lapangan, cara PKS Aceh mengikat kelompok eksternal untuk menjadi simpatisan maupun kader inti, dimana setiap kegiatan selalu melibatkan mereka yang dikatagorikan sebagai kelompok eksternal. Tindakan itu bagian dari political marketing PKS Aceh. Itu pun tidak terlepas peran dari setiap kader inti membangun hubungan personal to personal setiap kelompok eksternal.

Sejarah Singkat Partai Lokal Aceh

Sebelum masuk ke pemaparan tentang political marketing partai lokal (parlok) yaitu Partai Aceh dan Partai Daulat Aceh terlebih dahulu peneliti menjelaskan sejarah singkat hadirnya parlok di Provinsi Aceh. Sejarah telah mencatat dari kesepakatan Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka telah menyetujui hadirnya parlok sebagai bentuk kesepakatan perjanjian kedua belah pihk. Kemudian diturunkan dengan kekuatan hukum mengikat yakni Undang-undang Pemerintahan Aceh  (UUPA) Nomor  11 Tahun 2006 memuat 20 pasal yang mengupas pembentukan Partai Lokal (Parlok). Hal ini bisa ditelaah dari pasal 75-95 Bab XI.

Pasal 75 ayat 1 berbunyi, “Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal”. Lalu ayat 2, “Partai politik lokal didirikan dan dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) orang Warga Negara Republik Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dan telah berdomisili tetap di Aceh dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya  30 % (tiga puluh persen)”.

Salah satu turunan produk hukum dari UUPA dikeluarkan Peraturan Pemerintah  (PP) Nomor  20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal (parlok) di Aceh pada tanggal 16 Maret 2007.  Setahun kemudian pada tanggal 17 Januari 2008 disahkan Qanun Nomor 8 Tahun 2008 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik. Dari rahim UUPA yang terdiri dari 273 pasal, DPRA melahirkan Qanun Partai Politik Lokal Nomor 3 Tahun 2008 yang terdiri dari 38 pasal. Qanun tersebut disahkan pada tanggal 13 Juni 2008 membahas seputar Partai Politik Lokal, Peserta Pemilu Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPR Aceh) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK) di Provinsi Aceh.

Fungsi Parlok

UUPA Pasal 79

a. Pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat;

b. Penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan rakyat;

c. Penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik rakyat; dan

d. Partisipasi politik rakyat.

Dalam Pasal 1 PP Nomor 20 Tahun 2007 disebutkan parlok adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia yang berdomisili di Aceh secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA)/Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota (DPRK), gubernur/wakil gubernur, serta bupati dan wakil bupati/walikota dan wakil walikota. Serta Qanun (Peraturan Daerah) Nomor 7 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu di Aceh.

Berdasarkan PP tersebut, secara konstitusional sudah legal mendirikan Parlok di Aceh setelah melewati perdebatan sengit dalam perundingan antara Pemerintah Indonesia-Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Finlandia Helsinki. Jadi patut dicatat, parlok di Aceh bukanlah  hadiah dari Pemerintah Indonesia. Namun hasil take and give yang dilakukan oleh Juru Runding GAM setelah menguburkan kata merdeka.

Pidato Perdana Menteri GAM Malik Mahmud pada penandatanganan MoU Helsinki, “…jalan satu-satunya untuk menjamin perdamaian di Aceh adalah melalui pelaksanaan demokrasi yang sejati. Demokrasi yang sejati tidak menghambat pembentukan partai-partai politik.” Malahan jika Parlok ditolak dalam pertemuan lanjutan pada 15 Juli 2005 di Helsinki, maka dialog kelima di Helsinki pun bubar di tengah jalan[xliii] .

Menguak dokumen-dokumen perundingan, perdebatan Parlok sudah disodorkan oleh Juru Runding GAM di Helsinki pada putaran III (12-16 April 2005) .  Tiga kata kunci yang dilontarkan dalam perjanjian itu yakni Pemerintahan Sendiri (self government), demokrasi lokal dan partai lokal (local party). Hasilnya, Indonesia tetap berfatwa bahwa Aceh cukup dengan ramuan Otonomi Khusus (Otsus), menolak ide Parlok dan Pemilu legislatif lokal satu paket dengan Pemilu Nasional.

Memasuki perundingan putaran IV (26-31 Mei 2005)  dan V  (12-17 Juli 2005) terjadi kompromi politik yaitu GAM menerima Otsus dengan sebutan Pemerintah Sendiri dan Indonesia atas dukungan Wakil Presiden Indonesia Jusuf Kalla (JK) menerima konsepsi parlok. Pembahasan parlok pun tertera dalam MoU Helsinki. Tidak diragukan lagi JK pasang badan mengusung parlok dari meja runding di Helsinki ke gelanggang perpolitikan Aceh dibeberkan dalam silaturrahmi dengan Pengurus Partai Aceh pada tanggal 13 Juni 2009 di Banda Aceh. JK bernostalgia, saat itu banyak yang menolak Partai Aceh, namun dia komit meneken logo Partai Aceh ketika orang lain takut. Jadi satu-satunya partai yang ditandatangani oleh Wakil Presiden adalah Partai Aceh.

Ramai-ramai Menolak Parlok

Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Widodo AS pada 7 Juni 2005 usai bertemu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Jakarta kepada wartawan menjelaskan Indonesia menolak pembentukan partai politik lokal di Aceh seperti keinginan GAM yang dilontarkan di Helsinki. Disebutkan, tuntutan ini tak mungkin diakomodasikan  termasuk keinginan melakukan pemilihan lokal karena sudah ada perundang-undangan yang mengakomodasi itu semua. “Dalam UUD 1945 tidak dikenal partai lokal. Yang ada partai politik nasional,” tegas Widodo.

Penolakan senada juga dilontarkan oleh Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang menyatakan ide pembentukan partai lokal tidak sesuai dengan bentuk negara kesatuan dan bertentangan dengan perundang-undangan yang berlaku. Keberadaan parpol lokal dikhawatirkan akan menjadi sarana perjuangan politik separatisme.

Tiga hari setelah Partai Gam dibentuk, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga menolak kehadiran Partai Gam yang dibentuk oleh kombatan GAM dengan alasan tidak sesuai dengan semangat rekonsiliasi dan  persatuan[xliv].

Sisi kelemahan kader parlok yakni tidak bisa mencalonkan diri menjadi calon presiden/wakil presiden atau Calon Legislatif (Caleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Jakarta. Caleg dari parlok berpeluang menjadi salah seorang dari 69 anggota legislatif di Provinsi Aceh dan 645 anggota legislatif tingkat kabupaten/kota di seluruh Aceh[xlv]. Hanya di Aceh caleg dari parlok dan parnas yang beragama Islam diwajibkan mengikuti tes baca al-Quran yang dinilai oleh para qari alias yang paham baca Quran. Menurut Qanun Nomor 3 Tahun 2008 Tentang Partai Politik Lokal, jika caleg gagap baca Quran, maka otomatis calon legislatif itu gagal dan bisa diganti oleh calon lain.  Akibat peraturan daerah (perda) itu, paling kurang 50 caleg dari parlok dan parnas tersandung ketika dites membaca Quran untuk mengikuti pemilu legislatif 2009.

VI.3. Partai Aceh

aceh23

Mengapa partai Aceh yang pertama ikut pemilu dan kadernya yang relatif belum berpengalaman di dunia politikus bisa merajai kursi dari jenjang provinsi, kabupaten dan kota? Apa saja political marketing yang dilakukan oleh partai bentukan mantan kombatan GAM ini?

Merujuk pada pemikiran Robert Ormrod yakni orientasi pasar politik terdiri dari empat bangunan yang merepresentasikan orientasi dari stakeholders yang ada di tengah masyarakat, yakni pemilih (voters), partai kompetitor (competing party), anggota partai (party members), dan kelompok eksternal (external groups) seperti media, warga, serta kelompok lobby dan kelompok kepentingan, peneliti mengamati indikator-indikator itu dimiliki oleh Partai Aceh sebagai partai pendatang baru.

Dari aspek pemilih, pengurus Partai Aceh paham bahwa masyarakat lebih gampang memahami pesan politik melalui bahasa-bahasa budaya dan sosial. Adalah Partai Aceh yang pertama mengklaim bahwa hanya Partai Aceh sebagai partai turunan dari MoU Helsinki. Dengan kata lain, partai inilah yang diberikan amanah menjalankan perjanjian damai di Helsinki.

Sebutan itu sering digaungkan dalam kampanye-kampanye, baliho atau spanduk. Bahasa yang panjang lebar itu disingkatkan dalam peribahasa Aceh yakni dengan sepenggal kalimat “meunjoe kon ie leuhob” yang bermakna kalau bukan air berarti air. Artinya, hanya Partai Aceh yang merupakan partai orang Aceh.

Sebagai pendatang partai baru, kehadiran Partai Aceh relatif lebih cepat diterima oleh warga. Selain faktor berkaitan dengan hal-hal baru yakni bertandingnya enam parlok, kelebihan Partai Aceh lebih cepat penetrasinya di masyarakat karena pengurus partai sudah dikenal serta simbol bendera Partai Aceh mirip dengan bendera GAM  yang sudah dikibar sejak 4 Desember 1976. Ada yang menyebutkan, kader Partai Aceh sudah berkampanye selama 33 tahun sejak tahun 1976 hingga 2009.

Selanjutnya menjelaskan perihal indikator berdasarkan pemikiran dari Robert Ormrod. Mengulas temuan dari Partai Aceh dalam meraih simpatik ataupun dukungan politik dari pemilih (masyarakat Aceh) sangatlah menarik difahami. Faktor utama lebih disebabkan kehadiran mereka langsung melejit bagaikan roket. Tentunya sudah peneliti jelaskan di paragraf sebelumnnya. Berbicara political marketing yang diterapkan Partai Aceh tanpa strategi yang terkonsep dan terdesain. Tetapi faham berpolitik ditunjukan dengan memanfaatkan figur ketokohan sebagai magnet kuat meraih dukungan politik dari rakyat Aceh ketika sebelum pemilu 2009 berlangsung. Tokoh di Eks Gerakan Aceh Merdeka terdiri dari; Hasan M Tiro, Malik Mahmud, Zakaria Saman, Zaini Abdullah, Muzakir Manaf.

Dibuktikan kehadiran deklarator GAM DR Hasan M Tiro yang lazim ditulis Hasan Tiro di Aceh sejak 11 Oktober 2008. Ini adalah kepulangan yang pertama setelah 29 tahun tinggal di luar negeri. Dari negera Skadanavia Swedia, Hasan Tiro mengendalikan pergerakan GAM selama tiga dasawarsa lebih. Ada kerinduang mendalam yang dialami oleh simpatisannya, pengikutnya serta rakyat Aceh untuk menatap wajahnya. Wal hasil, sejak mendarat di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda Blang Bintang Aceh Besar, bertabur juga bendera-bendera GAM sepanjang jalan yang dilaluinya. Tidak diragukan lagi, kemenangan Partai Aceh juga andil dari kehadiran Hasan Tiro yang melakukan tur perdamaian di Aceh sejak 11-26  Oktober 2008. Bendera Partai Aceh berkibar selama deklarator GAM mengadakan napas tilas dan romantisme pergerakannya.

Kehadiran Hasan Tiro di tanah kelahirannya secara tersurat dan tersirat menjadi ajang kampanye bagi Partai Aceh yang akan mengikuti pemilu legislatif enam bulan lagi pada Kamis, 9 April 2009. Keberadaan Hasan Tiro menjadi test case bahwa massa yang ingin mendengar sekelumit pidato Hasan Tiro sebagai barometer jumlah suara yang diperoleh pada Hari H. Ketika pemilu legislatif 2009, Hasan Tiro memantaunya dari Malaysia. Aroma kehadirannya di Semanjung Malaysia terasa lebih dekat daripada tinggal beribu-ribu mil di Swedia.

Kemenangan terbesar Partai Aceh saat itu, disebabkan faktor konsentrasi pemilih yang diyakini memiliki kekuatan dukungan dari perjuangan ketika mengangkat senjata. Wilayahnya terdiri dari utara timur, dan pantai barat selatan. Sedangkan wilayah tengah dan tenggara kurang mendapatkan tempat dari masyarakat Aceh[xlvi]. Faktor pengelolaa issue dilakukan pengurus Partai Aceh meracik menu dari khazanah-khazanah yang terhampar di masyarakat. Mereka memungut kearifan lokal melalui petitih-petitih pesan politik melalui bahasa-bahasa budaya dan sosial yang gampang dicerna oleh warga lapisan bawah.

Partai Aceh menyadari agar diminati oleh warga, maka partai mesti terbuka kepada pihak luar yakni yang bukan mantan kombatan GAM atau sipilnya. Mereka mempersiapkan calon legislatif dengan komposisi 50 persen dari kombatan GAM dan 50 persen dari unsur akademisi, tokoh masyarakat serta ulama termasuk dari mantan kalangan TNI.
Misalnya, Partai Aceh menerima veteran TNI dari Kodam Iskandar Muda Kolonel (Purn) M. Sidik Fahmi SH. MH yang terpilih menjadi anggota DPR Aceh, Abdullah Saleh mantan politikus PPP, dll. Partai Aceh benar-benar ingin memperlihatkan dirinya ingin berubah dari kesan publik yang cenderung ekskulsif menjadi inklusif.

Menelusuri penyebabnya peneliti menemukan jawaban mengapa wilayah tengah dan tenggara tidak kuat dukungan masyarakat pemilih. Dikarenakan perbedaan kesukuan serta jiwa etnonasionalismenya sangat kuat. Ditambah lagi gerakan penentangan terhadap Gerakan Aceh Merdeka ketika konflik bersenjata ditentang oleh masyarakat di wilayah tersebut. Sehingga mengkristal menjadi apatis terhadap eks GAM yang bertransformasi menjadi PA. Bahkan di Singkil dan Subulussalam PA tak mendapatkan satu kursi pun di pemilu 2009. Bagi Partai Aceh itu wajar saja, karena basis gerakan saat perjuangan dulu di wilayah tengah tidak maksimal juga.

Menurut informan peneliti[xlvii], Partai Aceh berhasil memahami karakteristik dari pemilih di Aceh. Dimana terbagi menjadi tiga:

  • Pertama, pemilih cerdas; mereka menentukan pilihan terhadap calon legeslatif berdasarkan program yang ditawarkan. Semakin bagus program maka potensi kemenangan calon tersebut semakin besar. Pemilih cerdas umumnya berdomisili di perkotaan, seperti Banda Aceh, ibu kota provinsi Aceh. Nah, pada pemilu 2009 di DPRK Banda Aceh Demokrat paling banyak mendapat kursi.
  • Kedua, pemilih hayalan; masyarakat awam di pedesaan pada umunya termasuk dalam golongan pemilih awam. Pada pemilu 2009 masyarakat Aceh memberikan suara kepada Partai Aceh karena bagi mereka Partai Aceh masih akan memperjuangkan keinginan mereka sama saat masih masa konflik. Kemudian golongan pemilih ini terprovokasi dengan janji-janji pada saat kampanye Partai Aceh.
  • Ketiga, pemilih aman; tipe pemilih seperti ini hanya mengedepankan nilai keamanan terhadap dirinya maupun lingkungan. Ini termasuk golongan putih atau golput. Tak berlebihan bila dikatakan mereka memilih karena terpaksa.  Saat itu  ada semacam pemaksaan yang dilakukan oleh tim suskes agar memilih Partai Aceh. Ada isu yang dimainkan bila ingin damai terus berlanjut di Aceh maka masyarakat harus memilih PA, karena PA-lah yang satu-satu partai amanah MoU Helsinki.

Partai Aceh mengoptimalkan mantan kombatan. Bentuk nyatanya dilibatkan sebagai pemilih loyalis dan pekerja lapangan. Karena pada saat itu sistem perpolitikan di tubuh PA tidak berjalan demokrasi sepenuhnya. Namun yang diterapkan adalah sistem komando. Bawahan hanya mengerjakan sesuai intruksi pimpinan[xlviii].

Namun dibantah dari penelitian yang dilakukan sekelompok akademisi Unsyiah dan Asing[xlix], kemenangan Partai Aceh sama sekali tidak ada hubungan dengan praktek intimidasi tersebut. Tidak sejalan dengan hasil kajian Achenese Civil Society Task Force di pemilu 2009, lebih cenderung partai politik terjebak pada marketing klasik yakni baliho, spanduk, bagi-bagikan uang. Tetapi juga menemukan hal baru hadirnya intimidasi dan kekerasan sebagai bentuk dari political marketing. Berarti menunjukan, bahwa ada pergeseran partai dalam membuat political marketingnya. Hasil kajian tersebut tidak menunjuk siapa partai yang melakukan itu. Tetapi fokus group diskusi (18/01/2013)[l] yang dilakukan peneliti menemukan intimidasi dan kekerasan terjadi pada pemilu 2009 tetapi pemilih tidak berani mengatakan kepada media. Secara langsung telah mempengaruhi psikologi dari pemilih (masyarakat Aceh) ketika memilih partai politik.

Harus difahami cara menerapkan intimidasi dan kekerasa kepada pemilih memang sudah lama terjadi sejak era orde baru. Akan tetapi paska reformasi dan perkembangnya nilai-nilai demokrasi intimidasi dan kekerasa tidak terpraktekan lagi. Untuk konteks Aceh berbeda, dimana gaya orde baru yaitu intimidasi dan kekerasan kepada pemilih di reproduksi kembali oleh aktor politik yakni partai politik. Jadi batasan dari penerapan adalah paska reformasinya, walaupun gaya intimidasi dan kererasan bukanlah barang baru. Ia barang lama dengan bungkusan baru di era baru serta aktor politik baru.

Melalui tulisan yang pernah peneliti buat berjudul”Analisis Pemilu 2009 di Aceh” berbagai bentuk intimidasi yang dilakukan oleh parnas dan parlok seakan lazim dalam kultur sosial masyarakat Indonesia, bahkan akhir-akhir ini parlok yang awalnya kita harapkan sebagai partai yang berorientasi menjadi partai masa depan yang demokratis dan lebih punya tanggung jawab politik kepada konstituen di Aceh, juga terindentifikasi melakukan beberapa intimidasi. Pembakaran bendera dan penghilangan atribut partai yang dianggap saingannya dilakukan oleh anggota partai politik di Aceh. Bahkan sampai ada intimidasi fisik. Sadar atau tidak, prilaku itu ditakutkan akan mengarah pada kondisi oligarki politik. Dengan hilangnya etika berdemokrasi secara  santun, akan menambah rumit masa depan demokrasi di Aceh.

Ketika mentelaah anggota partai (party members), Partai Aceh memiliki beberapa underbow atau sayap partai, namun pada saat itu kontribusi yang bisa diberikan tidak ada sama sekali. Di karenakan pembentuk sayap partai hampir berbarengan dengan partai. Sehingga secara organisasi mereka belum bekerja. Beberapa sayap Partai Aceh yaitu, Komite Mahasiswa Pemuda Aceh (KMPA),  Putroe Aceh, MUNA (Majelis Ulama Nanggroe Aceh), Organisasi intelektual sebagai think tank, dan persatuan buruh[li].

Instruksi tegas petinggi Partai Aceh seluruh keluarga dari eks kombatan dan eks GAM harus mendukung gerakan politik kemenangan partai. Selanjutnya diturunkan melalui instruksi panglima wilayah guna memperoleh suara. Ini menunjukan karakter komando masih di praktekan dalam ranah politik praktis. Dengan demikian pola-pola yang diimplementasikan harus sesuai pemikiran para panglima wilayah.

Bilamana ditanyakan kontribusi dari party members dari underbow Partai Aceh penjaringan suara di pemilu 2009 tidak memberikan kontribusi siginfikan. Dikarenakan kehadiran Partai Aceh bersamaan dengan sayap politik Partai Aceh. Sehingga lebih mengandalkan dari kalangan eks kombatan dan eks GAM saja. Tentu ada beberapa alasan, Partai Aceh sebagai partai baru pada saat itu tidak punya waktu yang cukup untuk membangun konsolidasi. Mereka fokus bekerja untuk menguasai parlemen[lii].

Sementara itu, memahami dinamika partai kompetitor (competing party) dimana komunikasi Partai Aceh dengan partai lain baik lokal maupun nasional tidak terbangun dengan baik, karena memang PA sendiri tidak melakukan hal itu. Tentu ada beberapa alasan, Partai Aceh sebagai partai baru pada saat itu tidak punya waktu yang cukup untuk membangun konsolidasi. Mereka fokus bekerja untuk menguasai parlemen[liii].

Sedangkan hasil pengamatan peneliti bagi partai kompetitor Partai Aceh merupakan saingan terberat. Karena menganggap partainya kuat dan diamanahkan oleh perjanjian MoU Helsinki. Meski secara kepartaian mereka masih baru namun dilapangan mereka sudah bekerja sejak puluhan tahun lalu. Bahasa lainnya adanya modalitas ketika berjuang dengan senjata. Istilahnya ‘hanya berganti cover, bila dulu bekerja atas nama GAM kini atas nama partai politik’. Terbukti memang, semua partai nasional mengalami penurunan jumlah kursi di DPR Aceh.

Untuk kelompok eksternal (external groups) dalam political marketing sangat bagus. Menghadapi pemilu 2009 hubungan Partai Aceh dengan lembaga eksternal seperti Ormas, media dan kelompok-kelompok mahasiswa terjalin dengan baik. Namun kemenangan Partai Aceh tidak sama sekali karena kelompok-kelompok di atas.

Ada satu kelompok external lain yang turut menentukan kemenangan Partai Aceh saat itu, yaitu aparatur keamanan. Ini dapat dilihat dari tidak adanya kekerasan dan intimidasi pada pelaksaan Pemilu yang diusut tuntas. Aparatur keamanan sengaja dialakukan pembiaran terhadap pelaku intimidasi di lapangan. Ini diakui oleh partai nasional, di mana beberapa kasus yang yang menimpa kader mereka namun laporan ke polisi tidak ditindak lanjuti. Dukungan kalangan organisasi masyarakat sipil makin memperkuat nilai tawar PA di pemilu 2009, walaupun ormas tidak secara terbuka mendukung[liv].

Walaupun berbagai kalangan publik menilai hubungan komunikasi ke kelompok eksternal tidak dilakukan dengan baik. Pengamat politik menilai masih kentalnya praktek ekskulsif sebelum pemilu 2009 berlangsung. Namun ada beberapa orang masuk ke Partai Aceh dari partai nasional, pengusaha, dan aktivis.

VI.4. Partai Daulat Aceh[1]

PDA berubah

Tidak ada kata Islam dalam partai ini. Namun partai ini dimobilisasi oleh kalangan ulama pesantren (dayah).  Partai ini bisa mengikuti Pemilu Legislatif 2009 mengalahkan Partai Gahbtat yang diklaim didukung oleh kalangan ulama dan santri yang dekat dengan mantan militer GAM. Orientasi Partai Daulat Atjeh  (PDA) menegakkan Syariat Islam di Aceh. Investor boleh masuk, syariat harus hidup. Ini bukan partai santri atau anggota pengajian. Sepintas lalu, nama partai ini mengingatkan pemilih pada Partai Daulat Rakyat yang dibentuk oleh Adi Sasono pekerja Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dekat dengan mantan Presiden BJ Habibie. Perhatikan juga pengurus partai menulis kata Atjeh dengan ejaan lama sebagaimana yang ditulis oleh deklarator GAM Hasan Tiro pada awak deklarasi GAM pada tahun 1976 yang menulis Aceh dengan Atjeh atau Acheh.

Menulis Aceh dengan Atjeh merupakan bagian dari romantisme sejarah, ada perbedaan dalam menulis kata Aceh sehingga menjadi daya tarik pemilih.  Menulis kata Aceh dengan Atjeh pada nama parlok juga dilakukan oleh Partai Bersatu Atjeh (PBA). Parlok dengan nomor urut 40 ini dibidani oleh  Ahmad Farhan Hamid MS yang merupakan politikus Partai Amanat Nasional Wilayah Aceh. Embrio PDA dari kalangan ulama dan cendekiawan yang dicetuskan dalam pertemuan pada tanggal 4 Maret 2007 di Banda Aceh. Kemudian dimaklumatkan pada tanggal 1 Februari 2008 di Banda Aceh yang dihadiri oleh 125 ulama Aceh seperti Teungku Haji Hasanul Basri yang dikalangan dayah dikenal dengan nama Abu Mudi Masjid Raya dan Teungku Haji Muhammad Nasir Wali yang menjabat Ketua dan Wakil Ketua Mustayar PDA.

Pengurus partai ini mengklaim PDA mendapat dukungan penuh dari enam ulama besar Aceh seperti Nek Abu Adnan Bakongan, Aba Lamno, Abu Usman Kuta Krueng, Abon Seulimuem, Abuya Nasir Wali dan Abu Mudi Samalanga. Disebutkan,  HUDA dan organisasi Rabithah Thaliban Aceh (Ikatan Santri Dayah Aceh) mendukung partai ini. Jalinan HUDA dengan PDA seperti hubungan Nadhalatul Ulama (NU) dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang bereda di Pulau Jawa. Dari segi wilayah,  pendukung partai ini tersebar di 23 kabupaten/kota karena memiliki ikatan emosional sesama santri dan alumni dayah. Ini kekuatan yang luar biasa karena melampau batas etnik atau golongan. Mereka memiliki basis pemilih yang loyal dengan 693 dayah, 108.468 murid dan sekitar 700 balai pengajian di seluruh Aceh[lv].

Lazimnya, sesama pemilik dayah memiliki hubungan satu guru pada dayah lainnya yang kemudian mengembangkan atau mendirikan dayah masing-masing di daerah asalnya atau di tempat lain. Takzim (rasa hormat) murid kepada guru masih kental sebagaimana patuh prajurit kepada komandanya. Kehadiran Harmen mantan politisi Partai Bintang Reformasi (PBR) dalam partai ini membuat posisi PDA semakin tangguh. Pada Pemilu 2004, PBR masuk lima besar peraih suara dengan delapan kursi di DPRA. Kantong-kantong suara mereka berasal dari dukungan ulama dayah dan santri yang sangat dihormati oleh warga di mana dayah itu berada. Salah satu kelebihan partai ini, mereka memiliki pengaruh merata di seluruh Aceh.

Harmen merupakan kandidat wakil gubernur Aceh Pilkada 2006 yang berpasangan dengan Letnan Jenderal (Purn) Tamlicha Ali. Sebelumnya Harmen anggota DPRA dari PBR.  Namun pada 30 Januari 2009 atau jelang Pemilu 2009,  PBR mengganti posisi Harmen  di DPRA karena hijrah ke PDA.  Setelah tidak melewati batas ambang untuk mengikuti pemilu legislatif 2014, PDA berganti nama menjadi Partai Damai Atjeh yang disingkat tetap dengan PDA. Dibandingkan parlok lainnya minus Partai Aceh, PDA bisa menempatkan satu pengurus partai yakni Teungku  Teungku Muhibussabri AW di jajaran kursi DPR Aceh.

Pada pemilu 2009 Partai Daulat Aceh (PDA) mendapat 11 kursi di tingkat Provinsi dan Kabupaten/Kota. Dengan rincian, 1 di provinsi Aceh,  3 kursi di Kota Banda Aceh, 4 kursi di Aceh Besar, 1 kursi di Pidie, 1 kursi di Bener Meriah, 1 Kursi di Aceh timur, 1 kursi di Aceh Barat dan 1 kursi di Aceh Jaya. Menjelang pemilu 2014, Partai Daulat Aceh[lvi] berganti nama menjadi Partai Damai Aceh. Dikarenakan tidak cukup syarat administrasi sebagai kontestan pemilu 2014.

Hasil dari fokus group diskusi[lvii] menghasilkan kesimpulan keberhasilan Partai Daulat Aceh mengirimkan kadernya ke parlemen menunjukkan kalau PDA merupakan partai yang kuat. Bilamana dibandingkan dengan partai lokal lainnya seperti; Partai Aceh kalah jauh. Namun, bila dibandingkan dengan beberapa partai lokal seperti Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Sentral Informasi Rakyat Aceh (SIRA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) dan Partai Bersatu Aceh (PBA). Partai lokal ini bahkan tak mendapatkan satu kursi pun di legeslatif, baik provinsi maupun kabupaten kota.

Hanya saja political marketing PDA tidaklah tersusun dengan rapi berbasiskan sistem manajemen. Disinilah kelemahan PDA secara kepartaian pada saat sebelum pemilu 2009 berlangsung. Diketahui ternyata para politikus dari kalangan Partai Daulat Aceh tidak memiliki kemampuan secara pengetahuan tentang membuat political marketing. Dibuktikan bahwa PDA tidak melakukan gerilya untuk merangkul semua elemen masyarakat agar memilih PDA. Mereka hanya fokus pada massa riil yakni santri kalangan dayah dan masyarakat sekitar dayah. Walaupun hanya sebatas strategi itu, akan tetapi telah berhasil meraih dukungan dari santri dan masyarakat sekitar dayah. Namun tidaklah terlalu besar perolehan suara dari PDA di level DPRA. Mereka hanya mengantongi 1 (satu) kursi saja. Itu pun sudah sangat luar biasa jika ditinjau dari kabupaten/kota[lviii].

PDA mampu meraih 1 (satu) kursi yang dipegang oleh Muhibussabri sebagai anggota DPR Aceh, ia mencalonkan diri dari Daerah Pemilihan I (Aceh Besar, Banda Aceh dan Sabang). Pada saat itu sekitar 13 ribu suara berhasil dikantonginya. Mendapatkan suara sedemikian banyak karena pada saat itu khususnya untuk Dapil I ada seruan yang dilakukan oleh Pimpinan Dayah Seulimum, Aceh Besar agar semua santri memilih PDA untuk calon anggota DPR Aceh.  Begitu juga dengan keberhasilan pada tingkat kabupaten/kota, itu dipastikan karena satu dua  dayah yang ada di sana all out mendukung calon yang diusung PDA. Meskipun tidak semua dayah yang terdapat di  wilayah itu mendukung penuh.

Persoalan lain yang dihadapi PDA adalah, sebagian tokoh ulama pendiri PDA pada saat itu tidak berani tampil terang-terangan sebagai bagian dari PDA. Padahal mereka terlibat pada saat proses pembentukan partai. Disinyalir, tokoh-tokoh ini khawatir PDA akan kalah pada pemilu dan mengakibatkan reputasi mereka menurun. Apalagi pada saat itu para ulama juga ikut mendirikan lokal lain yakni Partai Gabthat yang kemudian tidak lolos ferifikasi. Ini membuat perpecahan di kalangan ulama sendiri, sebagian mendukung PDA dan sebagian lagi yang dari Gabthat berpencar ke beberapa partai lain.

Lebih lanjut bagaimana kondisi kekuatan dan keleman PDA pada pemilu 2009 bisa dilihat dari empat hal di bawah ini:

  1. Pemilih (voters). Kekuatan sebuah partai tak terlepas massa atau jumlah voters. Begitu juga dengan PDA yang memiliki basis massa sendiri. Partai PDA menjadikan santri sebagai pemilih utama mereka menyebutnya voters riil.  Karena memang partai ini didirikan oleh para santri dan tokoh ulama. Dari segi pemilih, pada pemilu 2009 lalu 90 persen lebih calon legeslatif yang diusung PDA berasal dari santri. Namun ada kelemahan dalam melakukan political marketingnya, dimana pemilih lain seperti masyarakat diluar dayah dan santri tidak diakomondir menjadi pemilih riil. Bisa dikatakan PDA tidak menjaring pemilih kognetif dan apektif. Sehingga hasil yang dicapai pun tidak maksimal[lix]. Lebih detail lagi, peneliti menemukan alasan utama mengapa tidak menggarap pemilih selain santri dan masyarakat sekitar dayah. Alasannya mereka tak mau menghabiskan energy untuk massa yang masih abu-abu. PDA berusaha mengamankan massa riil atau santri untuk tidak beralih ke partai lain. Disisi lain mereka tidak melakukan kampanye dari bagian political marketing secara besar-besaran, seperti penggunaan media, dll.
  2. Partai kompetitor (competing party). Menurut sumber informan Pada pemilu 2009 PDA tak pernah terbentur dengan partai kompetitor lainnya. Baik dengan partai lokal maupun partai nasional. Jadi boleh dikatakan perjalanan PDA tidak mendapatkan tentangan atau hambatan dari partai kompetitor lainnya. Ditunjukan dengan tidak pernah mendapatkan intimidasi dari kader-kader atau simpatisan partai lain. Ini disebabkan karena kampanye yang dilakukan PDA tidak besar-besaran, mereka hanya fokus pada pengamanan massa dari dayah atau santri. Wajar saja bila tak pernah fight di lapangan[lx]. Ditinjau dari misi dan program juga berbeda dengan partai lain. PDA mempunyai misi membangun Aceh dalam bingkai Syariat Islam. Lebih khusus lagi PDA ingin memperbaiki kehidupan santri dan dayah. Selama ini santri dan dayah dianggap tak mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah.
  3. Anggota partai (party members). Begitu juga dengan keanggotaan. PDA sebenarnya punya sayap partai berupa organisasi masyarakat. Setidaknya ada tiga sayap PDA, yaitu Gerakan Pemuda Daulat, Gerakan Mahasiswa Daulat dan Gerakan Muslimah Daulat. Tetapi kerja-kerja politik sayap partai tidak memberikan hasil signifikan, dikarenakan masih lemah secara manajemen dan sumber daya manusianya. Besar peluang pada pemilu 2014 seluruh sayap partai akan mendukung keberhasilan partainya memperoleh suara secara signifikan.[lxi]. Selain itu ormas, PDA juga membentuk satgas. Beranggotakan sekitar 20 orang anggota satgas ini terdapat di dayah-dayah. Melalui satgas inilah kegiatan sosial dilaksanakan. Sedangkan persiapan menuju pemilu 2014 PDA sudah mereformasi gerakan ini. Kini mereka semakin terbuka terhadap kelompok lain. Bila pada pemilu tahun lalu hampir 100 persen caleg dari kalangan santri, kini mereka sudah membuka ruang untuk orang luar, mereka merangkul kader-kader terbaik ormas-ormas lain, terutama sekali ormas Islam untuk diusung sebagai calon legeslatif dari PDA[lxii].
  4. Kelompok eksternal (external groups). Ini juga menjadi salah satu kelemahan PDA mendesain political marketingnya pada Pemilu 2009. Mereka tidak memiliki jaringan yang kuat dengan lembaga-lembaga luar, seperti media dan organisasi lainnya. Bahkan PDA tidak pernah sekalipun mengunjungi media untuk sekedar bersilaturrahmi. Ini sangat berbeda dengan partai-partai lain, di mana mereka rutin mengunjungi media. Uniknya, PDA tak menafikan bahwa keterlibatan media dalam membesarkan partai sangat dibutuhkan. Namun lagi-lagi kembali kepada massa riil, pada 2009 PDA hanya fokus pada pengamanan santri dan kalangan dayah. Kegiatan-kegiatan sosial yang dilakukan PDA tidak terlalu diekspose ke media.  Padahal tidak sedikit kegiatan sosial yang mereka lakukan, misalnya saja, sunantan missal, pengobatan gratis, safari dan dakwah pada bulan ramadhan.

 
VII. Analisis Dinamika Marketing Parnas VS Parlok

No

Partai Politik/ Indikator

Voter (Pemilih)

Partai Kompetitor (competing party)

Anggota Partai (party members)

Kelompok Eksternal (external groups)

 

1

Golkar

  1. Program perkaderan secara lebih intensif.
  2. Figur ketokohan
  3. Kegiatan sosial
  4. Memanfaatkan issue tsunami dan paska konflik.
  5. Memanfaatkan media kampanye, seperti televesi, media cetak, media sosial, spanduk, baleho.
  6. Partai Aceh sebagai kompetitor utama.
  7. Membangun afiliasi parlok dan parnas
  8. Komunikasi persuasif lintas kelompok eksternal
 
  1. Keseluruhan underbow atau sayap partai telah memiliki kekuatan dari manajemen serta kaderisasi
  2. Membangun kedekatan emosional yang kuat internal maupun eksternal melalui kader dan underbow partai
  3. Hadirnya kegiatan internal berupa rapat rutin guna mengukur keberhasilan underbow mempengaruhi pemilih Aceh.
    1. Kegiatan sosial sarana mendekatkan dengan kelompok eksternal
    2. Infiltrasi keberbagai kelompok eksternal telah telah berhasilkan dilakukan.
    3.  Golkar menciptakan issue dan mengelola issue tertentu untuk kepentingan partainya.
 

2

Partai Keadilan Sejahtera

  1. Fokus ke issue Palestina dan issue lokal Aceh yakni tsunami.
  2. Aktivitas kedermawanan berwujud kegiatan sosial.
  3. Strategi mobilisasi dana umat untuk kepentingan kegiatan sosialnya.
  4. Memanfaatkan media kampanye, seperti televesi, media cetak, media sosial, spanduk, baleho.
    1. PKS Aceh secara organisasi politik mendapatkan perlakukan intimidasi mengarah kepada psikologi pengurus, kader loyalis, dan simpatisan partai
    2. Selalu membangun komunikasi lintas partai.
  1)   Metode melalui perekrutan besar-besaran kader, khusus di kampus dan pusat kota.
2)   Memproduksi sekian banyak figur tokoh hasil kaderisasi internal partai
 
1.Menerapkan komunikasi personal kepada kalangan wartawan dan organisasi masyarakat sipil atau lembaga swadaya masyarakat.
2.Mengajak dalam kegiatan sosial
3.Fokus kepada satu orang membangun jaringan.
4.Memperkuat basis-basis dukungan dari dayah, rohis, dan LDK.

3

Partai Aceh

  1. Membuat kampanye politik melalui bahasa-bahasa budaya dan social (kearifan lokal).
  2. Memanfatkan media elektronik, cetak, spanduk, dan baleho.
  3. Memanfaatkan figur ketokohan sebagai magnet kuat meraih dukungan politik dari rakyat Aceh.
  4. Faktor konsentrasi pemilih yang diyakini memiliki kekuatan dukungan dari perjuangan ketika mengangkat senjata.
  5. Membuat janji-janji manis.
  6. Hadirnya pemaksaan dan intimidasi kepada pemilih.

 

  1. Mengganggap partai lain bukan saingan utama.
  2. Hubungan dengan partai tidak sinergis dan selaras, dikarena fokus membangun partai dan merebut kemenangan.
  3. Tidak terbangunnya komunikasi politik sehingga menyebabkan disharmonis sesama partai

 

  1. Memiliki underbow partai, namun tidak berkontribusi memberikan suara.
  2. Berlakunya instruksi dari petinggi Eks GAM dalam merangkul anggota partai.
  3. Belum terkonsepnya sistem di internal Partai Aceh dan berjalan.
  4. Masih terkesan sangat ekskulsif proses perekrutan anggota partai

 
 

  1. Memanfaatkan modalitas dukungan dari berbagai komponen masyarakat sipil di Aceh.
  2. Hadirnya dukungan dari aparatur keamanan.
  3. Belum begitu kuat membangun jaringan eksternal

 

4

Partai Damai Aceh
  1. Memfokuskan kepada pemilih dayah (pesantren) dan masyarakat sekitarnya.
  2. Adanya dukungan dari kalangan ulama.
  3. Membangun komunikasi politik dengan mantan politikus guna menjaring dukungan pemilih.
    1. Berhasil membangun komunikasi lintas partai politik.
    2. Partai Aceh sebagai saingan utama pada pemilu 2009.
    3. Adanya tindakan intimidasi dari salah satu partai dalam persaingan memperoleh dukungan pemilih.
  1)   PDA memiliki basis anggota loyal dibandingkan parlok lainnya.
2)   Merangkul dari kalangan ulama sebagai kader utama partai.
1)    Terbangun hubungan kuat dengan HUDA dan organisasi Rabithah Thaliban Aceh (Ikatan Santri Dayah Aceh) mengarahkan pemilih.
2)    Terjalin hubungan dengan para ulamah yang tergabung di dalam organisasi Nadhalatul Ulama (NU) dengan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

Keterangan : hasil olah data peneliti di lapangan (Aryos Nivada)

 tipelogi hasil data dan observasi penelitian

Merujuk dari matriks dalam bentuk tabel dapat dianalisis political marketing partai nasional dan partai lokal dalam hal kekuatan, kelemahan, tipelogi, dan karakteristik. Kekuatan politik yang mendominasi yaitu Partai Aceh, diikuti dengan Partai Golkar, PKS, dan PDA. Cara menganalisis tipelogi dalam penelitian ini menggunakan pemikiran Ware dan Wolinets membagi kembali partai berdasarkan seberapa besar pendukung, keterlibatannya, dan peran negara terhadap partai:

1.      Partai Massa yang Berorientasi pada pemimpin (Leader Oriented Mass Party),

2.      Partai Massa (Mass Party),

3.      Partai Kader Klasik (Classic Cadre Party),

4.      Partai Kader Modern (Modern Cadre Party),

5.      Partai Kartel (Cartel Party) dan

6.      Partai Catch-All (Catch-All Party).

Selanjutnya masuk ke analisis masing-masing partai politik. Di awali dari analisis Partai Aceh. Keberhasilan Partai Aceh membangun kekuatan politik lebih dipengaruhi faktor pengelolaan isu bahwa partainya orang Aceh hanya Partai Aceh. Selain itu, membaca kantong-kantong suara PA mengandalkan investasi sosial dan dukungan puluhan tahun dari rakyat Aceh ketika memanggul senjata. Belum lagi ditopang dengan instruksi petinggi disertai alur kerja komando membuat mesin politik Partai Aceh berjalan dengan masif. Disinilah perolehan suara mampu diraih dengan jumlah sangat signifikan. Kemampuan terhebat PA yakni memanfaatkan figur ketokohan dari Hasan Tiro dan petinggi eks GAM lainnya. Tujuan utama mengarahkan simpatik pemilih kepada Partai Aceh.

Kelemahan Partai Aceh pada pemilu 2009 kurang berhasil membangun dekatan berbasiskan komunikasi lintas komponen masyarakat sipil. Apalagi kreatif dari segi pengelolaan alat kampanye belum mampu mengalah partai lain. Ditunjukan dengan desain spanduk, baliho, dan lain-lain dimana tidak cukup menarik perhatian masyarakat Aceh. Terkait dengan pemilih tengah dan tenggara, Partai Aceh tidak mampu mengambil simpatik dari masyarakat kedua wilayah tersebut. Selanjutnya kelamahan lain yaitu underbow Partai Aceh tidak mampu mendatangkan kantong suara bagi partai. Hal ini disebabkan terbentuknya partai bersamaan dengan underbow partai. Otomatis secara manajemen dan kaderisasi belum belum kuat dan menguntungkan Partai Aceh.

Kalau dikaitkan dengan tipelogi, posisi Partai Aceh dikatagorikan sebagai Partai berbasiskan massa. Dengan tipelogi seperti itu dapat dilihat dari gerakan di grass root banyak yang mendukung Partai Aceh. Dimana pemilih tradisional memback up habis kemenangan PA. Kita ketahui jumlah pemilih tradisional lebih besar dibandingkan pemilih cerdas. Tentunya karakter dari perilaku Partai Aceh ketika terbentuk masih terkesan ekskulsif. Berdampak kepada pelabelan karakter dari kalangan pengamat politik dan masyarakat umum.

Berbicara kekuatan politik Partai Golkar bisa dibilang sudah terdistribusi mulai dari kader, underbownya, hingga ke simpatisan yang loyal sebagai pemilih tetap Golkar Aceh. Dikaji dari political marketing Partai Golkar Aceh sudah terdesain meliputi branding issue, penggunaan media, kaderisasi, membuat magnet ketokohan, hubungan lintas kelompok eksternal dan lain-lain. Bila disinergiskan keseluruhannya maka bisa dipastikan Partai Golkar Aceh akan mampu bangkit dari keterpurukannya di pemilu 2009 menuju pemilu 2014 nantinya. Ketika amatan peneliti dilapangan mengetahui kelemahan dari Partai Golkar di Aceh, dimana kelemahannya ini bagian dari budaya yang selalu terulang. Partai Golkar Aceh tidak konsisten dengan sikap dan selalu berpijak dua kaki dalam perpolitikan di Aceh. Tidak heran selalu di dilabelkan “cap kaki dua” oleh para politikus dari kalangan partai politik di Aceh. Kelemahan lainnya program atau kegiatan yang dilakukan banyak yang tidak mengarah mendukung visi dan misi, bahkan target kepentingan Golkar Aceh.

Terkait dengan tipelogi Partai Golkar di Aceh berkatagorikan partai Partai Catch-All (Catch-All Party). Penjelasannya yaitu,  Partai Golkar di Aceh berkarakter berusaha untuk meraih atau memiliki massa yang sebanyak-banyaknya. Untuk mencapai tersebut maka partai ini tidak hanya berusaha mendekati massa yang berasal dari kelompok, etnis atau agama tertentu laiknya partai massa. Tetapi juga berusaha memiliki massa dari pelbagai macam kelompok dan agama. Sehingga Partai Golkar Aceh dikenal dengan sebutan big tent party (partai tenda besar). Indikatornya strategi dari political marketing Partai Golkar di Aceh selalu berorientasi kepada pemilih yang bersifat holistik, tanpa sekat, batasan umur, suku, agama dan lain-lain.

Selanjutnya menganalisis PKS. Kekuatan politik PKS di Aceh hampir menyamakan kekuatan Partai Golkar, namun masih berada di belakang. Penilaian itu dilandaskan pada political marketing PKS di Aceh yang hampir semua lini dilakukan, mulai penggunaan media, fokus terhadap isu, kaderisasi ketokohan, memfungsikan underbow partai, dan kegiatan sosial. Untuk isu, PKS di Aceh mengambil dua saja, tsunami Aceh, dan Palestina sebelum pemilu 2009. Beda dengan Partai Golkar yang mengambil semua isu, sehingga isu tsunami, pemberdayaan ekonomi, reintegrasi, kepemerintahan Provinsi Aceh dan sebagainya. Maka bila diukur dengan logika politik jelas memperbesar simpatik pemilih kepada Partai Golkar.

Berbicara kelemahan PKS Aceh menurut peneliti hanya berada pada tataran hadirnya sekat antara kader inti, kader relawan, kader simpatisan, dan kader modern. Ini berpotensi memicu embiro konflik internal. Terbukti antara orang berada di PK sebelum dilebur menjadi PKS Aceh selalu menimbulkan friksi dan gap hingga berkonflik.

Kalau dimasukan katagori tipelogi mana PKS Aceh, maka peneliti memasukan bukan pada partai kader klasik, akan tetapi sudah berubah menjadi partai kader modern. Penjelasannya yakni sistem rektrumen anggota yang ketat, eksklusivitas anggota (kader partai politik) dan konstituen partai yang sebagaian besar berasal dari dukungan umat muslim Indonesia, dan pengaruhnya yang cukup kuat di masyarakat. Sehingga kesimpulan peneliti partai kental bernuansa keislaman menjadi partai bernuansa Islam modern.

Terakhir ulasan dari analisis yaitu Partai Daulat Aceh. Hitung-hitungan kekuatan politik PDA pada pemilu 2009 memfokuskan kepada dayah-dayah di Aceh serta masyarakat. Sedangkan pemilih lainnya tidak menjadi fokus tetapi tetap digarap sebagai bagian penambahan suara buat PDA saat itu. Dari segi penggunaan media tdiak begitu optimal termasuk membangun kelompok eksternal. Disinilah kelemahan mendasar bagi PDA sebagai partai lokal yang seharus mengakomondir lintas pemilih yang berada di Aceh. Mirisnya lagi, pengelolaan isu tidak menjadi bagian dari political marketing PDA sehingga makin menambah daftar kelemahan PDA. Untuk tipelogi dari PDA adalah partai massa yang berorientasi ke kader melalui penjaringan di dayah-dayah Aceh.

VIII. Penutup

Kesimpulan dari risetnya yaitu political marketing marketing menjadi agenda penting yang harus dibuat oleh partai politik di Aceh. Jika tidak bisa dipastikan akan kehilangan basis pemilih yang mendukung secara politik. Setelah melalui proses penelitian ke lapangan, dimana kesimpulannya adalah political marketing menjadi agenda penting yang harus dibuat oleh partai politik di Aceh. Jika tidak bisa dipastikan akan kehilangan basis pemilih yang mendukung secara politik. Hal penting perlu dicatat adalah hadirnya tindakan kekerasan dan intimidasi di dalam political marketing yang dahulu sudah ditinggal di era orde baru direproduksi dan diterapkan kembali yakni intimidasi dan kekerasan. Tujuan bertujuan mengarahkan pemilih di Aceh memilih salah satu partai politik. Varian baru lainnya dalam political marketing yang dilakukan partai politik di Aceh yaitu mengangkat serta memunculkan issue kearifan lokal. Temuan lainnya penerapan political marketing sangat berpengaruh terhadap tipelogi partai, ditemukan tipelogi partai nasional dengan partai lokal sangat berbeda. Terbagi menjadi bertipe partai Partai Catch-All , partai bertipe kaderisasi modern, partai bertipe berbasiskan massa. Kalau ditarik garis maka hadirnya partai yang sengat sekuler, seperti Golkar dan Partai Aceh, dan sangat islamis, seperti; PKS dan PDA.

Rekomendasi kepada partai politik yakni, diperlukan upaya serius disertai komitmen kuat mendesain dan mempraktekan keseluruhan political marketing dengan serius, berkomitmen, dan sesuai yang desain. Selanjutnya diperlukan evaluasi setiap penerapan political marketing, dikarena dapat mengukur tingkat keberhasilan dan kendala atau masalah pada saat diimplementasikan.

