Survei SMRC: Mayoritas Masyarakat Indonesia Tolak ISIS dan HTI
(Beritasatu.com) Hasil survei lembaga Saiful Mujani Research dan Consulting (SMRC) mengungkapkan bahwa mayoritas penduduk Indonesia tidak setuju dengan keberadaan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) maupun Hizbut Tahrir (HTI) di Indonesia. Survei ini dilakukan terhadap 1.500 responden yang dipilih secara random dengan cara multistage random sampling.
Survei dilakukan pada WNI yang berumur 17 tahun atau sudah menikah. Margin of error pada penelitan tersebut sebesar 2,7 persen pada tingkat kepercayaan 95 persen. Survei dilakukan pada 14-20 Mei 2017.
“Hasil survei kami menemukan bahwa 9 dari 10 (89,3 persen) rakyat Indonesia menganggap ISIS adalah ancaman pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI0 yang bersendikan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan 92,9 persen menyatakan ISIS tidak boleh hidup di Indonesia,” ujar pendiri SMRC Saiful Mujani saat rilis hasil survei bertajuk “NKRI dan ISIS, Penilaian Massa Publik Nasional” di Jalan Cisadane, Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (4/6).
Hal serupa, kata Mujani, terjadi juga pada HTI yang juga memiliki gagasan dan perjuangan pendirian khilafah. Tidak berbeda dengan ISIS, kata dia penolakan pada organisasi ini juga sangat tinggi.
“Dari 28,2 persen warga yang tahu, 56,7 persen mengetahui HTI memperjuangkan gagasan khilafah. Sebanyak 68,8 persen warga menyatakan menolak perjuangan mereka. Sementara dari 75,4 persen yang tahu niat pemerintah membubarkan HTI, 78,4 persen menyetujuinya,” jelas dia.
Dari hasil survei tersebut juga, lanjut dia, ditemukan 62,5 persen responden sangat bangga menjadi WNI, sementara 36,5 persen cukup bangga. Sementara yang kurang bangga 0,5 persen.
Sementara saat ditanya apakah Indonesia sedang dalam ancaman, mayoritas responden berpendapat negara ini aman. Angkanya 61,8 persen menyebut negara ini aman. Hanya 14,5 persen yang mengatakan tidak aman.
“Indonesia ini aman enggak perlu cemas. Situasi ini kurang lebih baik. Yang cemas cuma kurang dari 15 persen. Itu yang mungkin sering diekspose. Opinion leader juga berpengaruh. Kecemasan bukan menolak NKRI tapi khawatir dengan Indonesia,” ujar Mujani.
Sementara itu, kata dia yang dianggap sebagai penyebab utama melemah Indonesia adalah karena adanya ancaman dari paham-paham agama tertentu (39,4 persen). Dalam jumlah yang jauh lebih rendah karena pelaksanaan negara dan elite yang hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri.
“Dalam jumlah yang lebih kecil lagi kekhawatiran itu bersumber dari ketimpangan kesejahteraan antara warga ataupun antara daerah,” ungkap dia.
Pertanyaan Survei
Survei yang menggunakan dana CSR SMRC ini bertujuan untuk merespons pertanyaan yang muncul di masyarakat terkait isu-isu fundamental negara-bangsa yang mengemuka belakangan ini, yaitu tentang apakah Indonesia dalam bentuk yang sekarang bisa bertahan?
Menurut Mujani, pertanyaan itu muncul bukan terutama karena perubahan sosial ekonomi, seperti ketimpangan pendapatan, karena hal itu bukan gejala baru, sementara kekhawatiran soal kelangsungan NKRI relatif baru. Demikian pula dengan intoleransi dan teror, hal itu juga bukan gejala baru.
Karena itu, lanjut Mujani, kemungkinan yang paling kuat menjadi penyebab menguatnya keprihatian akan kelangsungan NKRI adalah munculnya fenomena gerakan ISIS yang secara eksplisit memperjuangkan gagasan penggantian dasar dan bentuk negara.
Kekhawatiran itu, menurut Mujani, tidak berlebihan mengingat ekspose media tentang bagaimana Irak dan Suriah hancur lebur di bawah teror dan kekuasaan ISIS begitu tinggi. Pada saat yang sama, Indonesia memiliki pengalaman sejarah gerakan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih belakangan.
“Dan sekarang yang secara terang-terangan mengampanyekan cita-cita pendirian khilafah adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kecemasan itu beralasan karena ISIS seperti membangunkan “yang sedang tidur” di tanah air,” kata Mujani.
Faktor-faktor Terkait
Survei ini juga melacak faktor-faktor yang mempengaruhi sikap publik pada ISIS dan HTI. Rasa nasionalisme merupakan faktor paling penting yang memunculkan sentimen negatif warga pada ISIS, bukan sentimen terhadap demokrasi maupun kondisi sosial-ekonomi, politik, hukum, maupun keamanan.
“Berbeda dengan sikap terhadap ISIS, nasionalisme bukan faktor penting bagi simpati atau antipati pada HTI. Yang memperlemah HTI adalah komitmen pada demokrasi, dan kondisi positif di tanah air dalam ekonomi, politik, hukum, dan keamanan, serta kinerja kepemimpinan nasional. Memburuknya kondisi faktor-faktor tersebut dapat memperkuat dukungan pada HTI,” kata Mujani.
Secara politik kepartaian, kata dia, dukungan pada HTI beririsan dengan dukungan pada partai politik tertentu. Menurut dia, sikap positif pada HTI cenderung lebih banyak ditemukan pada pendukung PKS dan PPP. Secara demografis, sikap positif pada HTI dapat ditemukan lebih banyak di kalangan warga perkotaan, dan berumur lebih muda.
“Jadi, jika sikap publik diartikan sebagai sikap kebanyakan orang, maka ISIS, HTI, dan yang sejenis dengan itu adalah musuh publik Indonesia atau public enemy,” pungkas dia.
Average Rating