Probabilitas Politik Tarmizi Karim di Pilkada 2017

Read Time:4 Minute, 40 Second

Siapa pendatang baru di jajaran kandidat gubernur 2017 yang berkeinginan maju. Dialah Tarmizi Karim, pria kelahiran 24 Oktober 1956 di Lhoksukon, Aceh Utara, Pria ini dianggap kuda hitam dalam kontestasi di Pilkada 2017, selain Zaini Abdullah. Di pendidikan dirinya lulusan S-2 Manajemen Pembangunan American University Washington DC, Amerika Serikat. Rekam jejak jabatan publik pernah menjadi Bupati Aceh Utara periode 1997-2002, Kepala Bappeda Provinsi Aceh. Setelah itu menjadi Staf Ahli Mendagri bidang Ekonomi dan Keuangan. Kariernya semakin melesat, ketika menjabat pj Gubernur Kalimantan Timur (2008). Kepala Bagian Pendidikan dan Pelatihan Kementerian Dalam Negeri. Kembali lagi dipercaya menjabat pj Gubernur Aceh (2012). Pasca itu diberikan kepercayaan jabatan Pj. Gubernur Kalimantan Selatan (2015) dan saat ini menjabat Irjen Kemendagri RI.

Hitung-hitung diatas kertas modalitas dirinya”Tarmizi Karim” sudah mencukupi bertarung di Pilkada 2017. Memiliki logistik finansial memadai, tim pemenangan, berintelektual, punya jaringan, dan lain-lain. Tapi mirisnya sampai saat ini cahaya kejelasan kendaraan politiknya belum nampak. Hanya issue yang beredar dirinya di dukung Demokrat, Nasdem, dan partai lainnya. Faktanya seluruh partai yang di issukan ke dirinya tak kunjung menyatakan sikap kejelasan untuk mengusung. Ada apa ini? apa yang salah dengan Tarmizi Karim, hingga saat ini belum jelas berlabuh ke partai mana? Disinilah menarik mengupas peluang Tarmizi Karim dengan pendekatan rationale choice, tentunya masuk dalam logika politik.

Jika menggunakan teori probability politic (teori kemungkinan dalam politik), pada prinsipnya Tarmizi Karim memiliki peluang sampai saat ini, walau peluang itu semakin terlihat mengecil. Jika tinjauannya dilihat dari aspek kejelasan kendaraan politiknya. Dampak semakin mengecil peluang, dikarenakan pesaing politiknya (kandidat lainnya) sudah mulai jelas. Muzakir Manaf berpasangan T.A. Khalid di usung Partai Aceh, Gerindra, dan Partai Keadilan Sejahtera. Zakaria Saman dengan T. Alaidinsyah melalui jalur perseorangan, Zaini Abdullah mengerucut pada dua nama Nasruddin (kandidat kuat) jalur perseorangan, Irwandi Yusuf diusung oleh partainya sendiri Partai Nasional Aceh dan berpeluang diusung juga oleh Partai Demokrat. Dasarnya informasi A1 dari link pusat hasil survei menempatkan Irwandi Yusuf tinggi elektabilitasnya. Berdasarkan pengalaman Demokrat sangat konsisten mendukung seseorang dari hasil survei.

Kemana berakhir berlabu Tarmizi Karim bersama partai pengusungnya. Mau enggak mau Tarmizi Karim harus memastikan Nasdem sebagai modal awal guna mencukupi kebutuhan kursi di parlemen. Syarat regulasi jika merujuk UU No. 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sebesar 15% dari total jumlah kursi atau total akumulasi suara. Tetapi posisi secara kepartaian Nasdem dilematis, dikarenakan sudah terlebih dahulu menyatakan ke publik secara kepartaian akan mengusung kandidat dengan elektabilitas dan popularitas yang tinggi. Jika baling, maka publik menilai Nasdem tidak konsisten terhadap pernyataannya. Citra partai akan tercoreng, tetapi dalam politik kemungkinan hasil survei tidak dijadikan dasar memutuskan kebijakan mengusung bisa terjadi. Hal ini disebabkan terlalu dominan kepentingan elit di internal partai, sehingga tidak linear terhadap keinginan publik.

Dukung dulu itu, kalau Nasdem bersedia memberikan modal 8 (delapan) kursinya ke Tarmizi Karim. Ada tapinya, jikalau Zaini Djalil menjadi wakilnya. Lantas bagaimana membangun rasionalisasi untuk mencukupi kebutuhan kursi?. Partai tersisa yang besar hanya Golkar, PPP, dan PAN. Pada pilihan ketiga partai itu, hanya Golkar yang berpeluang. Dasar pertimbangannya karena PPP masih berpolemik di internal, walaupun sudah Mubes. Sedangkan PAN masih bersikap secara kepartaian mengusung Ahmad Farhan Hamid.

Pertanyaan mendasarnya adalah apakah T.M Nurlif (Ketua Golkar Aceh) merelakan dirinya tidak maju sebagai kandidat gubernur? Serta mengarahkan partainya mengusung Tarmizi Karim. Catatannya bisa didukung, jika komunikasi politik berbasis deal kepentingannya jelas ketemu pada satu titik kesepakatan. Sehingga paket Tarmizi Karim dan Zaini Djalil siap meramaikan kompetisi di Pilkada nantinya.

Logika politik itu semua bisa pupus bin bubar, manakala DPP Nasdem memutuskan berbeda dari keinginan di level DPW/DPD Nasdem. Informasi berkembang dilevel DPP Nasdem berkeinginan mendukung Irwandi Yusuf. Alasan di lingkaran DPP Nasdem berpegangan pada hasil survei, dimana menunjukan elektabilitas Irwandi Yusuf teratas.

Kondisi tersebut di analogikan Tarmizi Karim di persimpangan jalan, dimana kendaraan bus umum tidak ada kursi, sehingga harus naik mobil pribadi (jalur perseorangan). Lagi-lagi dihadapi pilihan buruk dan semakin kritis.

Diumpamakan dirinya”Tarmizi Karim” maju melalui jalur perseorangan, maka berpotensi tim pemenangan akan balik kanan untuk sebagian. Dalam benak mereka sudah menganggap Tarmizi Karim akan di dukung partai pengusung. Jangan heran berpotensi tidak maju pada Pilkada 2017. Bagi tim yang masih loyal akan tetap mendukung, ketika takdir berkata Tarmizi Karim maju dengan jalur perseorangan. Otomatis kerja berat sekali mengumpulkan KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan bersaing sesama kandidat lainnya dari jalur perseorangan, seperti Zaini Abdullah dan Zakaria Saman.

Itu baru di analisis dari sisi kendaraan politik, bagaimana dikaji dari elektabilitas dan popularitas Tarmizi Karim. Sebagai pendatang baru diperpolitikan Aceh, kita harus patut acungkan jempol. Karena bisa menempatkan dirinya memiliki elektabilitas yang lumayan diperhitungkan pesaingnya. Bilamana berbasiskan hasil survei berbagai lembaga survei dari partai politik dan lembaga survei di eksternal. Hanya saja kalau ingin menjadi pemenang dan mengalahkan Irwandi Yusuf dan Muzakir Manaf yang memiliki elektabilitas yang tinggi, maka Tarmizi Karim dan tim pemenangannya harus berjibaku (ekstra keras) bekerja. Ibarat mobil harus double engine dan turbo. Sangat sulit mengalahkan keduanya. Belum lagi menghadapi kandidat lain (Zaini Abdullah, Zakaria Saman, dan lain-lain) yang tidak bisa dianggap sebelah mata.

Tapi situasi politik di Aceh sangat dinamis untuk mengubah keadaan sehingga membuat posisi Tarmizi Karim berubah 1800. Keanomalian dalam politik di Aceh terkadang sulit di prediksikan dengan turbelensi politik yang kuat. Tapi kita bisa pelajari dari gerakan perilaku aktor politik yang terhidden (tersembunyi) dan nyata di publik berbasiskan informasi dan data. Caranya kuasai jaringan informasi dan data dari berbagai institusi, media, dan lain-lain. Akan tetapi harus ada filterisasi/validasi data dan informasi barulah dapat digunakan menganalisis dinamika politik lokal Aceh di momentum Pilkada 2017.

Aryos Nivada
Pengamat Politik dan Keamanan Aceh

(Tulisan ini juga telah dimuat di media online AcehTrend tanggal 9/6/2016)

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply