Ketika Tambang Mendulang Konflik
Aryos Nivada[1]
Abstrak
Kekayaan sumber daya alam berupa tambang adalah berkah yang diberikan sang pencipta kepada hamba-Nya. Kekayaan tambang merupakan modalitas dalam membangun kemampaan secara ekonomi dan pembangunan sebuah daerah dan negara. Tetapi menghargai dan peduli mengelola tambang harus tunduk terhadap mekanisme pengelolaan yang benar dan sesuai standard keamanan berbasiskan lingkungan. Akan tetapi harus di ingat adalah baik buruknya pengelolaan tambang sangat tergantung dari pelaksananya dan aturan yang mengaturnya.
Tentunya perilaku dari pelaksananya harus taat dan berkomitmen serius menjalankan apa yang di amanahkan regulasi. Jangan sampai tindakan mereka “pelaksana” tersandera hasutan hati nurani untuk bertindak secara oportunis dan pragmatis. Sehingga komitmen serius menjalankan pengelolaan tambang untuk kemashlatan manusia (masyarakat) tidak terwujud. Bentuk kemashlatan manusia terlihat hasil tambang dipergunakan bagi pengembangan pembangunan disegala aspek baik infrastruktur, fasilitas, kesejahteraan, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
Faktanya keberadaan tambang bukan membawa berkah positif bagi masyarakat di sekitar perusahan dan pemerintah, akan tetapi memicu konflik baik secara veritikal maupun horizontal, misalnya kasus di Pidie, Aceh Jaya, Aceh Besar, dll. Lebih lanjut dijelaskan di tulisan ini. Sehingga keberadaan tambang menjadi moster yang menakutkan jika dieksploitasi. Kerangka penulisan terdiri dari; dasar regulasi pertambangan, konsep pengelolaan pertambangan, konflik pertambangan, kasus konflik pertambangan, dan dampak pertambangan. Keseluruhan kerangka penulisan akan dijelaskan di tulisan ini.
Metode penulisan lebih mengarah ke kualitatif dengan pendekatan analisis deskritif. Teknik pengumpulan data terbagi ke sekunder meliputi; tracking media, jurnal, buku, dll. Sedangkan data primer hasil dari wawancara berbagai narasumber yang kosisten terhadap issue pertambangan dan fokus group diskusi.
Kesimpulan tulisan yaitu pertama; konflik tambang di Aceh muncul karena faktor tidak tunduknya perusahan tambang melaksanakan undang-undang dan peraturan yang mengatur eksplorasi dan eksploitasi, kedua; konflik pertambangan lahir karena Pemerintah Aceh tidak mempersiapkan terlebih dahulu sumber daya manusia di sekitar perusahan dan lokal, infrastrukturdan fasilitas pendukung, keamanan, kebijakan yang melindungi hak-hak masyarakat, dan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat sekitar perusahan.
Dan ketiga; konflik pertambangan hadir tengah-tengah masyarakat Aceh karena Pemerintah Aceh menyediakan lapangan pekerjaan sehingga masyarakat dengan inisiatif sendiri melakukan penambangan illegal dengan metode tradisional.
Rekomendasi dari tulisan adalah, pertama; Pemerintah Aceh harus melakukan evaluasi secara menyeluruh keberadaan perusahan tambang di Aceh. Kedua; Pemerintah Aceh harus berani bersikap tegas kepada perusahan tambang yang tidak taat dan tunduk terhadap UU dengan mengeluarkan dari Aceh sekaligus dihentikan izin beroperasinya. Ketiga; Pemerintah Aceh harus mempersiapkan kapasitas masyarakat Aceh di bidang pertambangan. Keempat; Pemerintah Aceh harus membuat blue print (road map) pengelolaan tambang yang minim dampak, berkelanjutan, dan membawa keuntungan positif bagi masyarakat serta pemerintah sendiri, dan kelima; Pemerintah Aceh harus membangun infrastruktur dan fasilitas pendukung kemajuan industry pertambangan di Aceh.
Kata Kunci : regulasi, konsep, konflik, kasus, dan dampak tambang
Latar Belakang
Sebelumnya menjelaskan subtansi dari kerangka penulisa, memberikan gambaran geografis dari Provinsi Aceh. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh tahun 2013 Provinsi Aceh di ujung Barat Laut Sumatera (2o00’00”- 6o04’30”. Lintang Utara dan 94o58’34”-98o15’03” Bujur Timur) dengan Ibukota Banda Aceh, memiliki luas wilayah 56.758,85 km2 atau 5.675.850 Ha (12,26 persen dari luas pulau Sumatera), wilayah lautan sejauh 12 mil seluas 7.479.802 Ha dengan garis pantai 2.666,27 km2.
Secara administratif pada tahun 2013, Provinsi Aceh memiliki 23 kabupaten/kota yang terdiri dari 18 kabupaten dan 5 kota, 276 kecamatan, 755 mukim dan 6.423 gampong atau desa. Provinsi Aceh memiliki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalu lintas perdagangan Nasional dan Internasional yang menghubungkan belahan dunia timur dan barat dengan batas wilayahnya : sebelah Utara berbatasan dengan Selat Malaka dan Teluk Benggala, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Sumatera Utara dan Samudera Hindia, sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia dan sebelah Timur berbatasan dengan Selat Malaka dan Provinsi Sumatera Utara.
Kondisi topografi dari Provinsi Aceh memiliki topografi datar hingga bergunung. Wilayah dengan topografi daerah datar dan landai sekitar 32 persen dari luas wilayah, sedangkan berbukit hingga bergunung mencapai sekitar 68 persen dari luas wilayah. Daerah dengan topografi bergunung terdapat dibagian tengah Aceh yang merupakan gugusan pegunungan bukit barisan dan daerah dengan topografi berbukit dan landai terdapat dibagian utara dan timur Aceh.
Terkait potensi pertambangan di wilayah Aceh mencakup semua bahan tambang, yaitu: mineral dan batubara (minerba), minyak dan gas bumi (migas), panas bumi, dan air tanah. Potensi pertambangan yang telah teridentifikasi, berdasarkan klasifikasi dahulu atau sebelumnya dikenal dengan bahan tambang strategis (golongan A), bahan tambang vital (golongan B), dan bahan tambang golongan C (bahan galian). Potensi bahan tambang golongan A dan B berupa migas, panas bumi, Batubara, Emas (Au), Tembaga (Cu), Perak (Ag), Seng (Zn), Timah Hitam (Pb), Molibdenum (Mo), Besi/Pasir Besi (Fe), Kromium (Cr), Nikel (Ni), Timah Putih (Sn), Mangan (Mn), Platina (Pt), Belerang (S) dan Air Raksa (Hg) menyebar di 10 (sepuluh) Kabupaten. Sedangkan potensi Mineral Galian Golongan C menyebar hampir di seluruh Aceh yaitu: kerikil, Batu Pasir, Batu Gu nung, Batu Apung, Tanah Urug, Tanah Liat, Mika, lembpung, kalsit, batu gamping, serpentinit, berurat, magnesit, marmer, dll[2].
Potensi Pertambangan di Aceh[3]:
1. Emas
Emas merupakan logam mulia yang sangat komersil. Bijih emas terdapat dalam cebakan-cebakan dengan bermacam-macam tipe di dalam batuan beku, sedimen dan metamorfik pada seluruh formasi geologi. Kebanyakan emas yang diproduksi berasal dari larutan hydrothermal yang berumur relatif lebih muda. Penyelidikan umumnya dilakukan dengan beberapa cara yaitu, pemetaan geologi, penerowongan dan pemboran inti. Kadang-kadang dilakukan juga penyelidikan secara geofisik sebelum pemboran untuk mengetahui kontinuitas dan hubungan antara singkapan yang satu dengan yang lainnya.
Logam emas di Aceh umumnya terdapat pada batuan volkanik tua. Batuan pembawa (host rock) biasa berupa diorite, granodiorit dan batuan beku asam (PPPG, 1982). Logam Emas banyak ditemukan dibeberapa aliran sungai besar di Aceh Barat dan Aceh Tengah. Warga setempat melakukan pendulangan untuk mengambil deposit emas seperti yang dilakukan di Krueng Woyla dan Krueng Pameu (placer deposit). Selain itu di beberapa lokasi lain deposit emas tersingkap sebagai primary deposit seperti di Beutong Ateuh, Lhok Kruet, Kr.Sabee, Tangse dan Geumpang. Kedua tipe endapan ini mempunyai karakter yang berbeda ditinjau dari segi proses pembentukan, sumberdaya dan metode penambangan.
Endapan plaser seperti yang terdapat di beberapa aliran sungai di Aceh Barat dan Aceh Tengah berasal dari pelapukan batuan induk yang mengandung emas. Akibat proses pelapukan dan erosi. Kemudian material tersebut tertransport ke dalam sungai dan terendapkan akibat akibat berat jenisnya yang lebih besar. Volume deposit plaser jauh lebih kecil dibandingkan dengan cadangan yang tersimpan dalam batuan induk (primary deposit). Penambangan bijih plaser ialah secara (hydraulicking)”disemprot dengan air”, dengan kapal keruk (dredge) atau dengan dragline yang dikombinasi dengan pengolahan diatas pontoon (floating washing plants). Bijih emas kebanyakan ditambang secara tambang dalam dengan system “cut and fill” dan “skrinkage stoping” atau dengan tambang terbuka dengan mengupas lapisan overburden.
2. Tembaga
Bijih tembaga terdapat sebagai cebakan-cebakan dengan berbagai macam tipe dalam batuan beku, sediment dan metamorfik. Hampir sebagian besar cebakan-cebakan tembaga terjadi dari larutan hydrothermal dengan type replacement dan cavity filling. Sebagian besar cadangan bijih tembaga di dunia terdiri dari tipe replacement. Dalam bentuk porphyrycopper. Disamping dengan pemetaan geologi penyelidikan juga dilakukan dengan geokimia, geofisik dan pemboran. Sering juga dibantu dengan test pitting, trenching dan tunneling.
Di Aceh logam tembaga kebanyakan ditemukan bersamaan dengan logam lainnya atau berasosiasi dengan logam lain seperti emas, molibdenum dan pirit, cuma prosentase kadarnya masing-masing logam berbeda.
Bahan galian logam ini ditemukan di Pulau Bras sekitar kepulauan Aceh, di lokasi ini tembaga ditemukan dalam bentuk senyawa berupa malakhit. Berikutnya di Krueng Kala dan Gle Bruek Kecamatan Lhoong juga ditemukan unsur logam tembaga. Di Daerah Beutong Ateuh Kabupaten Nagan Raya juga ditemukan tembaga, dilokasi ini tembaga ditemukan bersamaan dengan emas.
Di Pidie (Geumpang dan Tangse) ditemukan tembaga yang hadir bersama emas dan mineral ikutan lainnya. Kemudian ditemukan juga di Krueng Sabee (Aceh Jaya) dan di Tapaktuan Aceh Selatan. Metode penambangan dapat dilakukan dengan penambangan terbuka dan dalam tergantung pada besar kadar tembaga dan dalamnya cebakan. Bijih tembaga porfiri biasanya dikerjakan secara tambang terbuka dengan alat-alat berat dikombinasikan dengan pendamitan. Penambangan dalam dilakukan secara block caving, square setril, shrinkage, top slicing, sub level caving, cut and fill, long hole.
3. Timah Hitam dan Seng
Kedua logam ini secara kimia mempunyai sifat yang berbeda, namun secara geologi selalu ditemukan secara bersamaan. Timah hitam dikenal juga dengan timbal (Pb), ada tiga jenis mineral yang komersil yaitu: galena (PbS), cerusit (PbCO) dan Anglesit (PbSO4). Kebanyakan bijih timah hitam dan seng terjadi sebagai cavity filling “pengisian rongga” dan replacement dari larutan hydrothermal dengan suhu rendah. Penyelidikan bijih timah hitam dilakukan dengan pemetaan geologi dan geokimia, geofisika dan pemboran. Sering juga dibantu dengan tunneling. Penambangan pada umumnya secara tambang dalam dengan berbagai variasi. Timbal dipergunakan dalam batubatere, pembungkus kabel amunisi, campura-campuran logam, industri cat, keramik, industri kimia. Seng sendiri dipergunakan sebagai proteksi logam terhadap korosi, campuran-campuran logam pigmen, tekstil, industri kimia. Di Aceh Kedua logam ini ditemukan di Krueng Beureung berupa kerakal galena dan Krueng Isep di Aceh Barat. Berikutnya di Lokop Kecamatan Serbajadi Aceh Timur juga ditemukan timah hitam dalam jumlah cukup prospek untuk di tambang.
4. Bijih Besi
Bijih besi (iron ore) merupakan senyawa oksida yang cukup komersil untuk dimanfaatkan. Macam-macam bijih besi yang secara komersil menghasilkan paling banyak ialah: bijih sedimenter, magmatik kontak, metasomatik dan penggantian (replacement). Propinsi Aceh menyimpan potensi bijih besi yang besar. Deposit bijih besi dapat dijumpai dalam bentuk primary deposit dan secondary deposit. Tipe plaser (secondary deposit) banyak ditemukan di pinggir pantai sekitar Krueng Raya, Lampanah (Aceh Besar). Sedangkan dalam bentuk tubuh batuan banyak ditemukan di Kecamatan Lhoong (Krueng Geunteut, Krueng Lhoong) Aceh Besar, Krueng Ligan Aceh Jaya, Kecamatan Babahrot dan Kuala Batee Aceh Baratdaya. Cadangan bijih besi untuk setiap lokasi belum diketahui secara pasti, hal ini dikarena selama ini kegiatan eksplorasi rinci yang detail belum pernah dilakukan.
Faktor keamanan merupakan salah satu alasan yang menyebabkan aktivitas penyelidikan atau survei detail tidak berjalan di lapangan. Penyelidikan bijih besi laterit dan bijih sedimenter dilakukan dengan “test pitting” atau pemboran. Penyelidikan bijih kontak dan lain-lainnya biasanya dilakukan secara geofisika (magnetometer) dibantu dengan pemboran inti. Untuk bijih besi sedimenter laterit penambangan dikerjakan secara “open pit”. Tambang dalam dilakukan terhadap bijih-bijih magmatik, kontak dan replacement.
5. Mangan
Beberapa jenis mineral Mangan yang mempunyai nilai komersil untuk ditambang diantaranya pyrolusit, manganit, psilomelan, hausmanit, rhodochrosit, rhodonit. Bijih mangan ditemukan dalam bentuk cebakan sedimenter dan residual. Tipe lainnya adalah sebagai cebakan hydrothermal dan metamorfik. Pada umumnya penyelidikan detail harus dilakukan dengan pemboran (cored drilling). Penambangan dilakukan secara tambang terbuka dan tambang dalam, dalam bermacam-macam variasi tergantung keadaan cebakan. Kebanyakan Mangan dipergunakan dalam industri metalurgi selainnya dipakai untuk industri batubatere dan kimia. Di Aceh logam mangan dijumpai di Lhok Kruet Kecamatan Sampoiniet Kabupaten Aceh Jaya, kondisi endapannya berupa deposit metasomatik. Selain itu mangan terdapat dijumpai juga di Krueng Igeuh Kecamatan Tangse (Kabupaten Pidie) dan Krueng Ligan (Aceh Jaya).
6. Molibdenum
Sebagian besar dari molybdenum berasal dari molibdenit (MoS2). Hanya sedikit saja yang berasal dari wulfenite (PbMoO4). Bijih molibdenum terdapat didalam batuan beku asam, metamorfik, sedimen, sedikit pada batuan basa. Tipe-tipe bijih komersil terdapat sebagai cebakan pegmatik, kontak metasomatik, disseminated replacement dan fissure vein. Sebagian dari bijih molybdenum terdapat berhubungan dengan batuan beku asam dan berbentuk vein dan stockwork (vein kecil-kecil banyak dan berbentuk jaringan).
Penyelidikan eksplorasi awal umumnya dilakukan dengan pemetaan geologi, geofisika dan pemboran. Penambangan umumnya tambang bawah tanah (underground mining). Ada juga yang dikerjakan secara terbuka. Penambangan dalam untuk bijih yang besar dikerjakan secara caving dan “cut and fill”. Potensi molybdenum di Aceh dapat dijumpai di kecamatan Tangse Kab.Pidie, Krueng Geunteut dan Krueng Lhoong Kabupaten Aceh Besar, di Lokop Kecaamtan Serbajadi Aceh Timur. Bijih molybdenum tersebut dijumpai dalam bentuk urat kuarsa, juga didapatkan dalam kristal-kristal batugamping seperti yang didapatkan di daerah Timang Ragap dan Lawe Sigala-gala Aceh Tenggara. Penggunaan molybdenum dalam kehidupan sehari-hari biasanya dipakai untuk industri besi dan baja, minyak pelumas, keramik pigment, pupuk dan reagent kimia.
7. Kromium
Kromium atau krom mempunyai arti warna, Mineral satu-satunya yang mempunyai arti komersil ialah kromit (FeO.Cr2O3). Cebakan kromit terjadi secara pemisahan magmatik didalam batuan basa berbentuk massa, lensa-lensa dan terhambur (disseminated). Dibeberapa tempat oleh proses pelapukan butir-butir kromit yang menghambur (disseminated) dikonsentrir sebagai bijih. Di Aceh potensi logam kromium terdapat di daerah Tangse dan Geumpang (Kabupaten Pidie). Di Tinjau dari tatanan geologi, Perut bumi Aceh tersusun oleh batuan beku yang bersifat asam sampai intermediet. Pulau Sumatera terbentuk hasil penunjaman (subduksi) kerak samudera hindia dengan kerak eurasia, maka batuan beku asam lebih melimpah daripada batuan beku basa. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi Indonesia bagian timur yang dominan dengan batuan basa sampai ultra basa. Penyelidikan umumnya dilakukan secara pemetaan geologi, trenching, tunneling dan pemboran inti untuk cebakan primer. Untuk cebakan cebakan sekunder cukup dengan test pitting bersama dengan pemetaan geologi. Penambangan dilakukan baik secara tambang dalam maupun tambang terbuka. Kebanyakan tambang-tambang kromit yang besar dikerjakan secara tambang terbuka. Penggunaan kromium sendiri untuk bahan anti karat (stainless steel), bahan tahan api (refractories), industri kimia, pelapis tungku suhu tinggi.
Perusahaan garap tambang
* PT. Aceh Kencana Mandiri (luas lahan 9.510 hektare, bahan galian emas primer)
* PT. Woyla Aceh Mineral (24.260 hektare, emas primer) (Aceh Barat dan Pidie)
* PT. Magellaic Garuda Kencana (3.250 hektare, emas sekunder)
* Koperasi Putra Putri Aceh (195 hektare, emas sekunder)
* PT. Mifa Bersaudara (3.134 hektare, batubara)
* PT. Agrabudi Jasa Bersama (5.000 hektare, batubara)
* PT. Indonesia Pacific Energy (4.182 hektare, batubara)
* PT. Aceh Tuwan Sinarawi (8.197 hektare, batubara)
* PT. Prima Bara Mahadana (2.024 hektare, batubara)
* PT. Bara Adhipratama (1.600 hektare, batubara)
* PT. Nirmala Coal Nusantara (3.198 hektare, batubara)
* PT. Pelita Nusantara Mining (3.000 hektare, batubara)
* PT. Kharismatik Unggul Sentosa (128 hektare, bijih besi DMP)
(Sumber: Pertambangan tahun 2010)
Sumber: http://www.prosperity.net.au/?page=52
Dasar Regulasi Pertambangan
Dasar hukum bagi eksploitasi pertambangan di Indonesia menggunakan Undang-undanga No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan. Turunan teknisnya mengeksploitasi pertambangan di keluarkan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan Dan Pemurnian Mineral sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral Nomor 11 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 7 Tahun 2012 Tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral (“Permen ESDM tentang Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral”) adalah untuk melaksanakan ketentuan Pasal 96 dan Pasal 111 Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (“PP tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba”)[4].
Penerapan dari UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan tidak berjalan mulus karena organisasi masyarakat sipil yakni Wahana Lingkungan Hidup melakukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Diputuskan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 25 Maret 2008, Putusan MK Nomor 25/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012 dan putusan MK nomor 30/PUU-VIII/2010 bertanggal 4 Juni 2012. Hasilnya memenangkan gugatan dari Walhi. Didalam pertimbangannya, sebelum MK memutuskan permohonan Walhi dkk, MK mendasarkan kepada prinsip dikuasai oleh negara. Didalam berbagai putusan MK, prinsip “dikuasai oleh negara dirumuskan, Kebijakan (beleid), tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad), pengawasan (toezichthoudensdaad). Selain itu rumusan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 juga menentukan dalam Pasal 33 UUD 1945 tersebut terdapat hak-hak ekonomi dan sosial warga negara sebagai kepentingan yang dilindungi oleh konstitusi melalui keterlibatan atau peran negara tersebut. Dengan kata lain, Pasal 33 UUD 1945 adalah ketentuan mengatur tentang keterlibatan atau peran aktif negara untuk melakukan tindakan dalam rangka penghormatan (respect), perlindungan (protection), dan pemenuhan (fulfillment) hak-hak ekonomi dan sosial warga negara ”.
Pasal dalam UU No. 4 tahun 2009 yang “dipersoalkan” yaitu; Pasal 6 ayat (1) huruf e jo. Pasal 9 ayat (2), pasal 10 huruf (b) UUMinerba. MK juga memutuskan Pasal 22 huruf f dan Pasal 52 ayat (1) UU Minerba (dalam perkara 25/PUU-VIII/2010) dan Pasal 22 huruf f, Pasal 38, Pasal 52 ayat (1), Pasal 55 ayat (1), Pasal 58 ayat (1), Pasal 61 ayat (1), Pasal 75 ayat (4), Pasal 172, dan Pasal 173 ayat (2) (dalam perkara 30/PUU-VIII/2010)[5].
Jika kita cermati ternyata UU Pertambangan yang dijadikan dasar pengelolaan tambang tidak benar-benar dibuat subtansi pasalnya dengan mempertimbangkan aspek penjaringan aspirasi, aspek keselarasan dengan konstitusi yakni UUD 1945 dan UU lainnya, aspek sosiologis yang peduli terhadap ke arifan lokal, aspek pemberdayaan masyarakat, aspek keberpihakan terhadap lingkungan, dll. Karena tidak mempertimbangkan aspek-aspek tersebut berakibat penolakan publik.
Isi di dalam regulasi pengelolaan tambang harus mengontrol dan berpihak kepada masyarakat di sekitar perusahanan ataupun umum. Realitasnya isi UU No. 4 tahun 2009 masih dinilai publik, bahwa Pemerintah Indonesia lemah dalam hal isi perjanjian kontrak yang berpihak kepada masyarakat sekitar perusahan dan umum. Disinilah integritas dan martabat Pemerintah Indonesia harus benar-benar mengontrol eksploitasi tambang di seluruh Indonesia. Jika tidak dilakukan maka konflik sumber daya alam terjadi baik secara vertikal dan horizontal.
Kondisi kekinian di Aceh terkait kebijakan pertambangan yakni Gubernur Aceh Zaini Abdullah berkeinginan mengeluarkan kebijakan moratorium pemberian izin pertambangan terutama bidang galian emas dan bijih besi yang merupakan komitmen pemerintah menjaga kelestarian lingkungan hidup. Argumentassi dari Gubernur Aceh karena praktek penambangan liar yang dilakukan secara tradisional maupun penambangan yang dilakukan oleh perusahaan. Selain itu modus baru para penambang adalah dengan membawa material yang diduga mengandung emas dari lokasi penambangan ke rumah mereka masing-masing dan kemudian dipisahkan material emas dan yang bukan emas dengan menggunakan zat kimia yang membahayakan kesehatan warga. Tujuan utama moratorium pertambangan karena komitmen pemerintah menjaga lingkungan hidup dengan memberlakukan moratorium tambang bijih besi dan emas tersebut bertujuan agar bisa dimanfaatkan oleh generasi Aceh dimasa mendatang[6].
Pernyataan gubernur dikuatkan dari data Walhi Aceh, bahwa sebanyak 5.000 titik di 12 kabupaten dari 23 kabupaten/kota di Aceh terdapat penambangan liar atau ilegal. Jumlah penambangan ilegal ini jauh lebih besar daripada perkiraan selama ini yang hanya ada di 3 kabupaten. Terungkapnya 12 daerah di Aceh terdapat penambangan ilegal dari hasil diskusi pencemaran merkuri dengan tema “Analisis Kebijakan Pertambangan Ilegal dan Pencemaran Lingkungan” yang diselenggarakan Walhi Aceh bersama Mongabay, Kamis (11/9) di sebuah kafe simpang Surabaya, Banda Aceh[7].
Konsep Pengelolaan Pertambangan
Konsep Pengelolaan Pengelolaan merupakan istilah yang dipakai dalam ilmu manajemen. Secara etimologi pengelolaan berasal dari kata kelola (to manage) dan biasanya merujuk pada proses mengurus atau menangani sesuatu untuk mencapai tujuan. Hal ini menggambarkan bahwa pengelolaan adalah suatu usaha atau tindakan atau kegiatan penyempurnaan yang dilakukan melalui proses yang disertai usaha pertumbuhan tersebut sehingga dapat berdayaguna dan berhasilguna untuk memperoleh yang lebih baik. Pujiono (1992:23) mendefinisikan pengelolaan/kegiatan adalah kegiatan- kegiatan pelaksanaan harus menuju kearah tujuan yang hendak dicapai dan tetap dalam arah kebijaksanaan yang ditetapkan. Dalam rangka pelaksanaan ini, unsur- unsur dalam siklus manajemen adalah unsur pimpinan dan pengendalian, kedua unsur ini merupakan alat untuk menjamin bahwa pelaksanaan diarahkan kepada tujuan.
Menurut pemikiran Iskandar Zulkarnain[8]konsep pengelolaan pertambangan harus berpedoman kepada konsep good mining practice yaitu aspek legal maupun aspek teknis harus jelas dan dijalankan secara serius. Lebih rinci lagi Zulkarnain mengusulkan konsep pengelolaan pertambangan rakyat. Kerangka pengelolaan sumberdaya tambang yang berkelanjutan dalam buku ini disusun berdasarkan 4 aspek penting yang ditujukan untuk menjawab berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh kegiatan masyarakat yang menambang, yakni: (i) aspek kebijakan; (ii) aspek modalitas; (iii) aspek kelembagaan/organisasi dan (iv) aspek teknologi dan lingkungan. Dengan mengimplementasikan keempat aspek tersebut secara bersamaan, maka kegiatan pertambangan rakyat tersebut diharapkan akan memberikan manfaat optimal bagi masyarakat dan negara serta sekaligus dapat meminimalisir potensi kerusakan lingkungan yang ditimbulkannya.
Merujuk pada regulasi UU No. 4 tahun 2009 tentang pertambangan, sangat jelas mengharuskan bagi perusahan pertambangan melakukan pemurnian hasil tambang tertera di Pasal 103 ayat 1 dan Pasal 170. Berikut isi pasalnya
No |
Pasal |
Isi Pasal |
103 ayat 1 | Pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi wajib melakukan pengolahan dan pemurnian hasil pertambangan didalam negeri. | |
170 | Pemegang kontrak karya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 yang sudah berproduksi wajib melakukan pemurnian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 103 ayat (1) selambat – lambatnya 5 (lima) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan. |
Penjelasan lanjut
Jika merujuk pada 2 Pasal diatas maka secara singkat Undang-Undang Nomor 4 Tahun2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara mengharuskan pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) melakukan pengolahan dan pemurnian hasil penambangan didalam negeri. Aturan ini dilakukan paling lambat 5 tahun sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara diterbitkan. Ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pemegang kontrak karya yang telah melakukan produksi di Indonesia harus melakukan pemurnian selambat – lambatnya 5 tahun sejak Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara disahkan. Deadline-nya, 12 Januari 2014 baik pemegang IUP maupun kontrak karya yang sudah berproduksi dilarang mengeskpor mineral mentah (ore).
Ini merupakan suatu konsep pengelolaan pertambangan yang baik serta usaha baik dari Pemerintah Indonesia untuk melindungi hasil kekayaan bumi Indonesia dan patut kita kawal bersama. Ditambah lagi kekayaan SDA Indonesia yang begitu melimpah merupakan anugerah Tuhan yang harus dijaga,dimanfaatkan sebaik – baiknya dan sebijak – bijaknya. Sesuai dengan pasal 33 UUD 1945 ayat 3 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.Sebagai indikasi berlimpahnya SDA Indonesia dalam hal mineral dan batubara, dapat dilihat pada tabel 1 tentang kegiatan ekspor batu bara dari Indonesia tahun 2014 – 2012. Bisa kita lihat tren produksi dan ekspor batu bara yang semakin meningkat tiap tahunnya.
Tantangan pertama ketika menerapkan konsep pengelolaan pertambangan berdasarkan UU No. 04 tahun 2009 adalah ketika barang tambang mentah dimurnikan dan diekspor untuk meningkatkan nilai tambah, maka perlu dipastikan tidak terjadi kecurangan dari pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi dalam mengolah dan memurnikan barang tambang mentah hasil produksinya dengan kadar kemurnian yang sangat rendah hanya untuk lolos dari UUNo 4 Tahun 2009 dan menghindari pajak ekspor yang besar. Sehingga tujuan peningkatan nilai tambah yang diperlukan untuk mengoptimalkan konservasi sumber daya dan batubara, memenuhi kebutuhan bahan baku industri domestik serta memberikan dampak positif bagi perekonomian yang menghasilkan efek berantai signifikan terhadap kondisi sosial, ekonomi dan politik yang pada akhirnya memicu pengembangan sektor hilir (industri)[10] pada akhirnya tidak dapat berjalan maksimal. Sudah seharusnya pemerintah lebih cermat dalam mengantisipasi celah – celah yang dapat dimanfaatkan oleh“oknum-oknum” pemain barang tambang Indonesia. Sudah seharusnya pula kata “pemurnian”disini harus dipertegas dengan tingkat kadar pemurnian yang jelas dan standar yang baik untuk selanjutnya diatur dalam Undang – Undang atau ketetapan pemerintah.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rahkmanto mengatakan bahwa penerapan pengolahan dan pemurnian bahan tambang di Indonesia masih fokus untuk “lolos” ekspor. Padahal, pemurniannya juga pasti tidak akan mencapai 100 persen sehingga nilai tambahnya tidak terlalu besar.Seandainya pemerintah mendorong bahan mentah yang sudah diolah itu digunakan untuk kepentingan industri dalam negeri, dampak pengganda ekonominya akan lebih besar[11].
Tantangan kedua adalah kesiapan pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi dalam membangun fasilitas smelter. Smelter adalah sebuah fasilitas pengolahan hasil tambang yang berfungsi untuk meningkatkan kemurnian kandungan logam seperti timah, nikel, tembaga, emas, dan perak hingga mencapai tingkat yang memenuhi standar sebagai bahan baku produk akhir. Bahan tambang yang didapat dari perut bumi masih tercampur dengan pengotor, mineral – mineral lain, atau unsur –unsur tanah lain yang tidak diperlukan. Oleh karena itu bahan tambang yang telah didapat kemudian dibersihkan dan dimurnikan pada smelter. Pembangunan smelter membutuhkan biaya yang tidak sedikit, diperkirakan mencapai US$ 1,2-2 Miliar untuk membangun sebuah smelter. Maka akan menjadi masalah dan efek “bola salju” jika pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi enggan membangun smelter atau mereka ingin, namun tidak mampu dan terpaksa gulung tikar, maka otomatis akan berdampak juga pada kestabilan perekonomian Indonesia. Pemerintah harus siaga dalam mencari solusi ini jangan sampai pada akhirnya pemerintah melunak dan melanggar atau membatalkan ketetapan dari undang – undang No. 4 Tahun 2009 ini. Kemudian untuk operasional diperlukan tenaga – tenaga ahli yang terdidik dan terampil dalam pengoperasian smelter. Ini merupakan suatu kesempatan emas bagi anak bangsa untuk “unjukgigi” bahwa anak bangsa tidak kalah dengan bangsa lain dalam hal kemajuan dan penguasaan IPTEK, namun juga bisa jadi mimpi buruk jika pada akhirnya SDM Indonesia pun belum memadai. Sehingga lagi – lagi “orang asing” kembali mengambil kesempatan – kesempatan emas yang sudah seharusnya dapat digunakan dengan baik oleh anak bangsa.
Tantangan ketiga adalah kemampuan Pemerintah dalam menindak tegas “oknum – oknum” yang melanggar ketetapan Undang – Undang ini. Bukan rahasia lagi bahwa mayoritas pemegang IUP dan IUPK Operasi Produksi adalah orang – orang dengan ekonomi atas, dengan jabatan yang tidak sembarangan. Mengingat untuk mendapatkan IUP/IUPK Operasi Produksi tidaklah murah, serta sektor pertambangan adalah sektor yang menjanjikan dalam hal keuntungan. Pemerintah diharap tidak lengah dalam mendirikan hukum dan memastikan bahwa Undang – Undang apapun yang telah disahkan dapat berjalan dengan baik tanpa pelanggaran. Merupakan suatu keharusan memastikan semboyan “Indonesia adalah Negara hukum” bukan sebatas kata – kata retoris indah tanpa bukti nyata. Jangan sampai penegakkan hukum di Indonesia seperti piasu yang tumpul keatas namun tajam kebawah.
Tantangan terakhir adalah pemerintah harus lebih aktif mengakomodasi kepentingan dan aspirasi rakyat Indonesia dalam pengambilan keputusan yang menyangkut dengan nasib bangsa dan rakyat Indonesia. Karena pemerintah dipilih dari, rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Pemerintah harus banyak melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan dan pembuatan undang – undang. Implementasi UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara ini memang bertujuan baik dan untuk kesejahteraan rakyat sesuai dengan bunyi pasal 33 UUD 1945 ayat 3 “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negaradan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”. Namun, perlu diingat konteks pengertian “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” tidak boleh diartikan secara sempit hanya dalam bentuk pajak yang ditarik oleh pemerintah, dan pendapatan negara dari pajak akan digunakan untuk sebasar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Keterlibatan rakyat dalam merumuskan nasib bangsa ini juga mutlak diperlukan sehingga menciptakan “untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang sesungguhnya.
Konflik Pertambangan
Artikulasi dari tambang merujuk pada wikipedia.com (04/10/2014) menjelaskan bagian dari kosakata pertambangan, suatu proses untuk mendapatkan material yang terkandung di dalam bumi. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral dan batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang[12].
Adanya pertambangan telah merubah karakter manusia, dimana umumnya mereka “manusia” sangat mengedepankan egoisme sehingga menimbulkan tindakan konflik antar sesamanya dan antar perusahan. Seharusnya pertambangan mampu memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat di sekitar perusahan.Bagi perusahaan pertambangan yang baru saja memulai proses explorasi biasanya akan dihadapkan dengan resiko terjadinya konflik dengan masyarakat lokal yang berada dilingkar tambang.
Sekilas pandang mengupas pemikiran the root of conflict (akar masalah atau penyebab terjadinya suatu konflik). Ada yang menghubungkan akar konflik itu dengan fenomena struktural, namun ada pula yang mengatakan bahwa konflik itu sebagai sesuatu yang tak terhindarkan dan tertanam dalam perilaku primordial manusia. Ada lagi yang menyebut bahwa konflik disebabkan oleh individu-individu tertentu yang mencari kekuasaan[13].
Dalam bukunya yang berjudul the International Dimension of Internal Conflict, Michael E. Brown[14] menemukan beberapa hal yang menyebabkan timbulnya konflik di berbagai tempat di dunia. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut: (1) Structural factors (faktor-faktor struktural): lemahnya negara, keamanan antar-negara, geographik etnis; (2) Political fators (faktor-faktor politik): diskriminasi institusi politik, ideologi nasional eksklusif, politik antar-kelompok, dan politik elitis); (3) Economic/Social factors (faktor-faktor ekonomi dan sosial): Masalah ekonomi, sistem demokrasi yang diskriminatif, modernisasi; dan (4) Cultural/Perceptual factors (faktor-faktor budaya/penafsiran): diskriminasi budaya, sejarah rumit kelompok.
Dalam konteks Aceh fokus pemicu konflik pertambangan tidak jauh berbeda dengan negara lain, menurut Kamal Ahmad[15], mengatakan penyebab konflik pertambangan terbagi menjadi dua; pertama tidak tertib aturan dan kedua kecemburuan sosial. Penjelasan adalah, karena kebanyakan dari perusahan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) tidak berkomitmen serius tunduk dan taat terhadap aturan yang mengikatnya ketika melakukan eksploitasi tambang, seperti; proses pembangunan, pengelolaan produksi, pengelolaan limbah, dll. Sedangkan pemicu konflik kedua kecemburuan sosial, dimana munculnya karena masyarakat sekitar tidak dilibatkan sebagai pekerja, Corporate Social Responsibility tidak mampu diberikan dengan benar oleh perusahan, dll.
Melalui fokus group diskusi dengan berbagai narasumber di lokal Provinsi Aceh yang memahami konflik pertambangan[16]terpetakan potensi masalah yang sering kali melanda perusahan dengan masyarakat. Berikut ini hasil pemetaannya :
- Perusahan tidak melaksanakan keseluruhan pengelolaan yang sudah ditetapkan di perundang-undangan dan peraturan yang ditetapkan.
- Perusahan mudah percaya kepada broker-broker tanah ketika pembebasan lahan pertambangan dilakukan.
- Perusahan bersama pemerintah setempat tidak mempersiapkan terlebih dahulu kapasitas masyarakat sekitar sebelum eksploitasi dilakukan.
- Tidak adanya titik temu atau kesepakatan antara pihak perusahaan dengan pihak masyarakat mengenai harga ganti rugi lahan yang pantas atau ganti rugi tanam tumbuh
- Terjadinya tumpang tindih kepemilikan lahan di masyarakat, sehingga seringkali perusahaan merasa sudah membayar ganti rugi namun kemudian ada masyarakat lain yang meminta ganti rugi kembali dilahan yang sama.
- Terdapat lahan adat atau situs-situs yang dikeramatkan oleh masyarakat lokal yang masuk kedalam wilayah yang akan terkena dampak operasional tambang
- Adanya keharusan bagi perusahaan untuk memprioritaskan penerimaan tenaga kerja lokal, padahal kompetensi tenaga kerja lokal yang ada seringkali tidak sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan perusahaan. Sehingga seringkali terjadi pemaksaan terhadap perusahaan untuk menerima mereka sebagai tenaga kerja
- Adanya persaingan para elit lokal untuk menjadi sub kontraktor terhadap beberapa kebutuhan operasional perusahaan, misalnya sub kontraktor untuk cattering, perawatan jalan hauling, pembangunan mess dan kantor atau perebutan barang rongsokan yang sudah tidak terpakai perusahaan. Yang dalam perjalanannya suka melibatkan dan menggunakan masyarakat banyak
- Ketakutan berlebihan masyarakat akan adanya dampak pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh operasional pertambangan yang nantinya akan berakibat terhadap kesehatan dan rusaknya lingkungan mereka
- Persepsi masyarakat yang masih berpendapat bahwa sebuah perusahaan yang beroperasional diwilayah mereka memang wajib untuk memberikan bantuan terhadap masyarakat, seperti pemebrian bantuan penerangan, perbaikan jalan desa, penyediaan sarana air bersih dan lain sebagainya.