 

REFERENSI PENELITIAN


[1] Kini telah berubah nama menjadi Partai Damai Aceh

[i] Firmanzah, 2007. Political marketing Antara Pemahaman dan Realitas, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, Hal. 140-141.
[ii] O’Shaughnessy, N. 2001. The Marketing of Political Martketing, European Journal Of Marketing, hal. 1047-1067.
[iii] Locke, A.& Harris, P. 1996, Political Marketing- Vive La Defference, European Journal of Marketing, hal. 21-31.
[iv] Schroder, Peter. 2003. Strategi Politik, Friedrich-Naumann- Stiftung, Jakarta, hal 4-9.
[v] O’Cass, A. 1996, Political Marketing and Marketing Concept, European Journal of Marketing, hal. 45-61.
[vi] Kotler, P. 1994, Marketing Management : Analysis Planing, Implementation, and Control, Englewood Cliffs, NJ: Prentice- Hall, Inc.
[vii] Niffenegger, P. B. 1989, Strategi for Succes From The Political Marketers, The Journal of Consumer Marketing, Hal. 45-51
[viii] Ormrod, Robert P. 2011, Political Market Orientation : An Introduction, Associate Professor Institute for Economics and Management Aarthus University, Denmark, hal. 7-12.
[ix] Ormrod, Robert P. 2011, Political Market Orientation : An Introduction, Associate Professor Institute for Economics and Management Aarthus University, Denmark, hal. 7-12.
[x] Di dowlod pada tanggal 2/3/2013, pukul 10.15, http://www.golkar.or.id/tentang/sejarah
[xi] Di dowlod pada tanggal 2/3/2013, pukul 13.35, http://www.pks.or.id/content/sejarah-ringkas
[xiii] Peter Scholder, Strategi Politik, Jakarta, Friedrich-Naumann-Stiftung, PT Mita Alembana Grafika , 2003. Hal
6-9
[xiv] Dilakukan di warung kupi Taufik Lamdingin, pukul 17.00, , narasumber dari wartawan, politisi, dan mahasiswa.
[xvi]Kompas: Senin, 8 September 2008
[xvii] Wawancara: Fakhrurazi Amir, 16/01/2013, pukul 15.00
[xviii] Firmanzah, judul buku : Persaingan, Legitimasi, Kekuasaan, dan Marketing Poitik, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2010, Hal 485.
[xix] Modus Aceh, Aburizal Bakrie amanahkan kepada saya, Edisi 32, Tahun VII, 3 Desember 2009.
[xx] “Pergeseran Politik dan Kemelut Kepentingan” http://www.polmarkindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=3105&Itemid=1
[xxi] ibid
[xxii] ibid
[xxiii] “Golkar Aceh Susun strategi Hadapi Pemilu 2009” (berita), www.beritasore.com 03 Juni 2008, http://beritasore.com/2008/06/03/golkar-aceh-susun-strategi-hadapi-pemilu-2009,
[xxiv]Firmanzah, Political marketing: Antara Pemahaman dan Realitas edisi revisi (Jakarta : Yayasan Obor, 2008) 217 – 218.
[xxv] Wawancara : Sulaiman Abda, Ketua Partai Golkar Provinsi Aceh, 7 Maret 2013, pukul 11.30
[xxvi] Ibid
[xxvii] Eko Harry Susanto, Pemasaran Politik, http://kapita-fikom-915080035.blogspot.com/2011/04/pemasaran-politik-oleh-dr-eko-hary.html
[xxviii] Aryos Nivada, Akrobatik Golkar Aceh di Pemilu 2014, www.beritasatu.com http://www.beritasatu.com/blog/nasional-internasional/1830-akrobatik-golkar-aceh-di-pemilu-2014.html
[xxix] Wawancara : Sulaiman Abda, Ketua Partai Golkar Provinsi Aceh, 7 Maret 2013, pukul 11.30
[xxx] Ibid
[xxxii] Di dowlod pada tanggal 12/03/2013, pukul 16.20,  http://www.pks.or.id/
[xxxiii] Aryos Nivada,”Aceh, Pilkada 2011”, tahun 2020, Vol 6 No. 1,  Jurnal Politika, Evaluasi Pemilu 2009 : Menuju Sistem Politik Yang Efektif, hal 40, Akbar Tanjung Institute.
[xxxiv] Wawancara: Ghufran Zainal Abidin, MA, Ketua DPW PKS Aceh, pukul : 10.10, 13/03/2013.
[xxxv] Wawancara : Zulfikar Abdullah, 12/03/2013, pukul 13.20, warung kupi taufik lamdingin.
[xxxvi] Wawancara : Ghufran Zainal Abidin, Ketua Keadilan Sejahtera Provinsi Aceh, pukul 10.10, tanggal 13/03/2013
[xxxvii] Jurnal Politik, Evaluasi Pemilu 2009: Menuju Sistem Politik Yang Efektif, Hasrul Hanif ”Linkage Klientelistik dalam Politik Kepartaian di Indonesia Kontemporer, hal 71.
[xxxviii] Wawancara : Nourman Hidayat, Pengurus PKS Provinsi Aceh,  Anggota DPRK Aceh Besar, pukul 09.00, tanggal 13/03/2013, warung kupi Ulee Kareng.
[xxxix] Penulis : M. Imdadun Rahmat, LKIS Yogyakarta.
[xl] Istilah yang dipopulerkan oleh Hasrul Hanif, Dosen FISIP Universitas Gadjah Mada, Jurnal Politik, Evaluasi Pemilu 2009: Menuju Sistem Politik Yang Efektif,”Linkage Klientelistik dalam Politik Kepartaian di Indonesia Kontemporer”.
[xli] Wawancara: Ghufran Zainal Abidin, MA, Ketua DPW PKS Aceh, pukul : 10.10, 13/03/2013.
[xlii] [xlii] Wawancara : Nourman Hidayat, Pengurus PKS Provinsi Aceh,  Anggota DPRK Aceh Besar, pukul 09.00, tanggal 13/03/2013, warung kupi Ulee Kareng.
[xliii] Serambi Indonesia, Ketika Perundingan Nyaris Bubar, 16 Agustus 2008, Banda Aceh
[xliv] Sinar Indonesia Biru,  Partai GAM Harus Segera Ditindak, 10 Juli 2007, Medan
[xlv] Data dari Komisi Independent Pemilihan Aceh tahun 2009
[xlvi] Wawancara : Kamaruddin Abubakar (Abu Razak), Wakil Ketua Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh (DPA-PA), 10/03/2013, jam 17.00, dirumah narasumber.
[xlvii] Wawancara : Teungku Muksamina, Mantan Pengurus Partai Aceh sekarang Ketua Partai Nasional Aceh pecahan dari Partai Aceh, 12/03/2013, pukul 10.20, kantor PNA.
[xlviii] Ibid
[xlix] Dua peneliti Unsyiah, Mawardi Ismail dan Syaifuddin Bantasya,m serta dua peniliti Australia, Ben Hillman dan Benjamin Reilly. Tema penelitian “Partai Politik Lokal di Indonesia: Uji Coba di Aceh, tahun 2009.
[l] Dilakukan di warung kupi Taufik Lamdingin, pukul 17.00, narasumber dari wartawan, politisi, dan mahasiswa.
[li] Wawancara : Kamaruddin Abubakar (Abu Razak), Wakil Ketua Dewan Pimpinan Aceh Partai Aceh (DPA-PA), 10/03/2013, jam 17.00, di rumah narasumber.
[lii] Ibid
[liii] Wawancara : Teungku Muksamina, Mantan Pengurus Partai Aceh sekarang Ketua Partai Nasional Aceh pecahan dari Partai Aceh, 12/03/2013, pukul 10.20, kantor PNA.
[liv] Ibid
[lv] Serambi Indonesia, Tahun Ini Semua Dayah di Aceh Dapat Bantuan, 29 Maret 2008, Banda Aceh.
[lvii] Tanggal 07/03/2013, jam 17.00, di Warung Kopi Taufik Lamdingin
[lviii] Hasil dari wawancara : Tgk. Khaidir, Sekjen PDA Provinsi Aceh, 08/03/2013, 17.00
[lix] Hasl dari wawancara Fahrul Rizha Yusuf, Peminat Masalah Politik, tanggal 06, 03, 2013. Jam 10.00
[lx] Hasil dari wawancara : Tgk. Khaidir, Sekjen PDA Provinsi Aceh, 08/03/2013, 17.00
[lxi] Ibid

[lxii] Ibid

About Post Author

JSI

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply