Benarkah Platfom Partai Lahir Dari Kebutuhan Rakyat
Benarkah Platfom Partai Lahir Dari Kebutuhan Rakyat
Oleh : Aryos Nivada**
“Seharusnya partai politik melakukan kajian atau riset kecil tentang mapping kebutuhan pemilih baru dikristalkan dalam bentuk platfom atau program. Itu baru jelas, bahwa partai politik memang memperjuangkan kebutuhan hak-hak dasar dari konsistuennya/pemilihnya,”.
Deg..deg…kurang lebih begitulah suara jantung para caleg partai politik menghitung hari yang kian dekat pada penentuan nasib. Perasaan bercampur aduk antara menang dan kalah dirasakan seluruh caleg politik. Akan tetapi hampir seluruh caleg, ketika saya bertanya selalu berpikir optimis dengan satu kata ”Menang”. Hal menarik tergelitik dibenak saya, aneh memang keinginan para caleg bila ingin menang seharusnya investasi sosial dan politik jauh-jauh hari dipersiapkan bukan kayak politikus karbitan (instan) yang hanya berorientasi uang dan jabatan ketimbang membela hak rakyat. Realitasnya para caleg hanya mengkampanyekan jadi dirinya saja melalui baliho, spanduk, stiker, kartu nama, dll.
Seharusnya spirit mencerdaskan rakyat melalui pendidikan berpolitik diberikan. Mareka tidak mau tau dengan aturan yang mareka langgar dalam menjalankan kegiatan-nya. Sehingga apa yang mareka perbuat baik pada masa pra kampanye ataupun pada tahap kampanye tidak pernah melakukan atau memberikan pendidikan politik kepada rakyat, karena rakyat tetap pada posisi sebagai objek untuk mengantarkan mareka meraih kekuasaan dan jabatan. Bisa jadi ketakutan para caleg dari partai politik, ketika rakyat sudah cerdas dirinya tidak akan terpilih. Secara tidak langsung rakyat dijadikan komoditas merauk suara bukan memberikan kemajuan dari berpolitik.
Yang menurut pikiran saya, hampir rata-rata partai politik tidak melakukan sosialisasi platfom partainya dan program partai. Jelas, platfom partai memegang serangkaian prinsip atau kebijakan yang dijadikan perjuangan bagi partainya. Ketika saya melihat beberapa platfom partai politik, ternyata program partai pun tidak mendukung platfom. Lebih parahnya mekanisme menjalankan program pun tidak dijelaskan oleh partai politik. Idealnya bila Aceh ingin maju, platfom partai seharusnya berpijak atau mendukung platfom dan program Pemerintah Aceh agar arah pembangunan Aceh maju pesat. Kenyataannya masing – masing partai mengusung platform dan program secara sendiri – sendiri, sehingga dampaknya saling berbenturan. Biasanya beberapa platform politik yang biasa digunakan partai politik diantaranya: agama, nasionalisme, pembelaan terhadap rakyat kecil, upaya menggapai kesejahteraan dan memerangi kemiskinan, dsb.
Rekayasa
Timbul pertanyaan kembali di pikiran saya, apakah benar lahirnya platfom dan program partai didasarkan kebutuhan pemilih atau hanya rekayasa dan klaim semata yang dilahirkan oleh pemikiran elit partai politik itu sendiri. Bila agak sedikit liberal, saya berpikir terindikasi kuat lahirnya platfom karena deal-deal politik dan ekonomi dari donatur asing yang memberikan uang melalui perantara LSM.
Nah, bila kita melakukan lompatan berpikir ke depan, saya membayangkan bila beberapa partai politik lokal yang memiliki platfom dan program berbeda bersatu karena alasan administrasi membentuk fraksi diparlemen. Secara otomatis para partai politik lokal akan bertarung dengan ego kepartaiannya memperjuangkan platfom dan program masing-masing. Itu baru partai lokal, bagaimana dengan partai lokal bergabung dengan partai nasional membentuk fraksi?. Tentunya banyak faktor kepentingan bermain. Makin menarik lagi nih, jika menganalisis lebih dalam lagi seharusnya partai politik melakukan kajian atau riset kecil tentang mapping kebutuhan pemilih baru dikristalkan dalam bentuk platfom atau program. Itu baru jelas, bahwa partai politik memang memperjuangkan kebutuhan hak-hak dasar dari konsistuennya/pemilihnya.
Terkenal Karena Intimidasi
Sedangkan beberapa partai lokal yang dianggap popular di Aceh bukanlah terkenal, karena gencar dalam mengkampanyekan platfom dan programnya yang berpihak kepada rakyat. Saya melihatnya kepopuleran atau terkenalnya sebuah partai bisa juga karena partai ini banyak menjadi berita di media massa, dituding sebagai pelaku kekerasan atau menjadi sasaraan kekerasan, mulai dari kantornya dibakar, kadernya ditembaki, dan lain sebagainya.
Fakta lain selain penjabaran diatas, ketika saya melakukan diskusi dengan para caleg, rata-rata dari mereka tidak mengerti akan fungsi, peran, dan kewajiban anggota parlemen. Bila menggunakan logika otak kiri kita, bagaimana mungkin dalam memperjuangkan hak-hak rakyat yang terbingkai hak sipol dan ekosob, jika fungsi pokok sebagai anggota dewan legislasi, budgeting, dan pengawasan tidak difahami dan dimengerti. Belum lagi harus membuat platfom dan program partai.
Selama ini memang Parpol menggunakan konstituen hanya untuk kepentingan jangka pendek setelah suara pemilih diraih oleh parpol. Mereka membuangnya ”ibaratnya kacang lupa dengan kulitnya”, begitu kiasan tepat perilaku parlok kepada pemilih. Itu sangat sadis, menurut saya. Para caleg atau parpol berjaya dan menikmati kesenangan di atas penderitaan rakyat atau konsistuennya.
Solusi
Terakhir Intinya, ini terdapat momentum kehadiran pesta demokrasi melalui pemilu. Marilah kita bangun kembali Aceh paska perdamaian menuju Aceh Baru yang bermartabat dan mandiri serta bernaung kepada kebutuhan rakyat, bukan menjadikan rakyat sebagai pundi-pundi suara bagi partai politik guna memperoleh kekuasaan saja. Ke depannya haruslah politikus benar-benar menunjukan keseriusan dalam memperjuangkan hak – hak dasar rakyat, sehingga paradigma pemilih akan berubah mempercayai partai politik. selain itu perlu dilakukan pendidikan berpolitik kepada rakyat agar makin cerdas dalam menentukan orang yang percaya untuk duduk di parlemen melalui partai politik. (Koran Harian Serambi Indonesia, tanggal 24 Maret 2009)** Aktivis ACSTF
Average Rating