Menakar Kualitas Institusionalisasi Partai Politik dalam Sistem Multipartai Di Indonesia
Oleh : Bawono Kumoro**
Perjalanan sistem multipartai di Indonesia mengalami dinamika dan gejolak seiring dengan perjalanan demokrasi. Mulai dari kemunculan sistem multipartai ekstrem pada masa demokrasi liberal (1950-1957) lalu mengalami proses pennyederhanaan pada masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965) dan Orde Baru (1966-1998) hingga kemudian kembali lagi ke sistem multipartai ekstrem pada masa reformasi seperti saat ini. Dengan demikian sejarah perkembangan sistem kepartaian di Indonesia adalah peralihan dari sistem multipartai ke sistem multipartai.
Penerapan sistem multipartai di Indonesia ternyata tidak diiringi dengan institusionalisasi partai politik yang baik. Institusionalisasi partai politik yang buruk seakan telah menjadi bagian inheren dari sistem multipartai di Indonesia, terutama masa reformasi. Tidak semua partai politik mampu memberikan kontribusi positif bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Padahal, sebagaimana dikatakan Samuel P Huntington, hanya partai politik yang kuat dan terinstitusionalisasi yang menjanjikan pembangunan demokrasi lebih baik. (Huntington, 1968: 12)
Tidak mengherankan bila kemudian muncul penilaian negatif bahwa kehadiran partai-partai politik Indonesia masa reformasi lebih merupakan beban ketimbang menjadi jembatan antara rakyat dan pemerintah.
Tulisan ini merupakan bagian dari studi yang bertujuan untuk (1) Mengetahui pasang surut sistem multipartai di Indonesia dan (2) Mengetahui institusionalisasi partai politik di Indonesia dalam sistem multipartai pada masa reformasi. Kesimpulan utama dari studi ini adalah bahwa partai politik di Indonesia belum terinstitusionalisasi secara baik. Diperlukan perbaikan-perbaikan mendasar untuk mencapai hal tersebut.Namun, pengalaman selama ini menunjukkan tidak ada harapan jika kita menunggu perbaikan partai politik datang dari kesadaran internal elite politik. Dibutuhkan upaya perbaikan kehidupan kepartaian dengan menempatkan kelompok masyarakat sipil sebagai motor penggerak.
Maklumat Pemerintah Nomor X yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai politik merupakan titik awal bagi penerapan sistem multipartai di Indonesia. Faktor kemajemukan masyarakat menyebabkan keniscayaan bagi penerapan sistem multipartai di Indonesia.
Untuk lebih memudahkan penelitian yang akan dilakukan, maka penulis perlu membatasi permasalahan dalam penelitian ini pada perjalanan sistem multipartai di Indonesia. Batasan permasalahan ini kemudian dirumuskan ke dalam dua bentuk pertanyaan penelitian: (1) Bagaimana pasang surut sistem multipartai di Indonesia? dan (2) Bagaimana institusionalisasi partai politik di Indonesia dalam sistem multipartai pada masa reformasi?
Dengan batasan dan rumusan masalah tersebut penulis hendak melihat dua hal: (1) Mengetahui pasang surut sistem multipartai di Indonesia dan (2) Mengetahui institusionalisasi partai politik di Indonesia dalam sistem multipartai pada masa reformasi.
Kerangka Teori
Ada dua kerangka teori besar yang digunakan dalam studi ini. Pertama, teori mengenai sistem kepertaian untuk melihat pasang surut sistem multipartai di Indonesia. Kedua, teori mengenai institusionalisasi partai politik guna melihat kualitas pelembagaan partai politik di Indonesia dalam sistem multipartai pada masa refromasi.
Sistem kepartaian adalah pola kompetisi terus-menerus dan bersifat stabil yang selalu tampak di setiap proses pemilu tiap negara. Sistem kepartaian bergantung pada jenis sistem politik yang ada di dalam suatu negara. Sistem kepartaian juga bergantung pada kemajemukan suku, agama, ekonomi, dan aliran politik yang ada. Semakin besar derajat perbedaan kepentingan yang ada di negara tersebut, semakin besar pula jumlah partai politik. Di samping itu, sistem politik yang dianut suatu negara turut mempengaruhi sistem kepartaian yang ada.
Sesungguhnya sistem kepartaian belum menjadi bagian yang mapan di dalam ilmu politik. Tata cara melakukan klasifikasi sistem kepartaian belum disepakati oleh para ilmuwan politik. Namun, klasifikasi yang paling mudah dan paling banyak dilakukan oleh para ilmuwan politik adalah menurut jumlah partai yang berkompetisi dalam sistem politik.
Klasifikasi semacam ini pertama kali dilakukan oleh Maurice Duverger. Ia melakukan klasifikasi sistem kepartaian menurut tiga kategori, yaitu sistem partai tunggal, sistem dwipartai, dan sistem multipartai. Sistem partai tunggal dicirikan dengan hanya adanya satu partai politik yang diakui dan mendominasi seluruh peran partai politik di negara tersebut. Sistem dwipartai secara sederhana diartikan bahwa ada dua partai politik di antara beberapa partai politik yang berhasil memenangkan dua tempat teratas pada pemilihan umum (pemilu) secara bergiliran di suatu negara. Sementara itu, sistem multipartai merupakan kondisi di mana sistem politik suatu negara dihuni lebih dari dua partai politik. (Duverger, 1967: 207)
Terkait dengan masalah institusionalisasi partai politik, Netherlands Institute for Multiparty Democracy (IMD) memberikan definisi menarik tentang institusionalisasi partai politik. Institusionalisasi berarti memiliki ketangguhan dan daya tahan, sanggup menghadapi krisis, dan menyuguhkan pemerintahan alternatif yang dapat dipercaya rakyat. (Netherlands Institute for Multiparty Democracy, 2004: 12)
Sementara itu, menurut Scott Mainwaring ada empat dimensi institusionalisasi partai politik. Pertama, di dalam sistem partai yang telah mengalami institusionalisasi terdapat pola kompetisi partai politik yang stabil. Tidak ada dominasi personal dari seorang elite politik. Kedua, di dalam sistem yang telah mengalami institusionalisasi partai politik miliki akar kuat di masyarakat. Ada ikatan ideologi yang kuat mengikat antara pemilih dan partai politik. Ikatan ini kemudian menumbuhkan loyalitas di hati pemilih sehingga membuat partai politik mengakar kuat di masyarakat. Ketiga, adanya pengakuan dari elite dan warga negara bahwa partai politik adalah hal mendasar dan penting bagi kehidupan demokrasi. Keempat, di dalam sistem yang telah mengalami institusionalisasi partai politik memiliki strukutur internal, prosedur, dan rutinitas jelas. (Mainwaring, 1998: 67-81)
Pembahasan dan Analisis
Secara historis, kelahiran partai-partai politik di Indonesia bersamaan dengan pertumbuhan identitas keindonesiaan pada awal abad ke-20. Meskipun mendasarkan diri pada ideologi politik yang berbeda-beda, kehadiran partai-partai politik pada masa kolonial turut memberikan kontribusi bagi pencarian identitas nasional bersama. Bahkan, sebagaian besar founding fathers kita tercatat sebagai pendiri sekaligus pemimpin partai politik di masa itu.
Namun, ketika Indonesia berhasil lepas dari belenggu penjajahan dan memperoleh kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 mulai muncul perbedaan-perbedaan pandangan mendasar di antara founding fathers mengenai arah sistem kepartaian Indonesia di masa depan. Perbedaan pandangan itu terlihat jelas ketika Soekarno mencetuskan ide partai tunggal di bawah sistem presidensial. Ide ini disampaikan oleh Soekarno melalui pidato pada tanggal 23 Agustus 1945:
“Ada satu hal lagi yang maha penting yang harus kita kerjakan dengan segera ialah membangun suatu partai yang menjadi motor perjuangan rakyat dalam selapangan dan suasana, yaitu Partai Nasional Indonesia…partai kita hajatkan pula terus sampain di masa yang akan datang.” (Sunggono, 1992: 63)
Ide partai tunggal yang disampaikan oleh Soekarno ini merupakan kelanjutan dari perkembangan pemikirannya sejak tahun 1920-an tentang kekuatan massa. Sebagaimana di Uni Soviet saat itu, kehadiran partai politik tunggal dilihat Soekarno sebagai partai politik revolusioner pendukung utama kekuatan sosial politik rakyat. Selain itu, kehadiran partai tunggal juga diyakini dapat mencegah terpecahnya kekuatan-kekuatan politik di masyarakat.
Namun, ide Soekarno tentang partai tunggal ini tidak sempat terwujud seiring dengan keluarnya Maklumat Pemerintah Nomor X yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohammad Hatta pada tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai politik. Secara subtansi, maklumat ini sangat sejalan dengan semangat Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang menegaskan pengakuan terhadap kebebasan untuk berserikat dan berkumpul, termasuk mendirikan partai politik. Kehadiran Maklumat Pemerintah Nomor X kemudian diikuti dengan tumbuhnya partai politik yang didirikan oleh berbagai kelompok masyarakat. Indonesia pun secara resmi mulai menganut sistem multipartai.
Meskipun sistem multipartai telah menjadi bagian inheren dari realitas politik Indonesia, tetapi kehadiran partai-partai politik saat itu ternyata menimbulkan kegaduhan politik berupa instabilitas pemerintahan. Ukuran instabilitas pemerintahan itu dapat dilihat dari teramat sering kabinet mengalami jatuh bangun. Kabinet seringkali mendapatkan mosi tidak percaya dari kelompok oposisi di parlemen. Ada tujuh kabinet yang mengalami jatuh bangun dengan berbagai macam sebab. Tujuh kabinet itu adalah Kabinet Natsir (September 1950-Maret 1951), Kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952), Kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953), Kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955), Kabinet Burhannudin Harahap (Agustus 1955-Maret 1956), dan Kabinet Ali Sastroamidjojo II (Maret 1956-Maret 1957).
Pemerintahan hasil Pemilu 1955 yang semula diharapkan dapat menajdi solusi berbagai konflik antarpartai politik pada akhirnya turut kandas dan tidak sampai berusia satu tahun. Terlepas dari segala cerita sukses dan membanggakan mengenai penyelenggaraan Pemilu 1955, partai-partai politik pada masa Demokrasi Parlementer saat itu sesungguhnya sejak awal telah mengalami berbagai kelemahan struktural. Empat dimensi penting institusionalisasi partai politik, sebagaimana dikatakan Scott Mainwaring di atas, belum teraktualisasikan dengan baik.
Pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden dengan tujuan untuk kembali ke UUD 1945 dan membubarkan konstituante hasil Pemilu 1955 yang tidak kunjung berhasil merumuskan dasar negara dan konstitusi baru. Dekrit ini juga sekaligus menandai berakhirnya masa Demokrasi Parlementer untuk kemudian beralih menjadi Demokrasi Terpimpin. Sejak saat itu pula rasa ketidaksukaan Soekarno terhadap sistem multipartai dan keinginan untuk menerapkan partai tunggal kian mendapatkan momentum.
Perkembangan selanjutnya Soekarno mulai melakukan langkah penyederhaan sistem kepartaian. Langkah ini terekam dengan jelas saat dikeluarkannya Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Kepartaian. Kemudian diperkuat dengan kehadiran Penpres Nomor 13 Tahun 1960 tentang pengakuan, pengawasan, dan pembubaran partai politik. (Sunggono, 1992: 80) Maklumat Pemerintah Nomor X tanggal 3 November 1945 tentang pendirian partai politik menjadi tidak berlaku lagi.
Praktis, ketika itu partai-partai politik tidak lagi berfungsi sebagai kekuatan sosial politik, melainkan hanya sebagai atribut bagi kepemimpinan Soekarno yang notabene merupkan figur sentral di jagad pentas politik Indonesia masa Demokrasi Terpimpin. Partai Komunis Indonesia (PKI) tampil menjadi partai paling beruntung dan mendapatkan ruang politik luas dari Soekarno. Singkat kata, dapat dikatakan bahwa pada masa itu terjadi upaya pelemahan dan penghancuran hebat terhadap kehidupan kepartaian di Indonesia.
Peralihan kekuasaan dari Soekarno kepada Soeharto pasca-Peristiwa Gerakan 30 September 1965 ternyata tidak membawa dampak posistif secara signifikan bagi kehidupan kepartaian di Indonesia. Semangat awal pendirian Orde Baru untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen hanya sekadar slogan belaka. Alih-alih melakukan revitalisasi kehidupan kepartaian, kebijakan pengerdilan peran dan penyederhaan jumlah partai politik justru menjadi salah satu agenda utama pemerintahan Soeharto pada masa-masa awal Orde Baru. Langkah ini merupakan upaya Soeharto untuk membangun sistem partai tunggal dengan menjadikan Golongan Karya (Golkar) sebagai kekuatan politik tunggal dan mengerdilkan sistem multipartai.
Ketetapan MPRS Nomor XXII/MPRS/1966 tentang Kepartaian, Keormasan, dan Kekaryaan memerintahkan Presidena Soeharto bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Gotong Royong untuk segera menyusun undang-undang tentang kepartaian, keormasan, dan kekaryaan menuju pada penyederhanaan. Aturan inilah yang menjadi instrument awal bagi Soeharto untuk mengerdilkan fungsi partai politik. Untuk melaksanakan Ketetapan MPRS itu dikeluarkan Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu. UU Pemilu ini hanya mengakui 10 partai politik sebagai peserta pemilu, yaitu NU, PSII, Parmusi, Perti, Partai katolik, PNI, IPKI, Partai Kristen Indonesia, dan Golongan Karya. (Sunggono, 1992: 80)
Selanjutnya melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, Soeharto melakukan penggabungan (fusi) partai politik. Partai politik berazas Islam bernaung menjadi satu di bawah bendera Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara itu, partai politik bercorak nasionalis dileburkan menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Praktis, Pemilu 1977-1997 hanya diikuti oleh kedua partai politik tersebut plus Golkar. Bersamaan dengan proses pengerdilan partai politik, Orde Baru juga melakukan proses “pembesaran” Golkar melalui serangkaian kebijakan politik, seperti depolitisasi massa dan pembatasan ruang gerak partai politik di pedesaan dan kebijakan monoloyalitas pegawai negeri sipil (PNS) terhadap Golkar.
Alhasil, selama enam kali pemilu di masa Orde Baru Golkar senantiasa memperoleh suara mayoritas dan tampil sebagai pemenang. Jika kita telaah perkembangan kehidupan kepartaian di Indonesia sangat tergantung dari kebijakan otoritas penguasa. Proses penyederhanaan partai politik yang dilakukan oleh Soekarno dan Soeharto tersebut jelas bukan merupakan sebuah proses yang mengedepankan nilai-nilai demokrasi, melainkan lebih bersifat pemaksaan dari otoritas penguasa (top down).
Bergulirnya masa reformasi yang ditandai dengan kejatuhan Soeharto dan pengangkatan BJ Habibie sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998 diikuti dengan perubahan mendasar terhadap kehidupan kepartaian di Indonesia. Pemerintah tidak membatasi jumlah partai politik dan dibebaskan untuk menentukan azas partai. Kebijakan ini dilembagakan melalui UU Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Hal ini sekaligus menandai awal dari tumbuhnya kembali sistem multipartai di Indonesia.
Gerakan reformasi tahun 1998 memang telah melahirkan keterbukaan dan kebebasan untuk mendirikan partai politik. Namun, keterbukaan politik dan kebebasan mendirikan partai politik ternyata tidak diiringi dengan peningkatan kualitas tata kelola partai politik. Tidak heran jika kemudian publik memandang partai politik sebagai salah satu institusi politik paling tidak dapat dipercaya. Merujuk hasil survei terbaru Indikator Politik Indonesia partai politik hanya memperoleh kepercayaan publik sebesar 31 persen.
Tidak dapat dimungkiri kualitas tata kelola partai politik masih terbilang sangat rendah. Hal itu dapat dilihat dari belum teraktualisasikannya empat dimensi institusionalisasi partai politik. Sebagaimana diungkapkan Scott Mainwaring, ciri pertama dari belum kuatnya institusionalisasi partai politik adalah dominasi personal dari seorang elite politik. Dalam konteks politik Indonesia hari ini hal itu dapat dilihat dari dominasi personal seorang tokoh di internal partai politik. Partai Demokrat sangat bergantung terhadap tuah dan petunjuk Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selaku pendiri partai. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) memiliki ketergantungan tinggi terhadap sosok Megawati Soekarnoputri. Pengaruh Prabowo Subianto sangat kuat mewarnai setiap langkah dan kebijakan Partai Gerindra.
Ketiadaan ikatan kuat di tingkat akar rumput merupakan ciri kedua dari belum kuatnya institusionalisasi partai politik. Hal ini pun juga dapat dengan mudah kita temukan dalam diri partai-partai politik di Indonesia. Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting tentang “Kecenderungan Swing Voter Pemilih Partai Menjelang Pemilu 2014” mengkonfirmasi hal itu. Melalui survei yang dilaksanakan pada tanggal 5-16 September 2012 itu terungkap hanya 15 persen pemilih Indonesia yang merasa memiliki kedekatan dengan partai. Sedangkan sebesar 85 persen pemilih Indonesia merasa tidak memiliki kedekatan dengan partai.
Para pemilih seperti ini lazim disebut massa mengambang (floating mass). Mereka belum melekatkan diri terhadap sebuah partai politik tertentu. Dengan mudah mereka dapat berpindah-pindah pilihan dari satu partai politik ke partai politik lain.
Ideologi partai politik di Indonesia yang cenderung tidak jelas juga menjadi sebab dari ketiadaan ikatan kuat terhadap partai politik di tingkat akar rumput. Hampir tidak ada perbedaan menonjol dalam hal garis ideologi antara satu partai politik dengan partai politik lain. Akibat dari hal tersebut pemilih terlampau mudah untuk berpindah-pindah pilihan dalam setiap pemilu sesuai dengan dinamika sosial politik saat itu.
Dari pemilu legislatif tahun 1999 hingga pemilu legislatif tahun 2004, PDIP mengalami penurunan perolehan suara 15,5 persen. Sementara itu, Partai Demokrat dari 0 persen langsung melejit menjadi 7 persen. Demikian pula dengan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dari 1 persen menjadi sekitar 7 persen.
Lalu dari pemilu legislatif tahun 2004 hingga pemilu legislatif tahun 2009, Partai Golkar mengalami penurunan suara sekitar 8 persen. Tidak jauh berbeda Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) juga mengalami penurunan suara sekitar 5,5 persen dan PDIP turun 4,5 persen. Sementara itu, Partai Demokrat melesat naik sebesar 14 persen. Jasi, selama tiga kali pelaksanaan pemilu legislatif era reformasi menghasilkan tiga partai politik berbeda sebagai peraih suara terbanyak.
Meskipun demikian, di Indonesia ada pula partai politik yang memiliki akar cukup kuat di dalam masyarakat. Partai Golkar merupakan contoh dari partai politik yang mengakar kuat di dalam masyarakat Indonesia. Pascakejatuhan Soeharto, Partai Golkar yang notebene merupakan partai politik utama pendukung Orde Baru, tidak serta merta ikut tumbang. Bahkan, dalam pemilu legislatif tahun 2004 partai berlambang pohon beringin ini tampil sebagai pemenang dengan raihan suara sebesar 21,6 persen. Hal ini sangat wajar mengingat selama 32 tahun masa pemerintahan Orde Baru Partai Golkar telah menjelma partai politik terbesar terbesar dengan dukungan infrastruktur politik paling memadai dibandingkan partai politik lain
Ciri ketiga institusionalisasi partai politik berupa adanya pengakuan dari elite dan warga negara bahwa partai politik merupakan hal penting dan mendasar bagi kehidupan demokrasi. Dalam konteks politik Indonesia muktahir hal itu mulai terlihat rapuh. Jika di masa-masa awal reformasi publik sangat menaruh ekspektasi tinggi terhadap partai politik sebagai harapan bagi perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara menuju arah lebih baik, tetapi kita publik justru merasa sangat kecewa terhadap kinerja partai politik.
Tingkat partisipasi pemilih (voters turn out) yang terus mengalami penurunan dalam setiap pelaksanaan pemilu sejak tahun 1999-2009 merupakan cerminan dari hal tesebut. Tingkat partisipasi dalam pemilu tahun 1999, pemilu tahun 2004, dan pemilu tahun 2009 menunjukkan trend penurunan. Data di bawah ini memperlihatkan tingkat partisipasi tersebut:
Tabel Tingkat Partisipasi Pemilih dalam Pemilu 1999-2009
No. |
Pemilihan Umum |
Partisipasi Pemilih |
Golput |
1 |
Pemilu Legislatif Tahun 1999 |
92,6% |
7,3%, |
2 |
Pemilu Legislatif Tahun 2004 |
84,1% |
15,9%, |
3 |
Pemilihan Presiden Tahun 2004 Putaran I |
78,2% |
21,8%, |
4 |
Pemilihan Presiden Tahun 2004 Putaran II |
76,6% |
23,4% |
5 |
Pemilu Legislatif Tahun 2009 |
70,9% |
29,01% |
6 |
Pemilihan Presiden Tahun 2009 |
71,7% |
28,3%. |
Sumber: Komisi Pemilihan Umum
Di samping itu, peningkatan jumlah floating mass di Indonesia saat ini sebagaimana terekam dalam hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting juga dapat dilihat sebagai gambaran akumulasi rasa kecewa publik terhadap kinerja partai-partai politik. Alih-alih menjadi harapan bagi perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara, partai politik kini justru lebih menjadi sumber masalah akibat perilaku korup sejumlah elite dan kader-kader mereka.
Ciri keempat institusionalisasi partai politik berupa kejelasan strukutur internal, prosedur, dan rutinitas partai politik belum tampak jelas di Indonesia. Organisasi internal partai politik di Indonesia belum dapat dikatakan baik mengingat cukup banyak terdapat kasus perselisihan internal partai politik yang kemudian berujung pada pemisahan kubu dan pembentukan partai politik baru.
Sebagai contoh, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pecah melahirkan partai baru bernama Partai Bintang Reformasi (PBR), masalah internal Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) antara kubu Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan kubu Muhaimin Iskandar, fragmentasi PDIP menjadi beberapa partai politik kecil seperti Partai Demokrasi Pembaruan (PDP), Partai Nasional Banteng Kerakyatan Indoensia, dan Partai Penegak Demokrasi Indonesia (PPDI).
Bahkan, Partai Golkar pun tidak luput dari perpecahan. Pascapelaksanaan musyawarah nasional di Pekanbaru, Riau, Oktober 2009, partai berlambang pohon beringin ini mengalami perpecahan internal yang ditandai dengan hengkangnya Surya Paloh dari keanggotaan Partai Golkar untuk kemudian membentuk Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Dewasa ini, kita hampir tidak pernah melihat partai politik saat ini yang memiliki suatu rencana strategi jangka panjang dan program partai politik yang dijunjung tinggi serta mencakup seluruh dimensi organisasi. Hal ini merupakan pertanda awal bahwa partai politik masa reformasi mengalami kegagalan dalam membangun ketangguhan organisasi.
Kegagalan organisasi konflik internal yang dialami oleh partai-partai politik, baik partai politik besar maupun partai politik kecil, secara umum bersumber dari pelanggaran terhadap anggaran dasar/anggaran rumah tangga partai politik bersangkutan. Partai politik yang seharusnya menjadi institusi utama bagi pembangunan dan pematangan pengembangan demokrasi seringkali mengalami konflik internal sebagai akibat tidak berjalannya mekanisme demokrasi di internal masing-masing partai politik. Tidak jarang keputusan politik ditentukan secara sepihak oleh segelintir elite partai politik. Partai politik di Indonesia belum memiliki tradisi kuat untuk menjalankan organisasi secara rasional dan demokratis.
Fenomena pelaksanaan munas/kongres/muktamar yang cederung didesain untuk memenangkan kelompok berkuasa dalam suatu partai politik mencerminkan kecenderungan semacam itu. Para elite politik negeri ini masih menafsirkan munas/kongres/muktamar sebatas pada ajang suksesi kepemimpinan semata. Sebagai sebuah institusi permusyawaratan tertinggi dari sebuah partai, munas/kongres/muktamar semestinya dapat menjadi forum strategis guna melakukan evaluasi komprehensif perjalanan partai selama lima tahun terakhir, lebih dari sekadar kompetisi sesaat meraih posisi ketua umum. Akibatnya, tidak sedikit partai politik baru bermunculan sebagai buah dari konflik internal di arena munas/kongres/muktamar tersebut.
Pemaparan di atas menunjukkan partai politik di Indonesia belum mengalami institusionalisasi secara baik. Diperlukan perbaikan-perbaikan mendasar untuk mencapai hal tersebut.
Namun, pengalaman selama ini menunjukkan tidak ada harapan jika kita menunggu perbaikan partai politik datang dari kesadaran internal elite politik. Karena itu, dibutuhkan upaya perbaikan kehidupan kepartaian dengan menempatkan kelompok masyarakat sipil sebagai motor penggerak utama. Kelompok-kelompok masyarakat sipil dapat mendesakkan sejumlah agenda perbaikan institusional terhadap partai-partai politik melalui perangkat-perangkat regulasi yang dapat merangsang perbaikan internal di dalam tubuh partai-partai politik tersebut.
Dalam konteks itu, hemat penulis, di masa mendatang perubahan dan peneyempurnaan paket undang-undang partai politik menjadi penting untuk dilakukan. Ada dua alasan mengapa penyempurnaan paket undang-undang partai politik penting dilakukan.
Pertama, harus ada undang-undang partai politik yang dapat “memaksa” partai politik untuk memperbaiki berbagai kelemahan struktural mereka selama ini. Undang-undang partai politik harus menyebutkan secara jelas, terang, dan eksplisit mengenai sanksi yang akan dikenakan kepada partai politik apabila tidak menjalankan hal-hal yang telah diamanatkan oleh undang-undang. Selama ini, hal itu absen sehingga tidak ada tekanan kuat kepada partai politik untuk serius memperbaiki kelemahan-kelemahan struktural mereka.
Kedua, harus ada undang-undang partai politik yang memiliki kesesuaian dengan sistem pemerintahan, sistem pemilu, sistem perwakilan, dan sistem kepartaian yang berlaku. Jika dua hal ini dapat diakomodasi oleh undang-undang partai politik di masa mendatang, maka harapan bangsa Indonesia untuk memiliki partai politik dengan kapasitas institusionalisasi mumpuni tidak lagi sekadar mimpi semata.
Kesimpulan
Jika merujuk pada elaborasi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa partai politik di Indonesia belum terinstitusionalisasi dengan baik. Kita semua tentu berharap kelak institusionalisasi partai-partai politik di Indonesia akan kian membaik seiring dengan semakin dewasa umur demokrasi kita. Untuk itu mutlak dibutuhkan upaya perbaikan kehidupan kepartaian melalui jalur institusi dengan menempatkan kelompok masyarakat sipil sebagai motor penggerak utama.
Kelompok-kelompok masyarakat sipil dapat mendesakkan sejumlah agenda perbaikan institusional terhadap partai-partai politik melalui perangkat-perangkat regulasi yang dapat merangsang perbaikan internal di dalam tubuh partai-partai politik tersebut. Dengan institusionalisasi partai politik yang semakin baik diharapkan kehidupan politik di Indonesia pun akan menjadi lebih stabil sehingga kesejahteraan rakyat sebagai tujuan demokrasi menjadi tercapai secara maksimal.
Daftar Pustaka
Buku
Duverger, Maurice. Political Parties: Their Organization and Activities in Modem State London: Metheun, 1967.
Huntington, Samuel P. Political Order in Changing Societies. New Haven and London: Yale University Press, 1968.
Netherlands Institute for Multiparty Democracy. Suatu Kerangka Kerja Pengembangan Partai Politik Yang Demokratis. Den Haag: IMD, 2004.
Sunggono, Bambang. Partai Politik dalam Kerangka Pembangunan Politik Indonesia. Jakarta: PT Bina Ilmu, 1992.
Jurnal Ilmiah
Scott Mainwaring, “Party Systems in The Third Wave,” Journal of Democracy, Volume 9, Number 3, July 1998
** Diambil di Pusat Penelitian Politik LIPI
Average Rating