Akhir Polemik Bendera
AKHIR pemberlakuan bendera bagi Provinsi Aceh belum tertulis dalam skrip “drama politik” Aceh. Tersirat wacana 15 Agustus 2013 berkibar kembali. Aktor dari drama politik sudah mulai bertingkah laku layaknya publik figur yang mencari reaksioner masyarakat Aceh. Walaupun drama politik bendera tidaklah berskenario yang tersusun rapi. Ia dipengaruh atas tiga asas: Pertama, kepentingan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh; Kedua, mandat berdasarkan perjanjian dan aturan hukum, dan; Ketiga, dimensi kearifan lokal.
Ketertarikan saya hanya pada kepentingan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi Aceh. Pola strategi kepentingan didudukan pada logika politik berbasiskan rational choice yang mudah diprediksi atas dasar pertimbangan tersebut, yang berujung penyelesaian masalah bendera dengan pendekatan menguntungkan kedua belah pihak (win-win solution).
Jika ditemukan win-win solution, maka masalah bendera terus digantung penyelesaiannya. Tentunya dilakukan pendekatan komunikasi politik sebagai pilar utama membuat akhir yang indah. Namun, road map pertemuan sudah dilakukan lima kali yang dimulai di Batam (Kepulauan Riau), Makassar (Sulawesi Selatan), Bogor (Jawa Barat), Jakarta, dan kembali ke Aceh lagi.
Tidak dijalankan
Pertemuan itu telah menelan anggaran yang relatif besar. Hasil pengamatan saya, keputusan cooling down dan hasil kesepakatan dari pertemuan di kelima tempat tersebut tidak dijalankan, baik oleh Pemerintah Pusat maupun oleh Pemerintah Aceh sendiri. Sehingga polemik bendera berjalan di tempat tanpa ada kemajuan yang signifikan. Kecenderungannya hanya bermain di tataran permukaan tanpa menyentuh hal yang lebih substantif.
Bilamana hal itu terjadi, makin jauh menghasilkan melodi irama yang selaras dari penerimaan kepentingan kedua belah pihak. Hal penting perlu dicatat dari serangkaian pertemuan kedua belah pihak dalam menyelesaikan masalah bendera, yaitu masih terlihat kuatnya “ego sentris” kedua belah pihak guna menunjukkan eksistensi siapa yang menang dan kalah.
Padahal, landasan utamanya adalah membuat keadaan damai sehingga rakyat bisa mencari nafkah, anak-anak Aceh bisa bersekolah, pembangunan bisa berkembang, dan sebagainya. Seharusnya pondasi keseluruhan itu disadarkan oleh kedua belah pihak, baik dari Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Aceh sendiri.
Faktanya malah melemahkan fungsi esensi melayani masyarakat dari segi hak-hak dasarnya, yaitu kesejahteraan, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Lebih prioritas fungsi melayani dari pada terjebak pada urusan simbol yang belum tentu menjadi kebutuhan masyarakat Aceh secara holistik. Saya sepakat bahwa bendera menjadi sebuah kebutuhan, akan tetapi tidak harus diprioritaskan dalam kebijakan Pemerintah Aceh.
Kembali menganalisis kepentingan kedua belah pihak. Pintu masuknya saling mempertahankan posisi bargaining Pemerintah Aceh dan Pemerintah Pusat. Bagi saya kepentingan utama Pemerintah Pusat agar menjaga stabilitas politik, keamanan, dan sosial. Bagi Pemerintah Aceh sebagai tanggung jawab mewujudkan mandat yang tertera pada perjanjian MoU Helsinki dan UU No.11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Kalau ditarik lebih jauh lagi, kepentingan dari Provinsi Aceh agar Peraturan Pemerintah (PP) turunan dari UUPA bisa diselesaikan oleh Pemerintah Pusat. Kepentingan secara politik lebih mencuat meningkatkan popularitas dan akseptabilitas Partai Aceh. Kepentingan sosial sebagai ajang konsolidasi seluruh masyarakat Aceh. Kepentingan ekonomi agar direalisasikan anggaran yang masih dibintangi oleh Kementerian Keuangan, dimana masih tidak sesuai dengan aturan hukum pengalokasian anggaran.
Bagi kepentingan Pemerintah Pusat sederhana saja, di mana bendera harus mengikuti ketentuan hukum ataupun aturan yang berlaku dalam pembuatannya di Indonesia. Jika tidak, Pemerintah Pusat memiliki “kartu As”, yaitu tidak akan merealisasikan kepentingan Pemerintah Aceh yang telah diprediksikan di atas. Masih ada celah Pemerintah Pusat akan mencoba meninjau kembali usulan pembentukan Provinsi Leuser Antara (ALA) dan Provinsi Aceh Barat Selatan (ABAS).
Membangun karakter
Aceh saat ini memerlukan penyatuan melalui bendera yang kehadirannya mampu menciptakan keharmonisasian dan mampu membangun karakter identitas secara simbol. Aceh saat ini membutuhkan pihak-pihak yang peduli mengurus secara serius masyarakat Aceh, bukan malahan mengatasnamakan masyarakat Aceh untuk kepentingan tertentu. Aceh memerlukan pemimpin yang bijak dalam memperhatikan keinginan masyarakat dengan merajut seluruh keinginan lintas masyarakat Aceh.
Intinya; Mari menyelesaikan masalah bendera dengan hati nurani, kepedulian, komitmen melaksanakan kesepakatan, dan prioritas merealisasikan kebutuhan dasar masyarakat Aceh! Empat kata kunci itu menjadi solusi mengatasi kebuntuan penyelesaian polemik bendera. Sekarang tergantung dari mereka yang mengaku pelayan masyarakat Aceh.
Average Rating