Evaluasi Reformasi TNI Satu Dekade Lebih

Read Time:24 Minute, 10 Second

Evaluasi Reformasi TNI Satu Dekade Lebih[1]

 Aryos Nivada[2]

 Prakata 
Reformasi bagi Tentara Nasional Indonesia sudah memasuki usia lebih dari satu dekade (1998-2012). Sudah selayaknya dilakukan evaluasi terhadap kemajuan serta kendala (masalah), dikarena menjadi tanggung jawab moral saya untuk mengawasi (monitoring) implementasinya secara objektif dan terarah. Berbicara variabel yang di evaluasi harus bercerminkan kepada lima agenda reformasi di institusi TNI yang dimandatkan terdiri dari pertama; profesonalitas, kedua; bisnis militer, ketiga; netralitas politik, keempat; kesejahteraan, dan kelima peradilan militer. Keseluruhan itu akan saya paparkan dalam tulisan ini. Tentunya dikorelasikan dengan konteks lokal Aceh.
Latar Belakang 
Gelombang reformasi Mei 1998 memaksa ABRI mengadakan perubahan internal dalam organisasi hingga paradigmanya. Beberapa langkah awal reformasi organisasi TNI adalah mengubah nama ABRI menjadi TNI, kemudian diikuti dengan langkah restrukturisasi dan reorganisasi TNI. Misalnya, likuidasi beberapa organisasi ABRI yang dianggap tak sesuai dengan semangat reformasi seperti Badan Pembinaaan Kekaryaan (Babinkar) yang di era Orde Baru mengelola penempatan ABRI dalam struktur pemerintahan sipil, likuidasi Kepala Staf Komando Teritorial (Kaster) TNI, serta likuidasi Badan Koordinasi Stabilitas Nasional (Bakorstanas) yang membuat militer mengontrol kehidupan politik.
Reformasi mencanangkan Paradigma Baru ABRI melalui langkah reaktualisasi, reposisi dan redefinisi peran ABRI 1999. Pertama, mengubah cara-cara pendekatan secara langsung menjadi tidak langsung. Kedua, mengubah konsep menduduki menjadi mempengaruhi. Ketiga, mengubah dari konsep harus selalu di depan menjadi tidak harus selalu di depan. Keempat, kesiapan untuk melakukan pembagian peran dengan mitra non ABRI. Empat hal yang dicanangkan oleh Panglima ABRI Jenderal (TNI) Wiranto dinilai sebagai perubahan paradigma yang separuh hati. Makna substansial Paradigma Baru ialah ABRI tetap menganggap dirinya superior, serba lebih tahu urusan negara dan dengan sendirinya mensubordinasi politik sipil. Pola pikir semacam ini merupakan kekacauan berpikir yang serius. Akhirnya, arus reformasi terus menekan terjadinya perubahan-perubahan internal militer.
Demokratisasi politik tingkat nasional kemudian melahirkan produk regulasi politik dan kebijakan yang menata sistem keamanan nasional. Ini tercermin dalam langkah positif yang berarti berupa pemisahan TNI dan Polri, April 1999. Kemajuan ini lalu diperkuat oleh TAP MPR No. VI Tahun 2000 dan TAP MPR No. VII Tahun 2000 yang mengatur tentang pemisahan peran TNI dan Polri. Pada tahun yang sama, dilakukan amandemen konstitusi UUD 1945, termasuk ketentuan Pasal 30 mengenai pertahanan dan keamanan negara yang menegaskan pembedaan fungsi pertahanan dan keamanan. Langkah-langkah ini sempat menimbulkan polemik. Kepentingan pemisahan organisasi antara TNI dengan Polri adalah sesuatu yang mendesak. Namun sebagian kalangan menilai pemisahan tugas dan peran yang dikotomis antara pertahanan dan keamanan, berpotensi menimbulkan masalah, diantaranya kebingungan dalam menangani kejahatan transnasional dan potensi konflik antara personel Polri dan TNI di lapangan[3].
Selanjutnya, reformasi politik yang spesifik mengatur organisasi TNI ditetapkan melalui UU No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Regulasi ini mendapat penolakan keras dari kalangan masyarakat sipil, terutama kalangan aktivis pro demokrasi dan HAM. Beberapa pasal yang memicu polemik adalah seputar kedudukan Panglima TNI di bawah Presiden serta kedudukannya yang diposisikan setara dengan Menteri Pertahanan, hingga rumusan tugas pokok TNI, operasi dan penggunaan kekuatan yang sempat diwarnai kontroversi ‘pasal kudeta’, serta seputar peradilan militer. Kepentingan penolakan aktivis adalah untuk mencegah penggunaan tentara ala Orde Baru, dan menjamin terbangunnya tentara profesional di bawah supremasi sipil. Di era Orde Baru, TNI memiliki wewenang eksklusif dalam mengatur dan memutuskan kebijakan pengerahan kekuatan dan perencanaan strategis, operasi, budget dan personel. Sejak ada UU Pertahanan Negara dan UU TNI, pengerahan dan penggunaan kekuatan TNI hanya bisa dilakukan jika ada keputusan politik dari otoritas sipil, perintah Presiden dan persetujuan DPR. Sementara dalam hal kebijakan, strategi pertahanan dan dukungan administrasi maka TNI berada di bawah koordinasi Departemen Pertahanan (Dephan).
 Pembahasan 
I. Profesionalitas TNI
Berbicara profesionalitas dari institusi TNI belum maksimal berjalan. Hal terbukti dari anggota TNI di Aceh yang masih melakukan tindakan kekerasan berupa pemukulan, intimiasi, dll. Hasil tracking media menujukan jumlah kasus yang relatif besar. Saya mengambil beberapa saja dijadikan contoh seperti pemukulan warga Gampong Pulo Kecamatan Peudada, Birueun. Belum lagi penembakan warga di Aceh Besar, kasus pemukulan wartawan Simeulu, dll.
Bila merujuk terhadap kasus, jelas penilaian dari publik masih cukup banyak anggota TNI yang melanggar prinsip profesionalitas. Berarti ada kelemahan pembinaan, kontrol serta pengawasan yang dilakukan institusi TNI terhadap anggotanya. Dikarenakan kelamahan itulah membuat degradasi profesionalisme dan disiplin anggota (prajurit TNI). secara harfiahnya mekanisme atau sistem harus mampu melakukan tiga hal itu dengan terukur, terencana, dan terevaluasi. Tidak terlupakan yang harus dilakukan perubahan untuk mewujudkan profesionalitas TNI membuat tindakan tegas, bilamana tidak menjalankan sesuai aturan tertera dalam regulasi dan aturan di internal (institusinya). Kalaupun ada upaya memberikan efek jerah bagi anggota TNI yang tidak profesionalitas dengan memberikan hukuman. Namun putusan hukuman yang diberikan institusi TNI terhadap anggotanya masih dikatagorikan setengah hati. Publik menilai institusi TNI hanya sanksi etika atau disiplin tanpa sanksi tegas langsung melakukan pemecatan tanpa kompromi. Kalau itu pun tidak berjalan ataupun sudah berjalan lantas apa yang menjadi akar masalahnya sehingga tindakan penyimpangan marak dilakukan anggota TNI bagi di Aceh maupun di Indonesia?[4].
Cara pandang lainnya dari saya menilai banyak tindakan anggota TNI yang melakukan kekerasan, pemukulan, penembakan, dll. Disebabkan masih sangat lemahnya doktrin pemahaman fungsi dan tugasnya melindungi rakyat bukan malahan rakyat di jadikan korban atas tindakan anggota TNI. Percuma pembinaan serta pemberian pemahaman akan hak asasi manusia, karena tidak menginfiltrasi ke dalam dirinya selanjutnya dipraktekan dalam perilaku keseharian.
Kendala utamanya terletak di paradigma orde baru yang masih kuat melekat di personil anggota TNI-nya. Selain itu masih belum kuatnya komitmen dalam mempraktekan profesionalisme dalam kinerjanya. Satu hal lagi, implementasi dari profesionalisme anggota TNI kurang memuaskan, dikarenakan tidak memberikan hukum yang membuat jerah, misalnya; sekali melanggar di skorsing 6 bulan tanpa gaji, dikeluarkan tanpa hormat.
Belum lagi profesionalisme personal semakin tidak sesuai harapan, ketika hasil kajian Kontras Aceh, LBH Banda Aceh, dan Gerak Aceh menemukan aliran dana dari APBD yang seharusnya tidak boleh dialokasikan bagi institusi vertikal. Ini jelas-jelas melanggar aturan undang-undang, dimana hanya dari anggaran APBN institusi vertikal mendapatkan anggaran termasuk TNI. Berarti harus ada tindakan tegas dari stakeholder yang memiliki otoritas menghentikan aliran dana tersebut[5].
II. Bisnis Militer di Aceh
Menurut pemikiran saya masalah pengambilalihan bisnis militer TNI, hingga kini belum menujukan kejelasan serius tanpa harus bertele – tele. Baru – baru ini media cetak terbitan nasional membenarkan pernyataan saya, dimana tim pengendali bisnis TNI baru mengharapkan pengambilalihan bisnis TNI segera dilaksanakan pada tenggat di pertengahan 2010. Faktanya keseluruhan bisnis TNI di pusat ibukota hingga ke daerah-daerah belum tuntas di ambil ahli Pemerintah Pusat[6].
Umumnya petinggi militer beralasan, TNI terpaksa berbisnis guna meningkatkan kesejahteraan prajurit. Ini gara-gara anggaran militer yang minim. Masalahnya, mengurus bisnis dengan skala demikian besar tentu butuh perhatian tersendiri. Aktivitas ini jelas mengusik profesionalitas militer yang tugas utamanya membela kedaulatan bangsa. Tapi, untuk sampai ke sana, perlu ada dukungan pemerintah lewat penyediaan anggaran militer yang memadai. Soalnya, anggaran TNI selama ini tidak cukup untuk meningkatkan kesejahteraan prajurit plus memenuhi kesiapan alat utama sistem senjata (alusista)  dan alat utama system komunikasi (alutkom) yang canggih.
Bicara kelokalan Aceh pasca perdamaian, dimana secara kasat mata bermunculan bisnis-bisnis baru yang dikelola institusi TNI seperti cafe, percetakan, restoran, bisnis senam, swalayan, dll. Kesemuan itu apakah dibawah kendali manajemen Puskopad (koperasi tingkat KODAM) Primkopad (koperasi tingkat KODIM) ?. Seharusnya keberadaan koperasi itu, hanya mencukupi kebutuhan dasar (sembako) dan simpan pinjam dari prajurit, bukan malahan membangun kerajaan bisnisnya. Bila terjadi maka ini bentuk keunikan tersendiri dari bisnis militer di Aceh, dimana tidak dikelola sebuah yayasan seperti di provinsi lainnya[7].
Kalau pun mau dikrocek dan dikaji riset lebih jauh lagi, pasti ditemukan anggota TNI yang membuka bisnis seperti menjadi kontraktor. Ini mengingkari semangat profesionalitas sekaligus amanah dalam regulasi. Modus menjalankan bisnis dilakoni anggota TNI banyak cara seperti membuka perusahan, bekerjasama dengan pengusaha tertentu, dll.
Solusi mengatasi anggota TNI yang berbisnis negara harus bertanggung jawab menjamin kesejahteraannya. Caranya melalui nasionalisasi aset negara serta secepat mungkin melakukan pengambilan ahli bisnis yang masih dikelola TNI secara institusi, yayasan, maupun koperasinya. Lalu lakukan peningkat kesejahteraan secara maksimal mulai dari struktur level bawah sampai level atas.
III. Netralitas TNI[8]
Pemilihan Kepalada Daerah dan Pemilihan Umum kerap kali menjadilahan subur bagi institusi Tentara Nasional Indonesia melakukan tindakan diluar fungsi dan peran sesuai amanah UU No.34 tahun 2004. Fenomena ini menjadi bagian terjadi dalam dinamika perpolitikan di Indonesia. Di sinilah dituntut keseriusan dari personal TNI yang memiliki jabatan tinggi harus independen dan tidak memihak kepada salah satu kandidat yang ingin maju, baik ke gubernur, bupati, dan walikota, bahkan menjelang pemilu 2014. Fokusnya bagi anggota TNI adalah melaksanakan tugas untuk mempertahankan kedaulatan negara dari serangan luar dan tugas dari pihak kepolisian memberikan jaminan keamanan sipil bagi warganya. Ketika keterlibatan secara politik TNI, maka personal yang memiliki jabatan tinggi telah mencederai amanah undang-undang serta semangat reformasi yang didengung-dengungkan.
Hal yang harus difahami setiap kerja-kerja anggota maupun petinggi KODAM (komando daerah militer) harus tunduk terhadap Departemen Pertahanan dan Mabes TNI dalam melaksanakan setiap operasinya. Jadi bilamana ada anggota dan petinggi TNI (Kodam dan Polda) ditingkat provinsi maupun daerah di Aceh terlibat aktif dalam kerja-kerja politik, jangan ragu-ragu melaporkan kepada Departemen Pertahanan dan Presiden.
Sekali lagi dwifungsi ABRI yang bisa berpolitik telah dihilangkan dengan tujuan mewujudkan profesional sehingga kwalitas dan kwantitas menjadi kuat. Hilang dwifungsi ABRI tidak terlepas dari runtuhnya rezim Soeharto. Sekilas pandang pemahaman akan doktrin di lingkungan militer Indonesia yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, yaitu pertama menjaga pertahanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan. Sebagian kalangan juga mengkhawatirkan bila TNI terlibat dalam politik dan tidak mampu keluar dari kungkungan psikologis profesi dan kelompoknya yang notabene bersenjata pula, maka hal itu akan sangat membahayakan. Sebuah kekhawatiran yang bisa dibilang berdasar tetapi juga bisa dianggap berlebihan. Tergantung dari sisi mana kita memandang.
Mari kita menganalisis cara-cara atau bentuk potensi dukungan untuk memenangkan kandidat dan peran apa yang harus dilakukan agar kedua institusi itu tidak melakukan tindakan diluar ketentuan undang-undang. Dua variabel itu menjadi alat analisis dalam mengkonstruksikan tulisan ini.
Potensi Memenangkan TNI/Polri Kepada Kandidat
Peluang yang perlu dikhawatirkan yaitu anggota atau petinggi TNI memberikan dukungan kepada salah satu kandidat yang maju menjadi gubernur, bupati, walikota pada pilkada 2012, bahkan kepada partai menjelang pemilu 2014 nantinya. Pola dukungan bisa dilakukan secara diam-diam dan terbuka. Dengan catatan jika yang terbuka berarti ada kekuatan dukungan yang lebih kuat  secara institusi. Catatan penting seorang (kandidat) yang di dukung dari anggota maupun petinggi, apabila memiliki tingkat elektabilitasnya yang tinggi di mata masyarakat Aceh.
Tidak menutup kemungkinan pola dukungan akan mengerahkan apa yang dimiliki secara otoritas dari personal TNI yang memiliki otoritas kuat melalui mengerahkan lapisan terbawa struktur. Belum lagi potensi digunakan akses terhadap Alutkom (alat utama komunikasi) yang serba canggih. Bahkan kita semua sudah mengetahui bahwa kedua institusi itu memiliki intelijen. Fungsi intelijen memberikan informasi di setiap daerah di Aceh. Lebih jauh lagi melakukan kegiatan pemetaan situasi ke semua lini kehidupan masyarakat. Beranjak dari fungsi intelijen bisa dioptimalkan untuk kepentingan melaksanakan operasi tertutup mendukung kandidat.
Bahkan peluang lainnya yang bisa digunakan para kandidat gubernur, bupati, walikota yang maju pada pilkada Aceh 2012-2017 dan pemilu 2014 dengan membangun komunikasi dengan petinggi dari kedua institusi di Mabes TNI. Logika yang dibangun, ketika kandidat tertentu sudah mengantongi surat rekomendasi dari petinggi di institusi TNI tersebut, maka bisa ditindaklanjuti ke tingkat daerah. Dengan kata lain ada operasi di luar prosedur resmi institusi.
Tidak dinafikan arah dukungan selain menilai pada elektabilitas, ternyata pertimbangan untung dan rugi akan dilakukan berbasiskan rasionalitas. Berbicara teori rasionalitas, maka setiap personal orang memiliki peluang untuk mendahulukan kepentingan pribadi diluar kebutuhan yang sudah tersedia. Harfiahnya teori rasionalitas memiliki utilitas, aturan, keputusan. Lalu apa urgensinya bagi personal atau petinggi TNI memberikan dukungan sekaligus memenangkan kandidat. Seperti yang saya katakan, secara rasional personal masing-masing TNI, bahkan secara institusi memiliki kepentingan. Kita mengetahui kepentingan terlalu luas (holistik). Kepentingan ekonomi apakah termasuk dalam katagori?
Jangan juga menyalahi institusi TNI, mengapa karena para kandidat yang melibatkan personal/petinggi di institusi tersebut dalam perpolitik. Dulu institusi itu disuruh jangan berpolitik dan sudah tidak berpolitik, tapi malahan sekarang diam dilibatkan. Itu semua dilakukan, dikarenakan pola pikir yang masih beranggapan”bila mendapatkan restu dari TNI maka akan menang” pemikiran itulah harus dihilangkan, ketika kita selaku masyarakat ingin mewujudkan profesional ditubuh kedua institusi tersebut. Umumnya budaya kandidat yang ingin maju selalu melakukan tindakan minta dukungan dilakukan secara diam-diam. Ditakutkan dukungan pun diberikan secara tetutup dan misi memenangkan kandidat dijalankan tanpa prosedur resmi dari Departemen Pertahanan dan dilanjutkan ke Mabes TNI.
Dari kesemuanya potensi untuk memberikan dukungan, disebabkan lemahnya kontrol yang dilakukan institusi tersebut terhadap personal anggota TNI yang memiliki jabatan tinggi. Kontrol itu bisa dilakukan membuka posko informasi bagi masyarakat sipil yang mengetahui ada kerja-kerja politik dan tindakan yang mengintervensi dalam mengarahkan suara kepada salah satu kandidat dan partai tertentu.
Fakta Lapangan
Mari melakukan pengecekan yang dilansir dari berbagai media tentang adanya indikasi keterlibatan TNI dalam pilkada di Aceh tahun 2006. Hasil dari Pemantauan Uni Eropa (UE) mendapatkan sejumlah bukti keterlibatan dan intervensi oknum TNI pada saat pemungutan suara di Kecamatan Samatiga di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Aceh Barat. Bukti itu ditunjukan dari sejumlah foto yang di rekam UE. Keberadaan UE pada waktu itu atas undangan dari Pemerintah RI dan Komisi Independen Pemilihan Provinsi NAD memantau pelaksanaan Pilkada di Aceh Barat dan Aceh Barat Daya.
