Prabowo Kian Loyo
Hasil survei SMRC, CSIS, Median dan KedaiKopi menunjukkan elektabilitas Prabowo Subianto kian tertinggal dari Presiden Joko Widodo (Jokowi). Bahkan, Prabowo sendiri belum mengutarakan apakah ia akan maju lagi atau tidak pada Pilpres 2019.
Di tahun 2019 nanti, Prabowo Subianto Djojohadikusumo akan berusia 67 tahun. Apakah itu usia emas untuk menjadi Presiden Indonesia? Tidak ada yang tahu pasti.
Ronald Reagan terpilih menjadi presiden Amerika Serikat saat berusia 69 tahun. Hillary Clinton ikut kontestasi politik yang sama beberapa waktu lalu saat berusia 69 tahun. Sementara, Donald Trump yang menduduki Gedung Putih saat ini berusia 70 tahun saat memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres).
Persoalannya bukan pada berapa usia Prabowo nanti, tetapi apakah passion untuk menjadi pemimpin negara ini masih menggebu-gebu, sedahsyat pidato kampanye dengan microphone berkepala 4 ala Soekarno pada Pilpres 2014 lalu? Atau jangan-jangan, semangat itu telah hilang?
Walaupun masih 2 tahun sebelum Pilpres, Prabowo selayaknya berhitung langkah politik apa yang sebaiknya diambil sejak saat ini. Selain itu, Prabowo sangat jarang memberikan kritik terbuka terhadap pemerintahan Jokowi – hal yang sangat disayangkan dari seorang pemimpin oposisi.
Kali terakhir saat ia muncul di hadapan publik dalam Aksi Bela Rohingya, Parabowo justru tampil kontra-produktif lewat pernyataan yang menyebut aksi pemerintah Jokowi membantu masyarakat Rohingya sebagai ‘pencitraan’. Akibatnya, ketika berbagai hasil survei menempatkannya tertinggal dari Jokowi, publik bertanya-tanya: apakah ini berarti Prabowo sudah kehilangan greget untuk maju pada pilpres 2019?
Pasang Surut Prabowo di 2017
Jangankan Prabowo, siapa pun tokoh politiknya pasti akan keteteran berhadapan dengan popularitas Jokowi. Selain karena keuntungan posisinya yang saat ini menjabat sebagai presiden berkuasa, Jokowi juga sangat populer di kalangan masyarakat.
Program-program pembangunan dan pemerataan kesejahteraan Jokowi juga disambut positif oleh masyarakat. Hal ini terlihat dari tingkat kepuasan masyarakat yang hampir di semua survei berada di atas 50 persen – walaupun dari sisi ekonomi, pemerintahan Jokowi juga masih belepotan defisit, utang dan pelemahan daya beli masyarakat.
Saking kuatnya Jokowi, isu calon tunggal pada 2019 sempat muncul pada pertengahan tahun ini, menyusul pengesahan UU Pemilu. Sementara itu, Prabowo semakin jarang melontarkan kritik terbuka kepada Jokowi. Padahal, kritik adalah tool politik yang sangat penting bagi kelompok oposisi.
Apa yang terjadi di pertengahan tahun sesungguhnya bertolak belakang dengan kondisi di awal tahun 2017. Saat itu, situasi politik tengah panas akibat pertarungan di Pilkada Jakarta, dan Prabowo lewat pasangan Anies-Sandi yang ia dukung berhasil mengambil simpati politik para pemilih, khususnya pemilih muslim. Saat itu, Prabowo dianggap sebagai sosok paling kuat untuk memenangkan Pilpres 2019. Bahkan, para pendukungnya telah sesumbar memenangkan Pilpres 2019.
Kekuatan politik Prabowo memang meningkat pasca aksi 411 dan 212. Apalagi, penggerak aksi tersebut adalah kelompok Islam pendukung Prabowo. Beberapa lembaga seperti Nurjaman Center for Indonesian Democracy (NCID) menyebut elektabilitas Prabowo bahkan lebih tinggi dari Jokowi saat itu.
Oleh karena itu, kemenangan Anies-Sandi pada Pilgub DKI Jakarta merupakan kemenangan Prabowo – bahkan dalam konteks politik secara nasional. Sentralnya posisi Jakarta menyebabkan apa yang terjadi di ibukota berdampak secara nasional terhadap kekuatan politik Prabowo.
Berebut Basis Pemilih Islam
Namun, pasca Pilkada Jakarta, kondisi politik nasional berbalik arah. Lahirnya Perppu Ormas dan disahkannya UU Pemilu merupakan dua instrumen penting yang menandai perubahan peta politik nasional. Jokowi tahu betul langkah politik apa yang harus ia gunakan untuk mencegah semakin besarnya elektabilitas Prabowo, seiring munculnya indikasi jalan politik melawan Ahok akan dipakai juga untuk menyerang Jokowi.
Akhirnya, publik menjadi lebih sering disuguhi aksi-aksi Jokowi dengan segala program pembangunannya, kunjungan-kunjungannya, hingga tetek bengek bagi-bagi sepeda. Sementara itu, Prabowo tidak bisa berbuat apa-apa menghadapi serangan balik tersebut. Ormas Islam pendukungnya seperti HTI dan FPI terancam dibubarkan. Tokoh pendukung Prabowo seperti Rizieq Shihab pun sampai harus melarikan diri dari Indonesia.
Maka, tidak heran jika lembaga-lembaga survei menampilkan hasil elektabilitas Prabowo yang kian loyo. Apalagi, Prabowo juga belum menyatakan diri akan maju lagi atau tidak pada Pilpres 2019. Bandingkan dengan Jokowi yang sudah mewanti-wanti tahun 2018 dan 2019 sebagai tahun politik. Jokowi bahkan telah merapatkan barisan relawannya dan mempersiapkan pencalonan untuk periode selanjutnya.
Posisi Prabowo yang kian loyo ini bertambah buruk dengan munculnya tokoh-tokoh potensial lain yang berpeluang menjadi penantang serius di 2019. Panglima TNI, Jenderal Gatot Nurmantyo adalah salah satunya. Bahkan, peneliti politik LIMA, Ray Rangkuti menyebut Gatot sebagai tokoh yang berpeluang merebut basis pemilih Prabowo. Gatot adalah seorang jenderal militer yang sebentar lagi pensiun. Ia juga dekat dengan kelompok pemilih dari kalangan muslim yang selama ini mendukung Prabowo.
Partai seperti PKS misalnya terlihat mendukung aksi-aksi Gatot. Padahal, PKS adalah sekutu utama Gerindra. Jika tidak mengambil langkah politik yang tepat, boleh jadi suara Prabowo akan berpindah ke Gatot. Rebutan suara pemilih muslim ini juga makin panas setelah Jokowi juga belakangan semakin giat menyambangi basis-basis umat muslim, misalnya dengan berkunjung ke pesantren-pesantren.
Modal Pilpres 2019
Salah satu alasan Prabowo terlihat kehilangan greget politik, antara lain karena konsolidasi massa berbasis Islam yang telah ditekan oleh pemerintah lewat Perppu Ormas dan beberapa kasus hukum lain yang menimpa pemimpin-pemimpinnya. Bukan rahasia lagi bahwa salah satu kekuatan politik Prabowo sangat bergantung pada massa berbasis Islam garis keras, misalnya melalui FPI dan HTI.
Koalisi dengan PKS yang merupakan senjata andalan Prabowo juga nyatanya sulit mengulang sukses Pilgub Jakarta. Tidak ada basis isu yang bisa menyatukan pemilih Islam, katakanlah seperti kasus penodaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Munculnya isu PKI juga dianggap sebagai jalan untuk menggalang dukungan politik, namun isu ini tidak sekuat penodaan agama. Akibatnya, sebagai oposisi, Prabowo tidak punya instrumen politik untuk meningkatkan elektabilitasnya.
Selain itu, muncul selentingan bahwa hal lain yang mungkin menjadi penyebab loyonya Prabowo adalah dari sisi pemodalan. Kemungkinan besar, Prabowo sedang mengalami kesulitan finansial politik – atau menyimpannya untuk waktu yang lebih tepat, katakanlah setahun atau beberapa bulan sebelum pilpres.
Namun, jika serius ingin maju, dua tahun persiapan adalah hal yang sangat penting. Tanpa basis isu, dukungan finansial adalah salah satu cara ‘mengiklankan diri’. Walaupun kaya dan punya kuda yang gagah dan mahal, Prabowo tidak punya instrumen politik – katakanlah seperti Hary Tanoe dengan kerajaan medianya – yang bisa dipakai untuk mengiklankan diri.
Beberapa pihak juga menyebut dukungan dari penyokong dana Prabowo, misalnya dari adiknya Hashim Djojohadikusumo, boleh jadi sedang berkurang. PT Kertas Nusantara milik Hashim misalnya sedang mengalami persoalan akibat gaji karyawan yang belum dibayarkan. Menurut situs Bloomberg.com Hashim tercatat sebagai pemilik perusahaan ini.
Hashim juga tercatat sebagai pemilik dan petinggi di beberapa perusahan minyak dunia dan tentu saja terdampak krisis yang diakibatkan oleh penurunan harga emas hitam ini. Oleh karena itu, sangat mungkin kondisi keuangan ini memaksa Hashim mengurangi pendanaan untuk Prabowo – apalagi jika memperhitungkan jangka waktu dua tahun sebelum Pilpres yang belum begitu mendesak.
Selain itu, persoalan pendanaan ini juga tidak lepas dari pribadi Prabowo yang dikenal sebagai pemimpin yang menjaga citra anti korupsi. Jika ada kader yang korup, maka yang bersangkutan langsung dicopot dari partai. Hal ini menyebabkan Gerindra sulit mendapatkan dana dari sumber-sumber ‘tertentu’ – katakanlah jika dibandingkan dengan partai lain.
Prabowo juga dikenal tidak begitu dekat dengan pengusaha karena rekam jejaknya di sekitaran tahun 1998 yang masih menimbulkan tanda tanya bagi banyak pihak. Alasan finansial juga menjadi hal yang masuk akal jika melihat ribut-ribut di seputaran pencalonan Deddy Mizwar pada Pilgub Jabwa Barat – tokoh yang merupakan pilihan Prabowo, namun ditentang oleh pengurus Gerindra Jawa Barat.
Semua persoalan ini tentu harus menjadi catatan penting bagi Prabowo jika tetap berniat maju pada Pilpres 2019. Jokowi sebagai petahana dengan popularitas yang tinggi saja sudah mengambil ancang-ancang, seharusnya Prabowo melakukan lebih daripada yang dilakukan Jokowi – tentu saja jika ia memang benar masih berambisi menjadi presiden.
Prabowo juga harus memutar otak untuk menentukan strategi politik yang paling tepat dalam rangka membendung Jokowi. Persoalan ekonomi bisa menjadi alat yang sangat strategis untuk menekan Jokowi.
Oleh karena itu, mungkin Prabowo harus bersuara lebih keras lagi. Kritik di bidang ekonomi sangat mungkin menjadi senjata sekaligus alat untuk meningkatkan elektabilitasnya karena masyarakat boleh saling sikut tentang agama atau ideologi, tetapi soalan perut tetaplah nomor satu.
Sumber: pinterpolitik.com
Average Rating