Politik Gagasan dalam Pilpres 2014
Oleh : Aryos Nivada
TERM dari politik gagasan atau dalam bahasa Aceh disebut politek seumikee, merupakan dasar membangun sebuah peradaban, pembangunan, dan negara. Filosofi politik gagasan bermuara pada dinamika dialektika pemikiran untuk memberikan pencerdasan informasi dan pengetahuan. Pondasi gagasan pemikiran terlebih dulu harus ditanamkan hegemoni kultural dan ideologis, sehingga melahirkan intelektual organik.
Sejalan dengan pemikiran Antonio Gramsci, dirinya menekankan kepada kekuatan dan konsensus, otoritas dan hegemoni, kekerasan dan kesopanan. Hal penting harus dicatat adalah para intelektual harus berperan menyelesaikan urusan dan kebutuhan kehidupan sosial di luar kaidah saintifik.
Sir Isaiah Berlin, seorang filsuf politik asal Inggris, dalam bukunya The Power of Ideas, pernah mengatakan tentang pentingnya gagasan bagi kemajuan peradaban manusia. Ia kurang lebih mengatakan bahwa gagasan-gagasan filosofis yang dicermati seorang filsuf/pemikir dalam keheningan bisa menghancurkan suatu peradaban. Dari sini kita bisa mengatakan bahwa suatu kelompok, masyarakat, atau bangsa yang abai tentang pentingnya gagasan dalam membangun kehidupan sosial politik dapat dipastikan akan terpuruk dan jatuh ke dalam keterbelakangan dan akhirnya terombang-ambing dalam gejolak perubahan zaman.
Dengan membangun dan membudayakan politik gagasan akan menambah khasanah dan pengembangan pemikiran untuk menyelesaikan urusan kebutuhan publik dan masalah masyarakat banyak. Bukan malahan menyebarkan fitnah dan mengadu domba satu sama lain, sebagaimana kerap terlihat di media sosial, seperti facebook, twitter, dan lain-lain.
Pendidikan politik
Seharusnya gagasan pemikiran visi dan misi serta programatik tersampaikan dan terpublikasi kepada khalayak ramai dari para pendukung masing-masing kandidat presiden. Maka fungsi kita, partai politik, dan tim suksesnya telah memberikan pendidikan politik bagi masyarakat agar tidak salah memilih dan mengenal betul figur kandidat yang nantinya akan dipilih pada 9 Juli 2014.
Mirisnya para politikus, tim sukses, dan simpatisan para kandidat presiden terjebak (terperangkap) pada cara-cara pragmatis, transaksional dengan model demokrasi yang cenderung liberal. Bagi sebagian orang politik gagasan menjadi aneh diterapkan di era kekinian, karena mereka terjebak dalam cara pandang membenci, menghujat, dan mencari kesalahan. Tetapi melupakan esensi nilai dari politik gagasan dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat ataupun orang banyak.
Di sisi lain peran pendukung dari para kandidat harus menjadi katalisator dan membangun mindset (cara berpikir) cinta damai dalam meraih dukungan atau simpatik dari masyarakat. Ketika mereka “para pendukung” sadar akan pentingnya menjaga dan memberikan pendidikan politik gagasan maka cacian, hujatan yang saya katakan tidak akan terjadi pada pesta demokrasi pemilihan presiden. Sehingga bangsa kita memiliki karakter berpolitik dengan etika. Generasi mendatang akan mempraktikkan politik gagasan dan menjadi contoh yang baik.
Mengukur keseriusan gagasan bisa nilai dari apakah gagasan pemikiran yang tertuang dalam visi dan misi serta program mencerminkan kebutuhan publik dan arah membangun bangsa Indonesia. Kita, masyarakat, selalu bisa menilainya dengan menggunakan indicator evaluasi. Apakah perencanaan visi, misi, dan programatik para kandidat presiden menerapkan metode partisipatif?
Apakah substansi visi, misi, dan programatik menjawab permasalahan bangsa? Apakah praktik menjalankan programatik diturunkan sampai ke level teknis? Bagaimana pola visi, misi, dan programatik tersambungkan pada persaingan antar negara? Bagi pendapat publik menilai politik gagasan harus berpijak kepada UUD 1945 dan Pancasila. Pertanyaannya adalah apakah dalam penyusunannya memperhatikan kedua aspek tersebut.
Gagasan para kandidat
Mencermati gagasan pemikiran yang ditawarkan dua pasangan kandidat presiden dan wakil presiden 2014-2019 yakni Joko Widodo dan Yusuf Kalla serta Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa. Keduanya sama-sama memiliki visi dan misi memperbaiki bangsa Indonesia. Baik di sektor pendidikan, penegakan hukum, kepemerintahan, kesejahteraan, sosial dan budaya, serta kekuatan keamanan dan pertahanan.
Intinya dari visi dan misi harus melekat kedaulatan wilayah, kedaulatan ekonomi, kedaulatan politik, kedaulatan hukum. Sebagian mengatakan lebih kuat visi dan misi dari Prabowo daripada Jokowi, akan tetapi visi dan misi Prabowo tidak menjelaskan secara detail dalam penjelasan di visi dan misi. Sedangkan Jokowi menjelaskan disetiap visi dan misi hingga diturunkan teknisnya.
Jika menganalisis kelemahan dan kelebihan dari visi dan misi serta programatik di kedua kandidat presiden dan wakilnya pastinya masing-masing pendukung ataupun tim suksesnya akan mengatakan capres pilihannya visi dan misi paling hebat. Paling penting visi dan misi maupun programatik tidak hanya sebatas kertas berisikan tulisan. Tetapi terimplementasikan secara nyata dan bukan hanya impian semu, sebatas pencitraan saja tanpa aksi nyata.
Mengakhiri tulisan ini, sebagus apa pun politik gagasan ketika tidak memiliki pengalaman mengelola dan menjalankan kepemerintahan, maka tidak akan berjalan gagasan pemikiran yang bagus tersebut. Jika tidak memiliki kemampuan, keseriusan, dan komitmen menjalankan gagasan pemikiran dari para kandidat presiden, maka bisa dipastikan tidak akan ada perubahan di Indonesia.
Jadi, pilihlah pemimpin bangsa ini dengan memahami dan mengerti betul gagasan pemikiran yang akan diterapkan bagi kita semua, serta tinggalkan cara-cara kuno seperti black campaign (kampanye hitam), intimidasi, kekerasan dan perilaku tak terpuji lainnya. Karena itu, kepada kedua pasangan capres/cawapres kita berharap agar dalam masa kampanye ini memberikan pendidikan politik yang berkualitas kepada rakyat dengan mengedepankan politik beretika dan beradab. Semoga!*
*Telah dimuat di Opini Harian Serambi Indonesia 10 Juni 2014
Average Rating