Belajar dari pengalaman lagi, Posko Bersama Masyarakat Sipil Pantau HAM pada pemilu Aceh melalui pernyatan sikap bersama pada 7 April 2009 yang dikeluarkan oleh komponen masyarakat sipil terdiri dari; KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, Koalisi NGO HAM, ACSTF, LINA, Beujroh, Katahati Institute, Aceh Institute, GeRAK Aceh, AJMI, Radio Komunitas Suara Perempuan, PCC, FAA, SPKP HAM, Care Aceh. Dari hasil pantau Posko Bersama Masyarakat Sipil Pantau HAM mendapatkan temuan penambahan sebanyak 5 pos TNI di Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Jaya, yaitu: Pos TNI Desa Tuwi Eumpeuk, Kec. Panga, Kab. Aceh Jaya, Pos TNI Desa Alue Jang Sarah Raya, Kec. Teunom, Kab. Aceh Jaya, Pos TNI Desa Tumpok Peureulak, Kec. Matangkuli, Aceh Utara, Pos TNI Desa Kampoeng Pirah, Kec. Matangkuli, Aceh Utara, dan  Pos TNI Desa Meunasah Rayeuk, Kec. Nisam, Aceh Utara[9].
Berkaitan dari kondisi itu, secara pribadi pernyataan Pangdam (Panglima Daerah) Iskandar Muda Mayjen TNI Adi Mulyono[10] harus lakukan segenap anggota TNI tanpa terkecuali. Dirinya mengatakan apabila jika ada anggota TNI terlibat sebagai tim sukses, itu bukan institusi, tetapi kehendak pribadi dan yang bersangkutan dapat dilaporkan agar dapat ditindak tegas. Selanjut Pangdam IM juga menawarkan kepada pihak kepolisian untuk meminta bantuan pengamanan Pilkada. Berangkat dari pernyataan tersebut, maka dibutuhkan kejelasan bentuk perbantuan dan tetap otoritas ditangan institusi kepolisian.
Pribadi saya menilai jangan hanya ditataran opini media saja, akan tetapi bukti serius melalui tindakan tegas yang akan dinilai. Tindakan tegas ini sebagai bentuk mewujudkan profesionalisme di TNI.
IV. Kesejehteraan TNI
Tentara Nasional Indonesia (TNI) saat ini dinilai berada dalam posisi yang dilematis. Satu sisi ingin memodernisasi alutsistanya, pembuatan pengadilan militer, disisi lain ingin menjalankan sikap profesional. Salah satunya melalui kebijakan peningkatan kesejahteraan bagi anggota TNI. Kesemua itu pastinya membutuhkan anggaran yang begitu besar.
Kendati demikian, peningkatan kesejahteraan prajurit TNI juga tidak menjadi perhatian besar, baik oleh parlemen atau pemerintah. Walaupun anggaran militer meningkat tiap tahun ke tahun. Pada tahun APBN 2012 Anggaran militer mengalami kenaikan sekitar 35 persen, dari 47,5 triliun menjadi Rp 64,4 triliun itu cukup menggembirakan dalam skema pembenahan dunia militer di Tanah Air. Sedangkan tahun 2013 akan menaikkan gaji PNS dan TNI/Polri sampai 7%. Ini kabar gambira bagi PNS dan TNI/Polri. Alokasi APBN 2013 meningkat menjadi Rp 77,7 Triliun. Alasan pemerintah menaikkan gaji PNS TNI/Polri untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai, untuk memacu produktivitas dan penguatan kualitas pelayanan masyarakat serta efisiensi birokrasi. Akan tetapi anggaran jumlah besar tidak memberikan dampak signifikan kepada kesejahteraan TNI, dikarenakan sebagian besar dana diperuntukan untuk alokasi alutsista[11].
Belum tentu kenaikan kesejahteran bagi anggota TNI mampu memaksimalkan kinerja berdasarkan mandat UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentaran Nasional Indonesia. Hal sama dikatakan Pusawi Adijaya, kalau gaji dinaikkan terus bagi anggota TNI dengan alasan  ingin meningkatkan kesejahteraan, mereka bisa melakukan pemborosanpemborosan. Semakin boros, semakin tidak sejahtera, semakin tidak sejahtera, gaji semakin naik. Sama halnya dengan pelayanan masyarakat. Mereka melemahkan diri dalam memberi pelayanan kepada publik, semakin lemah semakin diperhatikan oleh pemerintah dengan ditambahnya gaji. Jadi, Remunerasi anggota TNI maupun yang PNS-nya bukan jalan meningkatkan kesejahteraan dan kinerja pegawai[12]. Tafsiran saya, berarti harus dikontrol kinerja anggota TNI berserta staf PNS-nya agar mampu memberikan hasil baik dalam kinerjanya.
Faktanya, anggaran bagi kesejahteran TNI yang diberikan makin mensejahterahkan kalangan petinggi atau perwira TNI. Kalau perwira, walaupun masih kurang, masih lebih baik. Masih ada tunjangan jabatan dan lain-lain. Tetapi kalau prajurit rendahan hanya mengandalkan gaji. Seringkali gaji itu tidak cukup bagi kalangan anggota TNI berjabatan rendah. Sehinnga diperlukan upaya peningkatan anggaran bukan untuk kebutuhan pembelian alutsista dan alutkom, tetapi besar pada pemberian kesejahteran bagi anggota TNI berpangkat rendah[13].
Bilamana ditarik secara lokal Aceh, hasil wawancara saya dengan anggota TNI masih banyak hidup dibawah kehidupan standar kesejahteraan. Lebih jauh lagi diskusi dengan salah seorang perwira menengah, biasanya urusan anggaran tergantung posisi yang basah. Jikalau semakian startegis dan basah maka besar mengontrol anggaran di institusi TNI. Tentunya berpotensi besar terjadi kebocoran atau penyimpangan pengelolaan anggaran. Dilain pihak kesejahteran anggota TNI terpaksa harus melakukan kegiatan diluar jam dinasnya, misalnya menjadi supir L 300, membuka toko dan berbisnis sampingan yang tidak bersinggungan dengan mandatnya sebagai prajurit TNI. Pengalaman lainnya salah seorang wartawan Majalah Acehkita edisi Mei 2005 melakukan investigasi di Aceh Singkil mendapatkan personel TNI di sana menetapkan fee sekitar Rp 250 ribu untuk setiap pengangkutan. “Jika tidak membayar iuran, jangan harap kayu bisa diangkut,” ujar Irwan (Nama samaran).
Agar tidak melakukan kegiatan penyimpangan serta mampu memberikan perbaikan dari segi kesejahteran anggota TNI di Kodam Iskandar Muda (IM) Aceh melalui
berbagai program pembangunan yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat sejatinya dimotori Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Aceh, namun partisipasi berbagai pihak termasuk prajurit TNI Kodam Iskandar Muda juga tidak bisa diabaikan[14].
 
V. Pengadilan Militer
Pengadilan militer adalah badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di likungan peradilan militer yang meliputi pengadilan militer, pengadilan militer tinggi, pengadilan militer utama, dan pengadilan militer pertempuran[15]. Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di likungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara[16].
Secara historis, peradilan militer sudah ada sejak tentara lahir. Di era Alexander Agung, salah seorang jenderal Romawi diadili dan kemudian dihukum mati karena melawan Alexander Agung. Pada masa itu berlaku prinsip”He who gives sits in judgement”. Prinsip yang diterapkan semenjak zamn Yunani Kuno ini menempatkan komandan sebagai otoritas pemberi hukuman terhadap kesalahan yang dilakukan oleh anggota militer[17].
Atas dasar prinsip itu menjadi dasar bahwa peradilan militer merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari institusi militer itu sendiri. Namun sejarah menunjukan bahwa keberadaan institusi militer tidak selalu melahirkan adanya peradilan militer. Dinasti-dinasti kerajaan di Cina misalnya, meskipun ada tentara namun tidak mengenal peradilan militer. Pelanggaran yang dilakukan oleh tentara kerajaan, diadili oleh pengadilan umum.
Persoalan yuridis peradilan militer masih menjadi sorotan hingga sekarang. Dalam laporan yang disampaikan oleh Special Rapporteur PBB tahun 1994, yurisdiksi penuh yang dimiliki oleh aparat militer, termasuk tindak penyiksaan, pembunuhan, dan penculikan, telah melahirkan impunitas. Khusus dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia, Special Rapporteur PBB melibat bahwa sulitnya akses para korban terhadap kasus pidana yang melibatkan anggota militer, serta lemahnya imparsialitas, kompetensi dan independensi peradilan militer, mengharuskan yuridiksi terhadap pelanggaran hak asasi manusia harus dipindahkan ke peradilan umum biasa[18].
Ketidakadilan dalam peradilan militer, bukan semata-mata pada persoalan proses dam/atau keputusan pengadilan militer yang tidak memenuhi rasa keadilan publik. Namun lebih dari itu, dalam sistem peradilan militer, hak-hak tersangka dan terdakwa kurang terjamin, bahkan cenderung diabaikan. Sebagai warga negara, meskipun diduga atau terbukti melakukan kejahatan, bukan berarti dia kehilangan hak-hak dasar yang dimilikinya sebagai manusia maupun sebagai warga negara. Dengan demikian, prajurit TNI yang diduga melakukan tindak pidana militer masuk dalam sistem peradilan militer tetap harus dijamin hak-haknya. Khususnya hak-hak sebagai tersangka/terdakwa tindak pidana militer[19].
Pada konteks lokal Aceh, pelanggaran HAM institusi TNI melalui anggota, perwira, dan petinggi sangat banyak. Terbukti dari hasil monitoring KontraS dari tahun 1989-1998 hingga 21-10-2004 menemukan banyak kasus pelanggaran HAM yang tidak tersentuh secara hukum, bahkan tidak di proses secara hukum.
 

No

Nama Kasus

Tahun

Jumlah Korban

Konteks

Penyelesaian

1 DOM Aceh 1989-1998 6.837 Operasi militer guna menumpas GPK dibawah pimpinan Tgk. Hasan di Tiro. Pada tiga kabupaten; Aceh Utara, Aceh Timur dan Pidie Terbentuknya Tim Pencari Fakta (TPF) untuk kasus DOM.
2 Simpang KKA 1999 200 Aparat TNI menembaki masyarakat yang sedang berdemonstrasi di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara Presiden BJ Habibie mengeluarkan Kepres No.88/1999 tentang Komisi Independen Pengusuran Tindakan Kekerasan di Aceh (KIPTKA)
3 Gedung KNPI kekerasan dalam operasi Wibawa 1999 73 Operasi Wibawa yang digelar untuk mencari sejumlah aparat keamanan yang dikabarkan diculik oleh orang tidak dikenal serta memburu Ahmad Kandang (seorang anggota GAM) di Lhoksumawe. Pengadilan militer di Banda Aceh
4 Pembantaian Tgk. Bantaqiah dan santrinya 1999 57 Penyerbuan aparat TNI ke pesantren Tgk. Bantaqiah-seorang ulama yang kritis di Beutong, Aceh Barat. Presiden BJ Habibie mengeluarkan Keppres No.88/1999 tentang Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA) kemudian dilanjutkan dengan Pengadilan Koneksitas. Pelakunya menghilang.
5 Pembantaian Idi Cut 1999 28 Massa yang pulang dari ceramah agama di desa Idi Cut, Aceh Timur Keppres No.88/1999 tentang Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA)
6 Bumi Flora 2001 37 Pembantaian aparat terhadap karyawan PT Bumi Flora dengan alasan mencari GAM Langsa, Aceh Timur. Komnas telah membentuk KPP, belum ada tindak lanjut.
7 Kasus Activist RATA 2000 4 Aparat Polres melakukan sweeping di depan Makoramil Tanah Luas, Aceh Utara. Kejadian pada saat masa Jeda Kemanusiaan II Di tangani oleh Polda Aceh dan Pomdam I/Bukit Barisan, Komnas membentuk KKP, belum ada tindaklanjut.
8 Operasi Rajawali 2001 1216 Tentang langkah komperhensif dalam menyelesaikan masalah Aceh berdasarkan Inpres No. 4/2001 di tengah-tengah Jeda Kemanusian. Tidak ada
9 Darurat Militer I dan II 2003-2004 1.326 Kegagalan perundingan damai antara RI dan GAM direspon dengan kebijakan darurat militer Sejumlah anggota TNI rendah dihukum. Statusnya diturunkan menjadi darurat sipil sampai sekarang

Sumber : KontraS (table pelanggaran HAM di Aceh)
Menganalisis data hasil monitoring KontraS menunjukan masih lemah penegakan hukum terhadap kasus pelanggaran HAM melalui peradilan militer ataupun peradilan ad hoc (koneksitas). Kelemahannya, dikarenakan para aktor yang berada di institusi Pemerintah Indonesia tidak berupaya serius menyelesaikan. Tindakannya cenderung menutup kasus yang berujung terhadap pelupaan sejarah kelam atas pelanggaran HAM. Dengan demikian Pemerintah Indonesia (pusat) tidak memiliki kepedulian dan keberpihakan kepada korban konflik di Aceh.
Diperkuat lagi data baru terhitung dari Oktober 2011-September 2012, KontraS mencatat sekitar 81 peristiwa kekerasan dilakukan oleh anggota TNI diberbagai tempat, antara lain; Papua, Aceh, Surabaya, Padang, Kalimantan Barat, dan daerah lainnya, termasuk DKI Jakarta. Motif kekerasannya beragam, mulai dari persoalan pribadi seperti tersinggung atau merasa tidak dihargai, atau juga karena pengaruh alkohol (mabuk), bentuk solidaritas bela korps yang berlebihan, kekerasan terhadap pekerja pers, dan kekerasan saat operasi militer atau saat sedang bertugas. Pola-pola kekerasan, seperti penganiayaan, penyiksaan, penembakan, pembunuhan, perampasan, pembakaran dan pengerusakan masih lazim dilakukan dalam menjalankan aksinya.
Jangan heran, bilamana lemahnya penegakan hukum melalui peradilan militer mandul dan merajalelanya kasus pelanggaran HAM di Aceh menjadi persoalan besar yang masih melilit Aceh pasca UUPA. Semua itu bukan mustahil akan bermuara pada lahirnya benih-benih konflik baru yang siap meledak, bilamana tidak diselesaikan secara tuntas. Karena itu menjadi faktor yang paling mempengaruhi kondisi Aceh saat ini. Pemerintah Pusat harus membuktikan bahwa kedudukan warga negara sama di depan hukum dengan aktor pelaksana negara, sehingga rakyat menghormati hukum. Kalau keadilan sudah ditegakkan, benih-benih konflik pun secara otomatis akan terkikis habis dengan sendirinya.
Niat baik ditunjukan oleh Komisi Keberlanjutan Perdamaian Aceh (KPKA) atau Commission on Sustaining Peace in Aceh (CoSPA) menyepakati rencana Pembentukan Komisi Bersama Penyelesaian Klaim (Joint Claim Settlement Commission) dan pengadilan umum bagi militer yang melakukan kejahatan sipil. Pertemuan di Sekretariat Forbes Damai Aceh, kompleks Taman Ratu Safiatuddin, Banda Aceh itu dihadiri Zainal Arifin, Hasbi MS, Anwar Noer, Paul J. Amalo, Masykur, dan Djarot Budiyanto dari Forum Komunikasi dan Koordinasi (FKK) Damai Aceh serta Muhammad Nur Djuli, Bakhtiar Abdullah, dan Fauzan Azima dari unsur tokoh-tokoh yang pernah aktif di GAM. CoSPA keempat juga menghadirkan tiga narasumber yang diundang khusus, yakni Gubernur Aceh, drh. Irwandi Yusuf, M.Sc, Panglima Kodam Iskandar Muda, Mayjen TNI Supiadin AS, dan Kapolda Aceh, diwakili Kabid Hukum Polda, Yasman Abdul Rauf[20].
Seiring perjalan waktu, niat itu hanya sebatas wacana tanpa realisasi keseriusan dari peronal yang tergabung dalam CoSPA serta Pemerintah Aceh sendiri. Sehingga publik dapat menilai ternyata keberpihakan terhadap keinginan korban kejahatan HAM di Provinsi Aceh tidak dapat diwujudkan, salah satunya pembentukan Peradilan Umum bagi militer.
Penutup
 Kesimpulan dari tulisan ini tentang agenda reformasi terdiri dari pertama; profesonalitas, kedua; bisnis militer, ketiga; netralitas politik, keempat; kesejahteraan, dan kelima peradilan militer tidak berjalan sesuai harapan serta optimal mencapai target dalam bluet print institusi TNI. Sejalan dengan Evaluasi Reformasi TNI (1998-2003) hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia tahun 2003, menyimpulkan Reformasi TNI belum menunjukkan hasil, kecuali telah dicabutnya dwifungsi ABRI sehingga keterlibatan TNI dalam politik praktis terbatas pada keterwakilannya di DPR sampai Pemilu 2004. Padahal Reformasi TNI merupakan salah satu agenda reformasi terpenting sejak tahun 1998, TNI yang profesional belum menyentuh hal-hal yang bersifat subtantif. Perubahan masih diterapkan tambal sulam tanpa konsep dan strategi yang jelas.
Dimana masalah-masalah dalam menjalankan agenda reformasi TNI mempersempit peluang untuk membangun fungsi kontrol yang efektif dari otoritas sipil terhadap TNI sebagai pemegang monopoli kekerasan dan senjata. Dengan demikian menjadi sulit untuk membangun organisasi TNI yang kredibel dalam menjalankan tugas pertahanan, membangun akuntabilitas publik serta personel yang kompeten dalam bidang pertahanan. Akhir argumentasi saya, penuntasan agenda reformasi TNI membutuhkan komitmen serius dan kemauan politik presiden dan DPR RI. Jika tidak, bukan tidak mungkin, jerih payah TNI untuk mereformasi diri selama lebih dari satu dekade, tidak maksimal memberikan dampak bagi institusi TNI, dimana sejalan dengan mandat dalam regulasi dan keputusan presiden maupun DPR.
Dalam konteks kekinian TNI di Aceh dituntut tugas dan tanggung jawab menjaga perdamaian, ketika gangguan pihak tertentu yang memicu stabilitas Aceh. itu menjadi tambahan dalam agenda reformasi TNI. Tentunya kerja menjaga perdamaian di Aceh bukan semata menjadi tugas utama TNI saja, akan tetapi masyarakat Aceh secara keseluruhan harus terlibat bersinergis dengan TNI. Dengan demikian kelanggengan perdamaian bagi generasi ke depannya tetap terjaga. Kalau ditanyakan bentuk kongkrit menjaga perdamaian yang bisa dilakukan TNI di Aceh antara lain; tidak melakukan tindakan kekerasan secara terorganisir dan sistematis yang memicu kebencian masyarakat, tidak membuat perpecahan antara kelompok satu dengan lainnya, tidak menerapkan operasi atau menggerakan anggota TNI diluar instruksi dari institusi, dll.
Dalam mensukseskan agenda reformasi TNI dibutuhkan peran masyarakat sipil sangat dibutuhkan sekali, dikarenakan dapat melakukan monitoring terhadap jalannya kelima agenda reformasi TNI tersebut. Kontrol sipil atas kedua institusi vertikal harus menjadi agenda utama dari kalangan masyarakat sipil. Tujuannya agar tegaknya supremasi sipil. Kontrol itu melalui kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap kerja-kerja di instansi TNI itu. Ketika sudah berjalan maka otomatis masyarakat sipil telah mewujudkan reformasi yang menjadi agenda utama di kedua institusi tersebut. Kontrol sipil yang obyektif bertujuan memaksimalkan goal besar dalam reformasi TNI.
 
 
 



[1] Tulisan ini dibuat untuk Sekolah Demokrasi Aceh Utara dan Sepakat.
[2] Dosen Universitas Al Muslim, Pengamat Politik Keamanan Aceh, dan Program Leader ACSTF
 
[3] Satu Dekade Keberhasilan Reformasi TNI Terbebani Paradigma Orde Baru (1998-2008), Federasi Kontras,  13 Oktober 2008.
[4] Aryos Nivada, HUT TNI dan Agenda Reformasi, The Globe Journal, 12/10/2012.
[5] Aryos Nivada, Upeti buat TNI siapa yang bertanggung jawab, www.acstf.org
[6] Kompas (23/12/09: hal. 5)
[7] Observasi ke lapangan pada tanggal 05/11/2012, pukul : 13.00 – 17.00
[8] Aryos Nivada, TNI, Polri dan Pilkada, Serambi Indonesia (26/02/2011).
[9] http://www.kontras.org/aceh/index.php?hal=pers&id=861&tahun=2009
[10] Media Cetak Waspada (02/02/2012)
[11] Hasil tracking media cetak nasional dan lokal.
[13] Pengamat militer dari Imparsial, Al Araf, Utamakan kesejahteraan prajurit, bukan jenderal TNI, Kamis, 31 Mei 2012 07:29:55, http://www.merdeka.com/peristiwa/utamakan-kesejahteraan-prajurit-bukan-jenderal-tni.html
[15] Reformasi Peradilan Militer di Indonesia, Imparsial, tahun 2007, hal. 5.
[16] Pasal 5 (1)  UU No. 31 tahun 1997.
[17] Federico Andreu-Guzman, Military Jurisdiction and International Law : Military Courts and Gross Human Rigths Violation (vol. 1), Internasional (Geneva: International Commision of Jurist, 2003), hal. 153-154
[18] Lihat dokumen PBB E/CN.4/1995/61/Add. 1, 1 November 1994, paragraf 81 (a).
[19] Bhatara Ibnu Reza, dkk, 2007.  Reformasi Peradilan Militer, Imparsial, hal. 46
[20] CoSPA bahas pembentukan peradilan umum bagi militer, 16/05/2008, waspada.co.
 
PENELITIAN INI SUDAH DIBUKUKAN DALAM ‘DEMOKRASI DALAM GUGATAN; Pengalaman Aceh.

 

About Post Author

JSI

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply