Prediksi Peluang Mualem di Pilkada 2017
Tahun memilih pemimpin baru melalui Pilkada 2017 akan segera berlangsung, banyak bermunculan para kandidat yang berkeinginan maju menjadi orang nomor satu di Aceh. Terhitung ada delapan calon yang berkeinginan maju yaitu Ahmad Farhan Hamid, Abdullah Puteh, Irwandi Yusuf, Muzakir Manaf, Tarmizi Karim, T.M. Nurlif, Zaini Abdullah, dan Zakaria Saman. Mereka semua belum sah dinyatakan bakal calon oleh Komisi Independent Pemilihan Aceh. Bagi saya menarik ingin fokus pada menganalisis satu sosok yang sangat diperhitungkan oleh para kandidat lainnya yakni Muzakir Manaf. Bagaimana tidak? Dalam analisis SWOT, khususnya untuk kekuatan (strengths) yang Jaringan Survei Inisiatif identifikasikan memiliki modalitas yang kuat.
Dimulai sebagai co-incumbent (status wagub Aceh), Ketua Partai Aceh, sumber finansial, Ormas Komite Peralihan Aceh (KPA), sayap pemenangan (Rakan Mualem), underbow Partai Aceh (Putroe Aceh, Pemuda Partai Aceh), di dukung parnas Gerindra, dan lain-lain. Tetapi dalam politik belum menjamin dirinya dengan segala modalitas mampu mengantarkan dirinya menang pada Pilkada 2017. Atau sebaliknya bisa mengantarkan Mualem menjadi gubernur Aceh dengan stretegi politik yang jitu. Disinilah menarik menganalisis, jika Mualem kalah pada Pilkada 2017 nantinya. Ini hanyalah sebuah prediksi dalam hasil amatan. Karena berlaku dalam teori elit, bahwa kekuasaan tidak selalu bertahan selamanya, karena akan mengalami metamorfosis atau bertransformasi ke rezim kekuasaan yang baru dengan menghadirkan elit baru.
Paska damai kekuatan kader Partai Aceh di tidak bisa dianggap remeh, karena di Pileg tahun 2009 memperoleh 33 kursi dari 64 kursi yang tersedia di DPRA (parlemen Aceh). Pada periode Pileg kedua sedikit mengalami penurunan menjadi 29 kursi dari 81 kursi di parlemen. Jumlah kursi yang masih dominan dibandingkan partai nasional maupun lokal lainnya, dimana mampu mengantarkan Muzakir Manaf satu-satunya kandidat yang mencukupi syarat secara administrasi dalam ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Syarat mewajibkan sebesar 15% dari total jumlag kursi di parlemen, kalau menggunakan UU No. 11 tahun tentang Pemerintah Aceh atau 20% jika merujuk pada UU No. 08 tahun 2015 tentang Pilkada.
Hanya saja, berbanding terbalik ketika membaca peluang Muzakir Manaf di Pilkada 2017 nantinya. Tinjaunnya dilihat pada elektabilitas dirinya di mata pemilih (masyarakat) Aceh. Hasil berbagai lembaga survei baik lokal maupun nasional menempatkan Muzakir Manaf tidak unggul dibandingkan dengan kandidat lainnya. Jauh tertinggal dari Irwandi Yusuf manta gubernur Aceh periode 2006-2012, malahan posisi Tarmizi Karim digadang-gadangkan mampu menyalip Muzakir Manaf. apakah Ini berarti pengaruh ketokohan (personal) Mualem sudah mulai tergerus? bahasa lainnya “Mualem Effect” terlihat menunjukan gejala meredup. Tentunya memunculkan pertanyaan mendasar apa yang melatarbelakangi? Ada beberapa faktor janji politik yang tidak mampu direalisasikan, kinerja pemerintahan bersama pasangannya Zaini Abdullah tidak memberikan perubahan siginifikan bagi kehidupan masyarakat, tidak menjaga konsistuen sibuk urusan regulasi atau peraturan, perpecahan di internal PA, dan lain-lain.
Mirisnya lagi terjadinya gesekan berujung perbedaan dukungan terlihat di level kabupaten/kota dalam hal pengusungan kader PA di Pilkada 2017 sebagai bupati/walikota, seperti; Bireun, Abdya, Pidie, Aceh Selatan, Sabang, dll. Hal itu mengakibatkan menimbulkan friksi dalam upaya mendukung Mualem sebagai gubernur Aceh periode 2017-2022. Pemikiran itu secara rational choice berpeluang terjadi. Yang menimbulkan tanda tanya besar bagi publik, meskipun fakta dilapangan friksi itu tampak secara vulgar di lapangan namun di internal PA sendiri mengatakan bahwa mereka masih solid.
Peluang yang memperbesar kekalahan Mualem terletak di pemilihan wakilnya. Bilamana salah pilih wakilnya, maka berdampak pada kekalahan. Rumus baku politik mengatakan memilih wakil harus mendongkrak elektabilitas paket keduanya, bahasa lainya menambah pundi-pundi suara bagi pasangan Mualem dengan wakilnya. Faktanya, saat ini saya mengibaratkan Mualem sedang makan buah simalakama (mundur kena maju kena). Penyebabnya dikarenakan Mualem sebelumnya sudah mengumumkan ke publik, bahwa wakilnya dari kalangan partai nasional. Tapi magnet politik di internal Partai Aceh berkehendak lain, karena inginnya tetap mengambil kader sendiri diduetkan dengan Mualem. Memang sih banyak diskusi berbagai narasumber mengatakan sosok Mualem masih dianggap berpeluang menang di Pilkada 2017. Malahan ada slogan ‘dipasangkan dengan siapa pun Mualem pasti menang’. Klaim dalam politik sah-sah saja, walau hasilnya sangat ditentukan dinamika politik yang berkembang. Tidak tertutup kemungkinan klaim itu gugur pada saat rakyat Aceh berkehendak memilih yang lain di Pilkada serentak di bulan Febuari 2017 nantinya.
Dampak terlalu kuat turbulensi yang terjadi di internal PA terkait pemilihan pendamping Mualem di Pilkada 2017 memunculnya banyak blok. Pengamatan saya ada 4 blok terdiri dari; blok pertama kalangan partai yang tergabung di dalam Koalisi Aceh Bermartabat, blok kedua pendukung T.A. Khalid yang berkeinginan menjadikan wakilnya Mualem, blok ketiga kalangan internal Partai Aceh sendiri yang berhasrat mengusung dari kalangan kader sendiri, dan blok terakhir kuda hitam untuk dipasangkan dengan mualem yaitu Amir Faisal.
Terlihat sekali pada saat pelaksanaan Musyawarah Partai Aceh Bansigom Aceh Tahun 2016 yang digelar di Hotel Grand Aceh pada Minggu 10 April 2016 berakhir ricuh. Dimana terasa nuansa tarik menarik kepentingan untuk memasangkan jagoannya menjadi wakilnya Mualem. Ada ketakutan jika bukan dari kader Partai Aceh maka soliditas mendukung Mualem akan terpecah dengan mendukung kandidat gubernur lain. Disebabkan ketakutan “paranoid”, bahwa akan berefek hingga ke level kabupaten/kota. Faktanya hasil dari Pilkada 2012 kader PA mendominasi menjabat sebagai bupati/walikota di 11 kabupaten/kota di Provinsi Aceh, meliputi; Sabang, Aceh Besar, Pidie, Bireun, Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa, Aceh Jaya, Aceh Barat Daya, dan Pidie Jaya.
Hitung-hitung logika politik lainnya, bilamana memilih T. A. Khalid akan mengalami tidak solid yang berpotensi larinya dukungan dari Parnas kepada Mualem. Harus difahami juga, selama ini yang selalu dekat bersama Mualem dan selalu terdepan jika diperlukan Mualem adalah T.A. Khalid. Itulah yang membuat Mualem jatuh hati dengan T.A. Khalid, pesan tersiratnya beliau sudah banyak berkorban untuk T.A. Khalid, termasuk berhutang ke Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto, karena telah memberi bantuan finansial pada saat Pilkada 2012. Efek politik balas budi akan memperkuat posisi T.A. Khalid berpasangan dengan Mualem. Apalagi faktor pengalaman berpolitik dan pernah di parlemen serta memiliki basis massa ada di T.A. Khalid beda dengan Abu Razak. Minimal sekali, T.A Khalid sudah memiliki basis massa yang loyal terhadap dirinya. Sedangkan Abu Razak tidak memiliki elektabilitas yang tinggi atau mengalahkan T.A. Khalid, karena dirinya belum diukur secara ilmiah melalui survei.
Penulis telah menjaring pandangan masyarakat melalui via sms, sosial media (BBM, WA, dan FB) banyak yang mengatakan tidak akan terjadi gejolak keamanan, jilkalau Mualem kalah. Disisi lain ada yang mengatakan Mualem harus berjiwa besar dan berlapang dada ketika dirinya kalah di Pilkada. Dalam pertarungan siap menang dan siap kalah. Kalau pun kita asumsikan hadirnya tindakan gejolak keamanan pemerintah memiliki alat negara yang bisa menangani gejolak keamanan yakni aparat Kepolisian dan TNI. Pada ketentuan hukum, siapa pun yang bermasalah dengan hukum tanpa terkecuali wajib di tindak dengan mekanisme penegakan hukum.
Keseluruhan analisis bisa berubah ketika posisi mengharuskan Mualem menang, dikarena deal politik dengan pemerintah pusat berhasil. Syaratya mengubah bendera dan memenangkan PA. Disisi lain regulasi ”Qanun” akan memincu polemik yang berujung perang elit politik ini sangat diuntungkan Mualem, karena posisi kandidat independent akan melemah atau tidak bisa berpartisipasidi Pilkada. Jikalau Qanun Pilkada memberatkan syarat bagi calon perorangan/independent. Tetapi jika terjadi penundaan karena situasi keamanan dan polemik regulasi yang tak kunjung selesai, maka penundaan akan menurunkan power (kekuatan) Mualem. Peluang ini dimanfaatkan bagi kandidat lain untuk meningkatkan elektabilitas dengan mengambil momentum atas meredupnya elektabilitas Mualem.
Mari bagi siapa pun tanpa terkecuali mematuhi regulasi dan peraturan yang mengatur proses jalannya Pilkada. Semua kandidat harus berbesar hati jika kalah dalam Pilkada nantinya, dan bagi pemimpin yang dipercayakan amanah oleh rakyatnya, semoga mampu untuk merangkul seluruh stake holder di Aceh, Sebagai manusia, selalu ada kelebihan dan kekurangan, mari saling melengkapi satu sama lain, jika memang para calon pemimpin dan yang akan menjadi pemimpin nantinya memiliki rasa untuk membuat Aceh yang lebih maju dan bermartabat seperti yang diinginkan oleh masyarakat Aceh terkhusus.
Aryos Nivada
(Pengamat Politik dan Keamanan Aceh)
Tulisan ini telah dimuat dalam harian Rakyat Aceh, terbitan 27 April 2016.
Average Rating