Bagi kalangan aktivis lingkungan dan Adat Efendi, Staf Bidang Riset Jaringan Komunitas Masyarakat Adat JKMA (JKMA) Aceh pengalaman advokasi JKMA menemukan ketika masyarakat sekitar perusahan berkonflik dengan perusahan yang mengeksploitasi sumber daya alam berupa emas, batubara, beji besi selalu perusahan hampir selalu tampil sebagai pemenang. Aparat polisi, jaksa, hingga hakim cenderung lebih mengutamakan pihak yang memegang konsesi sebagai alas hukum ketimbang adat yang dianggap tak resmi atau formal. Perusahaan tambang sendiri dengan mudah membelokkan tudingan penyerobotan tanah, kawasan hutan atau pencemaran lingkungan sebagai efek destruksi pengolahan tambang terhadap lingkungan, menjadi persoalan administrasi konsesi atau kontrak karya. Hal ini dikarenakan kekuatan uang yang mampu mempengaruhi elit eksekutif dan legislative di Provinsi Aceh. Modus perusahan mengontrol elit eksekutif dan legislatif biasanya dengan memberikan uang dan fasilitas kebutuhan mereka. Tetapi ini sulit diungkap namun realitas itu terjadi, bahkan sudah menjadi rahasia umum[17].
Bagi pandangan Menurut M. Nur, TP, aktivis Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh, sampai saat ini sumber daya alam (SDA) di Aceh belum siap untuk ditambang. Mengapa? Analisis yang dibangun oleh aktivis lingkungan itu adalah tiga juta lebih penduduk Aceh masih menggantungkan hidup pada sektor pertanian, itu artinya ada 70% warga. Lalu apa urgensinya SDA Aceh ditambang, padahal banyak hasil alam Aceh dapat dijadikan sumber penghidupan jangka panjang, seperti dipaparkan Mustafa Abu Bakar, mantan Pj. Gubernur Aceh.
Dengan 3 juta penduduk Aceh berprofesi sebagai petani (Walhi Aceh, 2012), wajar jika perbankan mencatat 30 persen PDB (produk domestik bruto) Aceh disumbang oleh sektor pertanian. Yang sangat disayangkan adalah dalam praktiknya, kebijakan pemerintah justru tidak menunjukan konsistensinya dalam mengurus petani. Banyak kebijakan yang dikeluarkan pemerintah Aceh mengenai izin ekploitasi SDA yang tak terbarukan seperti tambang dan HGU (hak guna usaha) malah ditujukan kepada industrial ekstraktif.
Artinya izin yang telah diberikan kepada pengusaha akan menghancurkan daya dukung kehidupan seperti air, udara bersih dan komponen lingkungan yang melingkupinya. Baru-baru ini pemerintah Aceh Timur menolak perpanjangan kontrak kepada perusahaan PT. Trangle Pase Inc yang mengelola gas hasil alam Aceh Timur, sadar kemudian bahwa apa yang dijanjikan sebelumnya tidak pernah dipenuhi oleh pihak perusahaan untuk memenuhi hak-hak yang mesti didapatkan daerah dan masyarakatnya[18].
Jika menggunakan informasi berbagai narasumber yang faham pertambangan hadirnya konflik pertambangan terjadi dikarenakan ketidaksiapan dari Pemerintah Aceh mempersiapkan seluruh kebutuhan baik regulasi, sumber daya manusianya, infrastruktur dan fasilitas, serta jaringan investor. Bahasa lainnya persiapan dari hulu hingga hilirnya tidak terkonsep dengan perencanaan yang mantang berbasiskan road map (blue print). Oleh karena itu harus di masukan ke dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rancangan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Selanjutnya diperlukan kerja serius lintas Satuan Kerja Pemerintah Aceh yang terkait pengembangan industri pertambangan di Provinsi Aceh.
Jangan juga birokrat menjadi aktor pemicu konflik pertambangan ketika fungsi kontrol dan pengawasan tidak berjalan dengan baik. Bahkan kaum birokrat mengambil keuntungan secara ekonomi ketika mengurus izi administrasi dan izin Hak Guna Usaha (HGU), dan izi lainnya terkait suksesi hadirnya perusahan tambang di Provinsi Aceh. Kewajiban dari SKPA melalukan kontrol terhadap kehadiran perusahan tambang. Mekanisme kontrol berpegang pada regulasi yang mengamanahkan kegiatan eksploitasi tambang sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Ini sangat tergantung dari paradigma melayani rakyat masyarakat Aceh bukan paradigma memperkaya diri sendiri.
Aktor lain terungkap ketika berdiskusi dengan berbagai narasumber, dimana broker termasuk sumber masalah yang mengakibatkan konflik antara perusahan tambang dengan masyarakat sekitar tambang. Dimana ketika perusahan tambang ingin melakukan pembebasan tanah masyarakat sekitar perusahan broker hadir memperkeruh kondisi dan mengambil keuntungan secara personal. Belum lagi konflik sesama pelaku ekonomi di Aceh memberikan dampak hingga ke level grass root (masyarakat bawa). Pertarungan meraih akses keuntungan ekonomi (finansial) membuat mereka buta hati sehingga tidak memperdulikan masyarakat yang terkena imbas dari pertarungan sesama mereka.
Kesimpulannya bahwa aktor politik berkontribusi menimbulkan konflik di dalam dunia pertambangan di Provinsi Aceh. Lebih jauh lagi aktor politik terjebak kepada sifat egois yang bermuara pada pragmatis dan oportunis.
Data Kasus Konflik Pertambangan
Data Kasus Konflik Pertambangan
Di sub tulisan ini ingin memetakan kasus konflik yang diakibatkan hadirnya eksploitasi pertambangan. Metode pemetaan menggunakan media cetak/online dalam penelusurannya.
No |
Kabupaten/Kota |
Kasus |
Sumber Data |
1 | Kabupaten Aceh Besar |
Perusahaan tambang biji besi, PT Lhoong Setia Mining (LSM). Konflik antara perusahaan dan masyarakat setempat sudah terjadi sejak PT LSM tersebut menapakkan kakinya di Kecamatan Lhoong, awal tahun 2006 | Buletin Tuhoe Edisi XIII, September 2010 |
2 | Kabupaten Pidie | Eksploitas tambang tradisional dan illegal di Geumpang, Manee dan Tangse. Sekitar 12 ribu masyarakat hidup dan mencari nafkah di tambang emas, mulai dari penggali emas, tukang ojek bahkan pengangkut barang keperluan penambang. Jenis konflik horizontal antara masyarakat dengan Pemerintah Aceh. | www.acehkita.co, |
3 | Kabupaten Aceh Selatan | PT Pinang Sejati Utama (PSU) di wilayah Manggamat, karena kehadiran perushaan tersebut telah menimbulkan keruskan lingkungan dan juga konflik horisontal di kalangan masyarakat. | http://www.batamtoday.com/berita1951-Cegah-Konflik,-Hentikan-Pertambangan-di-Manggamat.html |
4 | Kabupaten Aceh Barat | Pemerintah kabupaten Aceh Barat, Provinsi Aceh, melakukan evaluasi terhadap tiga perusahaan bergerak di sektor pertambangan, karena ditengarai menjual konsesi izin usaha pertambangan (IUP) kepada pihak lain. | http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=335686:pemda-aceh-barat-evaluasi-izin-tambang&catid=13:aceh&Itemid=26 |
Dampak Pertambangan
Dampak buruk pertambangan bagi tanah, yakni setiap pertambangan tentu saja membutuhkan lahan yang luas. Akibatnya luasan bumi yang digali oleh penambang tentu akan luas pula. Hal itu diikuti pula perluasan area jalan dan tempat tinggal bagi para pekerja tambang. Akibat dari pekerjaan tersebut tentu bisa ditebak. Vegetasi yang harus dibabat untuk semua kegiatan itu sangat luas sekali. Hal lainnya adalah kegiatan tambang yang berupa pelepasan gas dan debu ke udara. Deforestasi dan polusi merupakan masalah utama dalam setiap adanya kegiatan pertambangan.
Selain masalah deforestasi dan pencemaran udara, kegiatan pertambangan juga menyebabkan tercemarnya tanah. Walaupun perusahan tambang sudah mencoba membuang limbahnya melalui pipa dan dialirkan ke sungai. Namun tidak ada yang bisa menjamin peluang kebocoran pipa. Bila limbah itu masuk ke dalam tanah, tentu hasilnya adalah tanah menjadi tidak subur. Bahkan berpeluang besar tidak bisa lagi ditanami.
Selain itu, dampak buruk pertambangan bagi air. Bahan kimia seperti merkuri, sianida, asam sulfat, arsen, dan merkuri metil merupakan bahan wajib yang digunakan dalam setiap tahapan pertambangan. Semua bahan kimia itu bila terlepas ke dalam air akan menimbulkan kerusakan yang luar biasa. Pengalaman juga menunjukkan, walau para pelaku tambang telah mengetahui daya rusak yang disebabkan oleh bahan-bahan berbahaya di atas, tapi dalam praktiknya para pelaku penambang tetap melakukan pelanggaran. Efeknya tentu sudah bisa ditebak, ketika bahan berbahaya itu masuk kedalam air akan menimbulkan keracunan dan menyebabkan matinya flora dan fauna yang ada di dalam ekosistem sungai[19].
Munculnya industri-industri pertambangan di Indonesia mempunyai dampak positif dan dampak negatif bagi masyarakat dan negara. Dampak positif adanya industri pertambangan antara lain menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat, hasil produksi tambang dapat digunakan untuk memenuhi permintaan pasar domestik maupun pasar internasional, sehingga hasil ekspor tambang tersebut dapat meningkatkan pendapatan dan pertumbuhan ekonomi negara. Industri pertambangan juga dapat menarik investasi asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia.
Namun, terdapat masalah yang harus diperhatikan oleh pemerintah, yaitu masalah penambangan ilegal. Penambangan ilegal dilakukan tanpa izin, prosedur operasional, dan aturan dari pemerintah. Hal ini membuat kerugian bagi negara karena mengeksploitasi sumber daya alam secara ilegal, mendistribusikan, dan menjual hasil tambangnya secara ilegal, sehingga terhindar dari pajak negara. Oleh karena itu, pemerintah harus menerapkan aturan yang tegas terhadap para pihak yang melakukan penambangan ilegal.
Kemudian, di sisi lain, industri pertambangan juga mempunyai dampak negatif, yaitu kerusakan lingkungan. Wilayah yang menjadi area pertambangan akan terkikis, sehingga dapat menyebabkan erosi. Limbah hasil pengolahan tambang juga dapat mencemari lingkungan. Kegiatan industri tambang yang menggunakan bahan bakar fosil menghasilkan CO2 yang dapat menimbulkan efek rumah kaca dan pemanasan global.
Untuk mengatasi dampak negatif tersebut, maka setiap perusahaan harus memiliki tanggung jawab sosial atau Corporate Social Responsibility (CSR). CSR harus diterapkan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip pembangunan berkelanjutan adalah memenuhi kebutuhan sekarang tanpa harus mengorbankan kebutuhan generasi masa depan.
CSR dapat dilakukan di berbagai bidang seperti sosial, ekonomi, dan lingkungan. Di bidang sosial, perusahaan dapat memberikan dana beasiswa pendidikan bagi pelajar, pelatihan bagi karyawan, dan mendirikan perpustakaan. Di bidang ekonomi, perusahaan dapat membantu usaha-usaha kecil menengah (UKM) dengan memberikan pinjaman dana untuk mengembangkan usaha mereka. Kemudian, di bidang lingkungan perusahaan dapat melakukan reklamasi area bekas tambang, menanam bibit pohon, dan mengolah limbah dengan cara daur ulang.Jadi, tidak hanya mengambil keuntungan dengan mengeksploitasi sumber daya alam yang ada, tetapi juga harus dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan menjaga kelestarian lingkungan hidup[20].
Penutup
Kesimpulan
- Konflik tambang di Aceh muncul karena faktor tidak tunduknya perusahan tambang melaksanakan undang-undang dan peraturan yang mengatur eksplorasi dan eksploitasi.
- Konflik pertambangan lahir karena Pemerintah Aceh tidak mempersiapkan terlebih dahulu sumber daya manusia di sekitar perusahan dan lokal, infrastrukturdan fasilitas pendukung, keamanan, kebijakan yang melindungi hak-hak masyarakat, dan pemberdayaan ekonomi bagi masyarakat sekitar perusahan.
- Konflik pertambangan hadir tengah-tengah masyarakat Aceh karena Pemerintah Aceh menyediakan lapangan pekerjaan sehingga masyarakat dengan inisiatif sendiri melakukan penambangan illegal dengan metode tradisional.
Rekomendasi
- Pemerintah Aceh harus melakukan evaluasi secara menyeluruh keberadaan perusahan tambang di Aceh.
- Pemerintah Aceh harus berani bersikap tegas kepada perusahan tambang yang tidak taatdan tunduk terhadap UU dengan mengeluarkan dari Aceh sekaligus dihentikan izin beroperasinya.
- Pemerintah Aceh harus mempersiapkan kapasitas masyarakat Aceh di bidang pertambangan.
- Pemerintah Aceh harus membuat blue print (road map) pengelolaan tambang yang minim dampak, berkelanjutan, dan membawa keuntungan positif bagi masyarakat serta pemerintah sendiri.
- Pemerintah Aceh harus membangun infrastruktur dan fasilitas pendukung kemajuan industry pertambangan di Aceh.
imur Ekspress, 13 Juni 2012
Average Rating