Evaluasi Pemilu 2014 di Aceh

Read Time:10 Minute, 33 Second
“Berakhir sudah pemilu di Aceh, apakah demokratis? Apakah marak terjadi pelanggaran pemilu? Dan bagaimana dengan kinerja penegak hukum yang terlibat pada pemilu 2014. Semua akan terungkap pada analisis di bawah ini”.
 
Abstrak
Analisis ini memfokuskan kepada pemantauan penyelenggara, fakta penyimpangan selama proses pemilu berlangsung dan kecurangan (pelanggaran) di hari pencoblosan, serta menilai kinerja dan peran aparat penegak hukum. Proses pengumpulan data dilakukan dengan penginputan media, data lembaga, dan wawancara. Pendekatan dari analisis yakni deskriptif analitik yang akan dijabarkan di setiap fokus pembahasan subtansi pada analisis ini.
Latar Belakang
Jalannya pemilihan umum untuk memilih anggota dewan telah usai dilakukan secara serentak di Indonesia termasuk di Aceh. Partisipasi dari partai politik sebanyak 15 partai terdiri dari 12 partai nasional dan 3 partai lokal. Sedangkan jumlah pemilih di Aceh tercatat sebanyak 3.315.094 pemilih dengan 10.839 TPS yang tersebar di 6.455 desa. Hasilquick count dari desk Pemilu Legislatif 2014 Biro Pemerintahan Sekretariat Daerah Aceh menunjukkan Partai Aceh meraih suara terbanyak, dimana mengumpulkan suara 29,17 persen. Disusul Partai NasDem (11,36 persen), Partai Golkar (10,27 persen), dan Partai Demokrat (7,93 persen). Adapun Partai Nasional Aceh (PNA) hanya menduduki peringkat lima dengan perolehan 6,82 persen suara. Partai-partai lainnya memperoleh suara sementara di bawah angka 6,5 persen.
Walaupun sudah dikeluarkan hasil quick count dari Biro Pemerintahan Provinsi Aceh, tapi hanya lembaga penyelenggara pemilu, yakni KIP saja, yang menyatakan sah perhitungan suara bagi partai politik yang berpartisipasi di pemilu. Sekaligus menyatakan siapa pemenang dari pemilu tersebut. Diharapkan dalam perhitungan suara yang dilakukan KIP Aceh tidak melakukan manipulasi suara bagi keuntungan partai politik. Jika terjadi maka KIP Aceh sudah melanggar tugas dan fungsinya sesuai Undang-undang No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum dan peraturan kepemiluan yang dikeluarkan Komisi Pemilihan Umum.
Tindakan melanggar seumpamanya dilakukan KIP Aceh telah menciderai semangat berdemokratis. Ini bisa dikatakan kemunduran demokrasi itu sendiri. Untuk itu komitmen, ketegasan, dan tanggung jawab harus tunduk terhadap perundang-undangan yang mengikat lembaga penyelenggara.
Tapi harapan dibuat sirna ketika fakta lapangan berbicara bahwa KIP Aceh sudah dinilai publik tidak lagi independen. Bahkan media cetak turut mempertanyakan independensi dari KIP Aceh. Pernyataan dilansir oleh Serambi Indonesia di editorialnya berjudul “Benarkah KIP tidak netral” (01/04/2014). Makin memperjelas ketidaknetralan dari KIP Aceh, ketika di tracking pemberitaan media cetak dan online. Berikut ini hasilnya:

NO KASUS KETERANGAN
  1 KIP Sabang berhentikan anggota PPS Anoi Itam. Serambi Indonesia , 4 Maret 2014, hal. 6 KIP sabang memberhentikan Iswanidar, anggota PPS Desa Anoi Itam, Kecamatan Suka Jaya, Kota Sabang, karena terbukti terlibat sebagai pengurus salah satu partai politik. Keputusan ini diambil setelah menindaklanjuti laporan dari Panwaslu tentang dugaan keterlibatan Iswanidar sebagai pengurus parpol.
  3 Komplain keputusan administrasi pemilu terkait pencoretan PNA Singkil, Ketua PNA Aceh: KIP harus adil. Serambi Indonesia, 18 Maret 2014, hal. 6 Ketua DPP PNA Aceh menyatakan bahwa KIP harus adil dalam memberikan keputusan. Menurut informasi yang kami terima banyak partai lain di Tamiang yang juga telat memberikan laporan dana awal kampanye, namun tidak dicoret KIP Aceh, kami memiliki bukti-bukti bahwa partai lain juga terlambat, tapi tidak ditindak KIP Aceh, selain itu dalam surat KIP kepada PNA tidak dicantumkan batas jam penyerahan laporan dana kampanye, namun hanya batas tanggal saja.
4 Perekrutan anggota pengawas pemilu kecamatan di Langsa dinilai tidak selektif, karena ada indikasi adanya tim sukses caleg yang menjadi anggota Panitia Pengawas Pemilu. Serambi Indonesia, 15 Januari 2014 Panwascam: kami akan memanggil anggota PPS tersebut, jika terbukti akan kami tindak.
  5 Zam-zam Mubarak (Caleg DPRK Aceh Tengah dari PKS). LeuserAntara.com: 9 Feb 2014 KIP Aceh telat melantik KIP Aceh Tengah. Hal ini memungkinkan adanya ketidaknetralan KIP Provinsi, karena jika Aceh Tengah belum memiliki KIP, maka semua persoalan ditangani oleh KIP Aceh. selain itu kondisi ini dapat memicu terjadinya berbagai kecurangan, seperti munculnya pemilih siluman. Panwaslu dan Bawaslu juga terkesan hanya sebagai pengawas pemilu biasa, karena mereka belum bisa menarik jarak dengan KIP.
6 Bawa kertas suara sendiri, ketua KIP Aceh Timur diringkus polisi. www.merdeka.com, 08/04/2014 Ketua Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Timur, Ismail diringkus anggota Polres Aceh Timur karena membawa kertas suara sendiri dengan menggunakan mobil double cabin pribadinya.

Tidak hanya sebatas itu, data temuan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Aceh mencatat setidaknya terjadi 34 pelanggaran pemilu selama hari pencoblosan 9 April 2014, diantaranya adalah ditemukan ketidaknetralan penyelenggara pemilu ditingkat Komite Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Diambil beberapa kasus keberpihakan penyelenggara pemilu ditingkat KPPS terdapat di Desa Lamteuba, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar. Pada tempat tersebut, pengurus partai lokal tertentu mengarahkan KPPS untuk memenangkan salah seorang caleg dari partai lokal. KPPS terpaksa melakukan arahan dari pengurus partai lokal tersebut karena berada di bawah ancaman. Tidak netralnya penyelenggara juga ditemukan di Kabupaten Bireuen tepatnya di Cot Kuta, Kecamatan Kuala, kabupaten Bireuen, dimana ketua KPPS setempat diduga melakukan pencoblosan 3 lembar surat suara calon DPD. Kabupaten lainnya, yaitu Aceh Utara dan Aceh Tengah juga terdapat ketidaknetralan penyelenggara.
Dari kalangan organisasi masyarakat sipil, yakni Aceh Institute sebagai lembaga pemantau penyelenggara yang terdaftar di KIP Aceh melaporkan hasil pemantauannya memperlihatkan pihak penyelengara pemilu, baik KIP maupun Bawaslu, masih mengalami persoalan secara internal dan eksternal, sehingga menyebabkan proses pelaksanaan dan pengawasan pemilu tidak berjalan secara komprehensif dan integral. Secara umum, relasi antara KIP dengan Bawaslu tidak berjalan dengan baik. Beberapa rekomendasi dari Bawaslu terkait pelanggaran yang harus ditindaklanjuti oleh KIP tidak ditangani dengan baik. Sebaliknya, KIP juga tidak membangun koordinasi dengan baik dengan Bawaslu terkait dengan proses penyaluran kotak suara ke masing-masing wilayah. Begitu juga berbagai pelanggaran alat peraga kampanye, seperti terjadi pembiaran tanpa adanya proses eksekusi secara hukum (Policy Brief, 03/04/2014).
Menilai proses pelaksanaan hari H pencoblosan, Forum LSM Aceh menerima data intimidasi dan tindakan kekerasan melalui SMS Center. Terdapat tujuh (7) data yang dipublikasi, yaitu:

  1. Dapil 4 Aceh Timur meliputi Kecamatan Peureulak Kota, Peureulak Barat, Peureulak Timur, Sungai Raya dan Rantau Panjang. Juga di dapil 5, Kecamatan Lokop, Peunaron, Simpang Jernih, Rantau Selamat dan bayeun.
  2. Gampong Meunasah Balek, Kecamatan Meudu, Kabupaten Pidie Jaya.
  3. TPS Gampong Nya, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Aceh Besar.
  4. Gampong Ranto Panjang Barat, Kecamatan Meurebo, Kabupaten Aceh Barat.
  5. Gampong Lhok Dalam, Kecamatan Peureulak Kota, Kabupaten Aceh Timur, berupa banyaknya timses Caleg yang berkeliaran di sekitar TPS.
  6. Juga di Gampong Lhok Dalam, Kecamatan Perlak Kota, yaitu banyaknya caleg yang hadir ke TPS untuk melakukan kampanye di sekitar TPS.
  7. Gampong Pulo Mangat, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara, khususnya TPS 27. Bentuk intimidasi yang dilakukan berupa masuknya timses salah satu partai lokal di Aceh ke TPS dan menjaga bilik suara, memaksa masyarakat untuk memilih partai tertentu, kertas suara tersebut sudah terlebih dahulu dicoblos, kemudian diberikan kepada masyarakat untuk dimasukkan kedalam kotak suara.

Dampak maraknya penyimpangan pada tahapan pemilu hingga di hari pencoblosan memicu penolakan dari partai politik. Walaupun tidak semua partai politik di kabupaten/kota di Provinsi Aceh menolak hasil pemilu yang sudah berjalan pada 9 April 2014. Ditunjukan di Kota Sabang, dimana sebanyak 13 partai politik di Sabang mengadakan rapat mendadak di kantor Komisi Independen Pemilihan (KIP) Sabang, Jumat (11/4). Dalam rapat tersebut mereka mengambil kesepakatan untuk menuntut pemilu ulang. Alasannya pelaksanaan Pemilu di Sabang tak demokratis karena banyak pelanggaran. Dalam pertemuan itu mereka menguraikan satu persatu pelanggaran pemilu yang terjadi di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ditambah lagi penolakan lima partai politik di Banda Aceh, dimana menolak hasil pemilu dan meminta dilakukan pemilu ulang khususnya untuk dapil 1, yaitu Kecamatan Kuta Raja dan Meuraxa karena dinilai terindikasi politik uang. Adapun kelima partai tersebut meliputi Partai Gerindra, Partai Aceh, Partai Golkar, PDIP dan PPP.
Ketika penolakan terjadi dari berbagai partai politik di kabupaten/kota di Aceh, berpotensi besar konflik sesama aktor politik akan terjadi. Demo-demo menuntut penolakan hasil pemilu berpeluang terjadi. Alasan demo dikarenakan banyak pelanggaran dibiarkan oleh penyelenggara pemilu di Aceh. Apalagi metode demo menjadi cara menunjukan tekanan kepada penyelenggara agar memenuhi tuntutan dari partai politik yang tidak menerima hasil pemilu. Di lain pihak, memicu partai politik lain menerima hasil kemenangan pemilu. Partai politik pemenang tidak tinggal diam, pastinya akan melancarkan penggalangan massa untuk mendemo menuntut pengesahan hasil pemilu oleh penyelenggara pemilu.
Dampak lanjutan lainnya pasca pemilu ini, calon legislator yang bertarung pada pemilu legislatif pekan lalu kini sedang menghadapi masalah tekanan jiwa. Benar juga ramalan bahwa kalangan calon legislatif (caleg) yang gagal terpilih pada pemilu legislatif pada 9 April lalu akan mengalami gangguan kejiwaan (depresi). Sejumlah kasus sudah muncul diberbagai daerah. Kasus gangguan kejiwaan akan mulai mencolok pada dua bulan mendatang. Saat ini sudah tampak tanda-tanda caleg mengalami stres. Disisi lain, caleg gagal dihadapi pada hutang yang menumpuk ketika digunakan untuk kepentingan kampanye dan keperluan logistik.
Kinerja Aparat Penegak Hukum
Selanjutnya mengevaluasi kinerja dari aparat penegak hukum dalam menjalankan tugas dan fungsinya memberikan pengamanan selama berlangsungnya pemilu 2014 di Provinsi Aceh. Banyak hal ditemukan Polda Aceh kurang optimal kinerjanya. Bahkan elemen masyarakat sipil menganggap Polda Aceh setengah hati bekerjanya memberikan rasa aman dan damai selama pelaksanaan pemilu. Pengungkapan kasus kriminalitas bernuansa politik tidak semua terungkap secara jelas siapa aktor intelektualnya. Dibuktikan dari data Polda Aceh untuk kasus pidana terkait pemilu legislatif 2014 yang baru ditangani sebanyak 19 kasus. Perinciannya 6 kasus sudah dinyatakan P21 dan sudah tahap ke 2. Sedangkan 2 kasus dihentikan penyelidikannya dikarenakan tidak memenuhi unsur pidana. Selanjutnya 2 kasus dalam proses sidik penganiayaan kader PNA di Kota Makmur Aceh Utara dan kasus penyerangan Posko Nasdem serta penganiayaan simpatisan Partai Nasdem di Matangkuli Aceh Utara. 10 kasus masih tahap proses lidik.
Merujuk pada data Polda Aceh makin memperjelas lemahnya kinerja Polda Aceh dalam mengungkap kasus bernuansa politik. Tidak heran berbagai masyarakat sipil dan partai politik menilai Polda Aceh terkesan tidak profesional dan tersandera atas tekanan keadaaan. Atas lemahnya kinerja Polda Aceh berakibat maraknya kasus kriminalitas selama berlangsung pemilu. Terlihat dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merilis, sejak April 2013 hingga 17 Maret 2014, terjadi 32 kejahatan terkait pemilu di Provinsi Aceh. Daftar tersebut meningkat dibanding kondisi jelang pemilu tahun 2009 yang hanya 20 peristiwa. Sedangkan jelang pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh pada tahun 2012 jumlahnya mencapai 22 peristiwa. 32 kejahatan yang terjadi terdiri dari tujuh kasus penganiayaan, enam pembakaran mobil, empat pengancaman, tiga pembunuhan, tiga penculikan, tiga pembakaran posko, dua penembakan posko, dua pelemparan granat kantor, satu perusakan mobil, dan satu aksi pengeroyokan. Di samping itu, juga terdapat 18 pelanggaran pidana jelang Pemilu 2014 yang terdiri dari 15 perusakan alat peraga, dua kampanye di luar jadwal, dan satu pemalsuan dokumen. Maka, jika angka tersebut ditotal dengan jumlah kejahatan menjelang pemilu menjadi 50.
Ketika hari pencoblosan hasil pemantauan Aceh Institute menemukan banyak polisi hanya menjadi patung dan tertidur tanpa melakukan penjagaan ekstra ketat di TPS. Menariknya lagi hampir seluruh anggota Polda Aceh yang dilibatkan di pemilu tidak memahami informasi utuh tentang proses pemilu serta kelemahan memahami peraturan pemilu. Hal disebabkan anggota Polda Aceh tidak dibekali dengan penguatan kapasitas dalam hal kepemiluan.
Sudah semestinya Polda Aceh menunjukan kepada publik Aceh bahwa institusinya bekerja secara maksimal, serius, dan berani mengungkap secara transparansi dan akuntabilitas mulai dari aktor lapangan, pemberi perintah, penyandang dana, dll. Akan tetapi berbanding terbalik dari harapan masyarakat, dimana Polda Aceh hanya mampu mengungkap kasus sangat minim, bilamana dibandingkan dengan data LBH Banda Aceh terkait kasus kriminalitas bermuatan politis. Seharusnya Polda Aceh tergabung ke dalam GAKUMDU (Gabungan Penegakan Hukum Terpadu) melakukan upaya maksimal memproses kasus-kasus kekerasan ke peradilan (dimejahijaukan). Saat ini diperlukan komitmen dan keseriusan dari pihak Polda Aceh untuk mengungkap kasus kriminalitas bernuansa pemilu.
Penutup
Analisis terhadap evaluasi pemilu 2014 di Provinsi Aceh memberikan kesimpulan bahwa lembaga penyelenggara tidak netral karena berpihak kepada salah satu partai politik, saling menyalahkan atas ketidakberesan penyelenggaraan pemilu, dan bertindak diluar perundang-undangan serta peraturan yang dimandatkan secara institusi. Ditambah lagi fungsi GAKUMDU tidak begitu dioptimalkan dalam menyelesaikan kasus-kasus terkait pelanggaran pemilu yang dilakukan caleg dari berbagai partai politik. Sedangkan aparat penegak hukum tidak optimal dan cenderung menunjukan kinerja yang tidak profesional dalam mengungkapkan kasus -kasus kriminalitas bernuansa politik.
Saran agar tidak terulang kembali tindakan penyimpangan yang dilakukan lembaga penyelenggara dan partai politik, maka diperlukan kebijakan atau peraturan sebagai berikut:

  1. Proses rekrutmen komisioner Komisi Independen Pemilihan dilakukan secara terbuka dengan diliput oleh media elektronik dan cetak. Bahkan jika diperlukan pelibatan dari organisasi masyarakat sipil di setiap tahapan proses rekrutmen komisioner KIP.
  2. Harus dipertegas peraturan dalam mengontrol caleg dari berbagai partai politik sekaligus peraturan dibuat harus memberikan efek jera bagi caleg yang melanggar.
  3. Partai politik harus memperbaiki sistem pengkaderan agar memiliki kualitas kader yang dapat dipercaya untuk menjadi caleg. Hal lain, yakni partai politik harus memberikan hukuman bagi kadernya yang melakukan penyimpangan.
  4. Aparat penegak hukum harus lebih berani, tegas, dan berkomitmen serius bekerja mengungkapkan kasus-kasus kriminalitas bermuatan politis.
  5. Melibatkan ulama dalam memberikan nasehat-nasehat kepada caleg sebelum berpartisipasi di pemilu.

(Tulisan ini sebelumnya telah dimuat di website The Aceh Institute)

About Post Author

JSI

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply