Kartu Kuning BPS dan Demand-Constraint

Read Time:3 Minute, 29 Second

“Kebijakan fiskal itu seperti mengambil turun senapan tua kakek dari loteng, tempat kita menguncinya untuk menghentikan ‘anak-anak’ bermain dengannya.” (Nick Rowe, Carleton University)

BADAN Pusat Statistik (BPS) tentu tidak mengeluarkan kartu kuning untuk Presiden Joko Widodo, atau secara khusus kepada para menteri ekonomi, seperti yang tempo hari dilakukan mahasiswa bernama Zaadit Taqwa yang katanya mau dikirim ke Asmat lalu dikuliahi Pengantar Ilmu Ekonomi Makro.
Tapi pesan yang dihadirkan BPS saat menyampaikan statistik pertumbuhan ekonomi kuartalan awal pekan ini jelas layak disebut ‘kartu kuning’, yaitu bahwa pertumbuhan konsumsi rumah tangga tahun 2017 adalah yang terendah dalam 5 tahun—meski laju setoran PPN katanya tembus rekor 16%.
Kita tahu menerima kritik dan peringatan yang segawat itu tak akan senikmat menerima pujian dan rayuan. Apalagi menyangkut kinerja, dalam circumstances tahun politik pula. Rasanya, hanya mereka yang sudah yakin dengan kekuasaannya-lah yang sanggup menerimanya dengan riang dan lapang dada.
Mungkin itu pula sebabnya, kita tidak melihat ada strategi makro dan policy respons yang lugas, jelas, dan tuntas untuk menyelesaikan peringatan BPS itu. Sebaliknya, yang lebih dikembangkan adalah fakta-fakta yang menegasikannya, atau yang terparah—syak tentang kredibilitas kartu kuning itu sendiri.
Memang harus diakui dalam 3 tahun ini banyak fakta yang terlihat seperti saling menegasikan. Di satu sisi, belanja rumah tangga lesu, tapi di sisi lain inflasi melaju pada gigi rendah dengan inflasi inti yang terus memperbarui rekor rendahnya sendiri sejak BPS mulai menghitungnya 15 tahun silam.
Orang yang punya uang sekonyong-konyong juga lebih suka menabung di bank, padahal tidak ada Gerakan Menabung Nasional dan suku bunga deposito terus turun mengikuti suku bunga kredit yang juga turun, dan tak berapa lama lagi data tabungan sudah akan berada di tangan Ditjen Pajak.
Di sisi lain, kinerja ekspor dan investasi mulai pulih, harga komoditas dan perekonomian global juga membaik, hingga likuiditas dalam dan luar negeri tumbuh tanpa gejolak berarti. Tapi pada saat yang sama pertumbuhan kredit bank ternyata masih nyungsep di bawah 10% dari yang beberapa tahun lalu di atas 20%.
Daftar fakta yang seperti bertolak belakang ini masih panjang. Di ujung sana, ahli ramalan bintang yang biasa menulis “Saatnya buka toko” ketika bunga kredit turun kecele. Pejabat yang biasa tampil meyakinkan tiba-tiba mengaku ada anomali, misteri di luar logika. Apa sih yang sebenarnya terjadi?
Mungkin semua fakta itu tampak berlawanan karena dilihat dari perspektif dan konteks yang berbeda, bukan karena ia memang saling menegasikan. Simpulannya mungkin akan lain jika fakta-fakta tersebut tidak dilihat dari perspektif situasi makro 2006-2012 saat laju perekonomian dan konsumsi rumah tangga berikut inflasi dan suku bunga bertengger tinggi, tetapi dari kacamata ekonomi hari ini.
Fenomena pertumbuhan rendah dengan inflasi dan suku bunga rendah mungkin memang baru kali ini terjadi di Indonesia, tapi tentu tidak di negara lain. Jepang misalnya. Dalam kurun waktu cukup lama, Jepang juga mengalami hal yang sama, Begitu pula dengan China sekarang. Lalu, apa yang berlawanan?
Semua fakta yang seolah saling berlawanan itu tidak lain merefleksikan fenomena ekonomi demand-constraint, di mana level output dan ketersediaan lapangan kerja dibatasi oleh jumlah permintaan, bukan oleh ketersediaan tenaga kerja dan sumberdaya produktif lainnya (supply-constraint).
Dengan kata lain, jika makroekonomi kita periode sebelumnya terpapar konstrain penawaran, kini paparan itu mulai bergeser menjadi konstrain permintaan. Implikasinya, perspektif ekonomi periode yang lalu tidak lagi relevan untuk memotret situasi hari ini, begitupun opsi strategi makro dan respons kebijakannya.
Membangun infrastruktur, tol laut, pembangkit, kartu sehat, semua itu adalah contoh supply policy respons. Menambah subsidi listrik, BBM, program keluarga harapan, bantuan langsung tunai, proyek padat karya, termasuk kelonggaran untuk korupsi, semua itu demand policy respons.
Benar bahwa sisi suplai kita masih ada masalah. Tapi sudah tentu supply policy respons tidak akan bisa bekerja optimal dalam ekonomi yang didominasi demand-constraint. Begitu pula sebaliknya. Opsi mixed policy tentu layak dikaji, tetapi tidak sampai membolak-balik konstrain dan policy respons seperti yang sudah terjadi.
Lalu, apakah kita harus melihat BPS merilis peringatan lagi? Apa Zaadit perlu mengeluarkan kartu kuningnya lagi? Tentu kita berharap tidak. Tapi kalau iya, mungkin baik Zaadit mengajak banyak temannya, dan ramai-ramai menunjukkan kartunya saat Presiden membuka seminar tentang pengelolaan haji, bukan seminar gizi buruk. Niscaya mereka semua akan dikirim naik haji.*
Sumber: news.ddtc.co.id

About Post Author

Rizal

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply