Laporan Penelitian : Analisis Sinergisasi Kebutuhan Pemilih Terhadap Partai Politik Menjelang Pemilu
Laporan Penelitian : Analisis Sinergisasi Kebutuhan Pemilih Terhadap Partai Politik Menjelang Pemilu
Vouter’s Accountability Programme
Latar Belakang
Pada tanggal 9 April 2009 mendatang, rakyat Indonesia akan menggunakan hak pilihnya dalam Pemilihan Umum (Pemilu) untuk menentukan calon wakil-wakilnya untuk periode 2009 – 2014. Selain memilih para calon wakil rakyat yang berasal dari 34 partai nasional untuk komposisi DPRK, DPRA dan DPRRI, rakyat Aceh juga akan memilih calon wakil rakyat yang berasal dari 6 (enam) partai lokal lainnya untuk komposisi DPRK dan DPRA saja.
Seperti yang diketahui pemilu merupakan salah satu bentuk transaksi dalam pasar politik. Transaksi antara pembeli atau rakyat dengan penjual atau partai politik dengan para calon legislatornya. Adapun komoditas yang diperjualbelikan adalah agenda maupun program-program pembangunan. Agar pemilu dapat dijadikan pasar politik yang efektif, maka rakyat sebagai pembeli harus mampu menentukan apa yang benar-benar mereka butuhkan, dan dengan cerdas dapat memilih dengan cara apa mereka bisa memenuhinya. Di lain pihak, para calon legislator sebagai penjual dituntut untuk benar-benar mengetahui kebutuhan si pembeli dan mampu menjelaskan bagaimana mereka dapat memuaskan keinginan si pembeli.
Terkait dengan itu, sebelum transaksi terjadi juga dibutuhkan arena yang dapat mempertemukan pembeli dan penjual. Pada arena tersebut masing-masing pihak dapat saling mengenal dan memahami kebutuhan serta kepentingannya, sehingga akhirnya dapat berkontribusi terhadap proses demokrasi yang efektif.
Menyadari kondisi diatas, maka penelitian ini dilakukan. Hasil penelitian ini diharapkan akan bermanfaat sebagai masukan bagi partai politik lokal dan nasional, sekaligus bagi para caleg tentang hal-hal yang menjadi kebutuhan serta bagaimana mewujudkannya. Di lain pihak penelitian ini juga ditujukan untuk memberikan informasi dan pemahaman tentang program-program yang dibuat oleh setiap partai politik kepada para pemilih dalam kerangka membangun Aceh yang lebih baik ke depan.
Tujuan
Penelitian ini ditujukan untuk menelaah (menganalisis) tentang sinergisasi kebutuhan pemilih dengan partai politik menjelang pemilu, mengkaji kebijakan-kebijakan program yang berpihak kepada pemilih/konstituen serta menganalisis konsep dan program partai politik apakah memiliki korelasi dengan kebutuhan pemilih atau tidak.
Permasalahan
Sudah menjadi masalah klasik dalam percaturan politik pada era orde baru dan era reformasi yaitu soal marginalisasi hak-hak pemilih oleh politikus dan partai politik. Juga sudah menjadi rahasia umum bahwa partai politik lebih mementingkan partainya daripada pemilih yang telah memberikan suara mereka yang membuat partai tersebut menang dalam pemilu. Muncul pertanyaan lahirnya platform partai dan program partai, apakah beranjak dari kebutuhan pemilih?. Bagaimana keberpihakan partai terhadap kebutuhan pemilih?.
Ruang Lingkup Wilayah
Wilayah penelitian meliputi empat kabupaten dan kota di Aceh yaitu Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bener Meriah dan Kota Subussalam. Wilayah ini dipilih dengan mempertimbangkan komposisi wilayah (barat, timur, serta dataran tinggi Aceh). Penelitian dilakukan oleh tim peneliti dari Katahati Institute dengan komposisi dua orang peneliti dan dua orang asisten peneliti.
Metode
Metode yang digunakan mencakup bentuk-bentuk seperti studi literatur yang merupakan dokumen lembaga IRI dan KIP, observasi lapangan, focus group discussion (FGD), dan kuesioner.
Penjabarannya dari metode sebagai berikut :
- 1. Studi Dokumen
Metode ini merupakan langkah awal untuk mengkaji hal-hal yang menyangkut analisis tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) yang dijadikan sebagai basis berpikir dan data awal penelitian.
Beberapa langkah yang dilakukan diantaranya adalah:
- Identifikasi data dari 44 partai politik peserta pemilu, seperti alamat, platform, dan agenda partai.
- Identifikasi jumlah pemilih di Aceh dan wilayah penelitian.
- Kovenan ekosob dan sipol untuk batasan pemilihan dalam empat isu kunci.
- Teori-teori penelitian pemilu yang relevan.
- Hasil penelitian IRI tentang pemilu.
- Hasil pemantauan pemberitaan media yang terkait dengan pemilu.
- 1. Observasi
Untuk melakukan pemetaan tokoh kunci atau narasumber di empat kabupaten dan kota yang menjadi target penelitian. Pemetaan narasumber dilakukan melalui mekanisme kontak person di daerah penelitian untuk mengorganisir pelaksanaan FGD dan menemukan narasumber yang tepat.
- 2. Fokus Group Diskusi
Metode ini dilakukan untuk menggali empat isu kunci di tingkat pemilih. Unsur peserta yang diharapkan hadir diantaranya adalah: perwakilan masyarakat (Imum mukim, tuha peut, keuchik, kelompok perempuan dan warga masyarakat yang ditemui dalam masa observasi), akademisi (bidang kesehatan, pendidikan, politik, hukum) dan perwakilan LSM (3 lembaga). Sistem keterwakilan mengikuti pola:
- Unsur Masyarakat (20 orang)
- Akademisi (5 orang)
- Unsur LSM (5 orang)
Total 30 orang.
- 3. Kuesioner
Pemberian kuesioner ditujukan untuk menemukan 4 isu kunci. Pertanyaan yang tercantum dalam kuesioner dibatasi dengan frame hak-hak ekosob dan sipol.
Analisis Sinergisasi Kebutuhan Pemilih Terhadap Partai Politik Menjelang Pemilu[1]
Tim Peneliti Katahati Institute[2]
BAB 1 : PENDAHULUAN
Gambaran Umum
Menganalisis dan menilai proses pemilu yang berlangsung di Aceh, dengan tujuan untuk mengukur kemajuan dan peningkatan kualitas demokrasi secara holistik dan subtantif, harus berlandaskan pada realitas Aceh menjelang pemilu. Tingkat kemajuan demokrasi harus disimpulkan dari landasan teoritis dan empiris. Berbagai pengalaman pemilu yang terjadi, bisa menjadi pengalaman berdemokrasi di daerah lain. Tingkat partisipasi pemilih untuk menjaga agar pemilu berlangsung damai, juga harus dicatat sebagai sebuah langkah maju berdemokrasi di Aceh. Maka semangat untuk menjadikan proses demokratisasi Aceh sebagai pilot project untuk demokratisasi Indonesia akan lebih kontekstual[1].
Konsepsi demokrasi secara harfiah mengandung azas dasar kedaulatan rakyat menentukan jalannya roda pemerintahan. Perwujudan azas kedaulatan rakyat ini dalam kehidupan sehari-hari tergambar dari dilibatkannya rakyat secara konsisten dalam memutuskan kebijakan-kebijakan pemerintahan. Ukuran kedaulatan rakyat diukur dari semakin besarnya porsi peran yang dimainkan oleh rakyat, serta semakin selarasnya kepentingan rakyat dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Pada titik inilah partai politik harus memainkan peran, yaitu menjembatani kepentingan rakyat dan mewujudkannya dalam sebuah kebijakan (ideam).
Katahati Institute menilai walaupun terdapat banyak pandangan tentang partai politik, baik partai politik baru –lokal dan nasional– maupun partai politik lama, ada satu keseragaman dalam pandangan yaitu semua partai politik memiliki fungsi dalam memperjuangkan kepentingan publik melalui kebijakan di parlemen. Mereka harus berkompetisi untuk menarik mandat politik rakyat melalui pemilu. Legitimasi politik ini akan didapat melalui proses sosialisasi dan komunikasi politik yang dilakukan. Partai politik harus bisa menjalankan
fungsi untuk komunikasi politik, artikulasi dan agregasi kepentingan, sosialisasi politik, rekrutmen politik, dan pengaturan konflik.
Kondisi demokrasi di Aceh ibarat menghitung hari menuju tahapan ujian baru. Pemilihan umum 2009 akan menjadi tahapan ujian terdepan yang akan dilalui. Mendorong pemilu damai haruslah didasari pada implementasi nilai–nilai demokrasi yang dijalankan secara santun dan beretika. Sikap saling menghargai dan toleransi antara seluruh kontestan peserta pemilu haruslah didorong karena hal tersebut merupakan prasyarat mutlak bagi harmonisnya relasi antara seluruh person yang terlibat dan berkepentingan terhadap pemilu.
Kekhasan Aceh pada pemilu 2009 nanti adalah hadirnya partai lokal (parlok) yang akan berkompetisi sebagai peserta pemilu. Parlok akan bersaing untuk menarik simpati massa bersama-sama dengan partai nasional (parnas). Hal yang menarik dari pendirian parlok adalah karena inisiator dari parlok ini mayoritas kelompok yang berasal dari kekuatan non-mainstream terdahulu. Mereka berasal dari orang-orang yang dulunya tidak sepakat dengan pola politik mainstream.
Kemudian mereka juga berorientasi untuk menjadikan parlok sebagai antitesis terhadap parnas, yang diharapkan bisa lebih menjalankan fungsi dan tanggung jawab kepartaiannya terhadap publik. Ditambah lagi mereka membungkus visi dan misinya untuk menarik perhatian masyarakat Aceh agar kelak memilihnya. Benderanya dan lambangnya pun kian bertebaran sepanjang jalan dan persimpangan di Aceh.
Secara historis dan legalitas formal, lahirnya parlok di Aceh didasari pada rekomendasi yang tertuang dalam kesepakatan damai di Helsinki (MoU) point 1.2.1. yang kemudian dikuatkan dengan Undang-Undang Pemerintahan Aceh No. 11 tahun 2006. Antusiasme komponen Aceh dalam pembentukan parlok cukup signifikan. Inisiatif pembentukan parlok di Aceh awalnya mencapai angka 15 – 20 buah, yang kemudian 14 parlok dinyatakan lulus pada pengujian Depkum HAM. Kemudian melalui proses verifikasi faktual sesuai dengan aturan perundang-undangan Komisi Independen Pemilihan (KIP), menetapkan hanya 6 parlok yang memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu 2009, yaitu Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh (PA), Partai Aceh Aman Sejahterah (PAAS), Partai Suara Independent Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Aceh (PBA), dan Partai Daulat Aceh (PDA). Seluruh partai ini ditetapkan melakukan pengambilan nomor urut di kantor KIP Aceh. Nomor urut sebagai peserta pemilu dimulai dari urutan sesudah No. 34 atau setelah nomr urut terakhir parnas yang menjadi peserta pemilu –sebelum ada perubahan sesuai kebijakan MK).
Pembentukan parlok adalah juga bagian dari proses reintegrasi di Aceh, tepatnya reintegrasi politik. Reintegrasi tidak boleh hanya difokuskan pada dimensi ekonomi saja, tetapi harus juga bisa memasuki ranah politik, sosial dan budaya[1]. Parlok harus bisa mentransformasikan sistem dan budaya politik mainstream ke dalam sistem dan budaya politik ke-Acehan yang lebih berperspektif damai berkelanjutan. Proses reintegrasi politik di Aceh pasca penandatanganan perjanjian damai sebenarnya sudah diawali dengan perubahan struktur GAM menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA) sebagai tahapan trasformasi kelompok militer menjadi masyarakat sipil, kemudian diikuti oleh agenda pilkada dengan diakomodasinya kontestan calon independen yang relatif menang di provinsi dan beerapa kabupaten/kota), Fakta transformasi politik berikutnya adalah pembentukan dan kebolehan partai porlok untuk berkompetisi pada pemilu 2009 nanti.
Katahati Institute menilai bahwa proses politik yang sedang berjalan di Aceh secara umum bukan atau digerakan oleh masyarakat grass root, melainkan klaim elit-elit Aceh sendiri, ”Saya didukung maju menjadi anggota dewan karena keinginan dari rakyat,” begitulah salah alasan dari para politisi maju ke panggung politik.
Hasil penelitian selengkapnya silahkan kirim pesan ke email JSI.
Average Rating