Laporan CRCS: Alternatif Penanganan Masalah Penodaan Agama

Read Time:2 Minute, 14 Second

QR-2-1024x546
CRCS UGM – 26 Januari 2018
Istilah “penodaan agama” telah menjadi bagian dari kosa kata hukum Indonesia sejak 1965, dengan sebutan Penetapan Presiden (PNPS) No. 1 pada 1965, yang kemudian menjadi UU Pencegahan Penyamaan dan / atau Penodaan Agama, dan Pasal 156A KUHP. Belakangan ini, kasus khusus yang menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, istilah itu, atau “penistaan ​​agama”, menjadi lebih populer dalam kasus sehari-hari.
Tapi kasus yang sempurna itu tidak unik. Ia hanya satu dari ras kasus lain. Pada tahun 2017 saja, ada ada empat kasus penodaan agama yang lain yang masuk ke pengadilan (eks-Gafatar / Millah Abraham di Jakarta, Meliana di Tanjung Balai, dr. Otto Rajasa di Balikpapan dan Aking Saputra di Karawang) dan dua yang berbicara tetapi tidak berkelanjutan (Rizieq Shihab dan Munarman). Secara umum, UU ini menghasilkan revitalisasi setelah Reformasi 1998.
Kritik atas kedua legislasi yang terkait sangat sering dilakukan oleh lembaga-lembaga di dalam maupun luar negeri. Agak tak biasa, Mahkamah Konstitusi sudah tiga kali mengujinya (2009-2010, 2013 dan 2017-2018). Namun Pemerintah sendiri masih mendukungnya, karena legislasi ini perlu untuk menjaga kerukunan orang beragama.
Sekali lagi disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, jika undang-undang ini dihapuskan, masalah penodaan agama tidak bisa lagi, dan masyarakat dapat utama hakim sendiri. Namun apakah itu hanya satu-satunya kemungkinan? Sesungguhnya masa awal awalnya (2014), Menag tampak telah masalah problematis dan membuka peluang bagi pihak-pihak yang tidak bersepakat untuk “secara proaktif ajektif perbaikan.”
Merespons peluang untuk perbaikan itu, Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS) UGM dan Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina menerbitan laporan di bawah ini. Laporan ini menunjukkan bahwa legislasi itu tidak mendukung upaya kerukunan, dan ada cara-cara lain yang dapat diupayakan untuk mengatasi “penodaan agama”. PERBEDAAN UU yang masih bertahan, yang akan digunakan untuk legislasi yang berbeda, beberapa model yang dapat digunakan secara bersama-sama, baik melalui jalur hukum maupun non-hukum.
Laporan ini ditulis oleh Zainal Abidin Bagir, dosen CRCS UGM, yang telah mempublikasi banyak tulisan tentang isu-isu keragaman agama, kebebasan beragama, dan lebih spesifik, penodaan agama. Di antara tulisannya adalah “Politik dan Hukum Pemerintahan Beragama di Indonesia” (yang pada Januari 2018 baru diterbitkan dalam Robert W. Hefner [ed.] Rekan Routing untuk Indonesia Kontemporer), “Advokasi untuk Kebebasan Beragama dalam Demokratisasi Indonesia” (Review dari Iman dan Hubungan Internasional, 2014), “Memerangi Resolusi Intoleransi dan Prospek untuk Merevisi Pencemaran Nama Agama”, Penelitian Hak Asasi Manusia 9: 9 (2014), dan tahun lalu, bersama Ihsan Ali-Fauzi dan Irsyad Rafsadi, menyunting Kebebasan, Toleransi dan Terorisme: Riset dan kebijakan Agama di Indonesia (PUSAD Paramadina, 2017).
Laporan berjudul Kerukunan dan Penodaan Agama: Alternatif Penanganan Masalah itu dapat diunduh gratis di bawah ini.
pdf
Laporan CRCS – Kerukunan dan Penodaan Agama: Alternatif Penanganan Masalah

About Post Author

Rizal

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply