Netralitas Aktor Keamanan Dalam Pemilu Aceh
Oleh : Aryos Nivada
Aktor keamanan sangat vital perannya dalam mensukseskan pemilu 2014. Institusi yang memastikan stabilitas keamanan bisa terjamin adalah institusi Kepolisian, kalau pun diperlukan pelibatan dari Tentara Nasional Indonesia harus sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu UU No. 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara. Namun ketika tugas pokok dan fungsinya (Tupoksi) aktor keamanan tergadaikan dengan kepentingan politik praktis, maka semakin jauh makna dan harapan pada reformasi di institusi aktor keamanan tersebut.
Ketika kita letakkan pada kerangka teori pemikiran dari Nasikun (2001:78) dalam tulisannya berjudul ”Militerisme dan Politik Kesukuan” diterbitkan oleh Puslitbang Kemasyarakatan dan Kebudayaan LIPI, masuknya TNI ke politik dikarenakan hadirnya politik kesukuan yang disistematiskan dalam kendali militer, yang memiliki kepentingan di ranah politik.
Menariknya dari pemikiran Todung Mulya Lubis di sebuah Jurnal Hukum dan Pembangunan (2009:61) Fakultas Hukum Indonesia. Todung mengatakan tidak ada relasi kuat keterlibatan TNI ke ranah politik bagian dari hak asasi manusia. Karena anggota TNI dikhususkan sebagai alat negara. Tetapi hak ikut serta pada pemilu dan pilkada bisa dilakukan ketika sudah tidak berstatus lagi sebagai anggota TNI.
Bagi pemikiran saya, anggota TNI terlibat pada pilkada harus dikaji pada tataran sosiologi, filosofi, profesionalisme, yuridis, dan aksiologisnya. Baru disimpulkan apakah boleh atau tidak anggota TNI masuk ke arena pilkada.
Analisis terhadap faktor yang melatarbelakangi aktor keamanan terlibat kembali dalam gelanggang politik menurut saya, pertama; terjebak kenangan dimasa era berjayanya yakni orde baru yang menerapkan Dwifungsi ABRI, kedua; masih kuatnya karakter personal aktor keamanan yang menganggap negara lebih aman di kontrol oleh mereka,ketiga; tuntutan kepentingan politik dan ekonomi, dan keempat; paradigma profesionalisme masih belum menginternalisasi di personal aktor keamanan.
Namun, perlu dicatat juga bahwa aktor keamanan terlibat urusan politik praktis, dikarenakan situasi perpolitikan di Indonesia belum sehat, sehingga magnet tarik menarik kekuasaan masih direproduksi. Parahnya lagi aktor politik masih menganggap restu dan keterlibatan aktor keamanan, mensukseskan sekaligus memperbesar peluang meraih kekuasaan dan kemenangan.
Dengan demikian tidak salah jikalau publik menilai aktor keamanan belum solid dan berkomitmen dalam menjaga amanah dan menerapkan mandat konstitusi. Bilamana penilaian masyarakat tidak di follow up (gubris), maka semakin turunnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi aktor keamanan. Jangan salah relasi dalam berinteraksi, makin menjauhkan aktor keamanan dengan masyarakatnya. Dampak lanjutannya, yaitu kondisi institusi aktor keamanan terkotak-kotak oleh ideologi partai, bahkan suku dan agama yang dipolitisir.
Fakta lainnya, aktor keamanan masuk ke arena politik karena perilaku para politikus justru yang memulai dengan menggoda TNI maupun Polisi untuk kembali bermain politik praktis. Pola ini sengaja menjerumuskan personal/anggota dari institusi vertikal untuk kedua kalinya. Jika kita telusuri modusnya, ketidaknetralan aktor keamanan itu dilakukan, baik secara tersistematis maupun sporadis.
Fakta Intervensi Aktor Keamanan
Dalam konteks Aceh, tindakan ketidaknetralan dari aktor keamanan pada pesta Pemilihan Umum (Pemilu) eksekutif dan legislatif sangat terlihat jelas sekali. Mari melakukan pengecekan yang dilansir dari berbagai media cetak/online tentang adanya indikasi keterlibatan TNI dalam pilkada di Aceh tahun 2006.
Hasil dari Pemantauan Uni Eropa (UE) mendapatkan sejumlah bukti keterlibatan dan intervensi oknum TNI pada saat pemungutan suara di Kecamatan Samatiga di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Aceh Barat. Bukti itu ditunjukan dari sejumlah foto yang direkam UE. Keberadaan UE pada waktu itu atas undangan dari Pemerintah RI dan Komisi Independen Pemilihan Provinsi NAD memantau pelaksanaan Pilkada di Kabupaten Aceh Barat dan Aceh Barat Daya.
Belajar dari pengalaman lagi, Posko Bersama Masyarakat Sipil Pantau HAM pada pemilu Aceh melalui pernyatan sikap bersama pada 7 April 2009 yang dikeluarkan oleh komponen masyarakat sipil terdiri dari KontraS Aceh, LBH Banda Aceh, Koalisi NGO HAM, ACSTF, LINA, Beujroh, Katahati Institute, Aceh Institute, GeRAK Aceh, AJMI, Radio Komunitas Suara Perempuan, PCC, FAA, SPKP HAM, Care Aceh.
Dari hasil pantau Posko Bersama Masyarakat Sipil Pantau HAM mendapatkan temuan penambahan sebanyak 5 pos TNI di Kabupaten Aceh Utara dan Aceh Jaya, yaitu: Pos TNI Desa Tuwi Eumpeuk, Kec. Panga, Kab. Aceh Jaya, Pos TNI Desa Alue Jang Sarah Raya, Kec. Teunom, Kab. Aceh Jaya, Pos TNI Desa Tumpok Peureulak, Kec. Matangkuli, Aceh Utara, Pos TNI Desa Kampoeng Pirah, Kec. Matangkuli, Aceh Utara, dan Pos TNI Desa Meunasah Rayeuk, Kec. Nisam, Aceh Utara (http://www.kontras.org, Banda Aceh, 7 April 2009). Pada pilkada tahun 2013, anggota TNI aktif ikut serta pada pilkada Kabupaten Aceh Selatan, walaupun akhirnya mengundurkan diri.
Baru-baru ini saja, pernyataan mengejutkan dikatakan Kapolri Sutarman bahwa pelaku penembakan terhadap posko pemenangan caleg Nasdem di Kabupaten Aceh Utara, berasal dari kalangan angggota TNI, yaitu Praka Heri. Dia merupakan anggota Batalyon 111/Raider Kodam Iskandar Muda Aceh. Heri diduga meminjamkan senjata api laras panjang organik jenis SS-2 V1 miliknya kepada salah seorang pelaku bernama Rasyidin alias Mario. Diduga, Heri meminjamkan senjata itu dalam kondisi di bawah pengaruh obat-obatan. Masih menurut Kapolri, motifnya adalah politik. (tribunnews.com, 04/04/2014).
Kontrol Sipil dan Aktor Keamanan
Kontrol sipil atas kedua institusi vertikal harus menjadi agenda utama dari kalangan masyarakat sipil. Tujuannya agar tegak supremasi sipil. Kontrol itu melalui kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap kerja-kerja di kedua institusi itu. Ketika sudah berjalan, maka otomatis masyarakat sipil telah mewujudkan reformasi yang menjadi agenda utama di kedua institusi tersebut. Kontrol sipil yang obyektif bertujuan memaksimalkan profesionalisme militer.
Disisi lain, kalangan masyarakat sipil dituntut membantu kerja-kerja polisi (Polda Aceh). Bentuk bantuannya memberikan informasi pelaku yang melakukan tindakan kejahatan berbau politik. Bantuan lainnya menciptakan situasi keamanan agar stabilitas politik pada saat melaksanakan Pemilu 2014-2019 berjalan aman dan damai. Intinya polisi dalam masyarakat yang modern yang mengedepankan demokrasi, dimana polisi dan masyarakat dalam hubungan kekuatan yang relatif seimbang dan saling mengisi. Landasan utamanya adalah hubungan yang tulus antara polisi dengan warga masyarakat yang kemudian ditindaklanjuti dengan menerapkan strategi atau kebijakan untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif dan efisien dalam mengendalikan kejahatan.
Dalam paradigma demikian, polisi sadar akan kemampuannya yang terbatas serta tidak tahu kapan dan dimana kejahatan terjadi dan siapa pelakunya. Agar dapat mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan tugasnya, maka polisi harus mendapatkan dukungan atau tempat dalam kehidupan masyarakat. Hal ini dapat diupayakan dengan mengurangi rasa ketakutan masyarakat akan adanya gangguan kriminalitas politik (Aryos Nivada, SI: 26/02/2011).
Akhirnya, penulis hendak mengatakan bahwa aktor keamanan harus tunduk terhadap konstitusi yang mengamanahkan untuk menjalankan peran dan fungsinya secara kelembagaan/institusi. Sudah menjadi kewajiban bagi aktor keamanan menjalankan amanah konstitusi tersebut. Jika tidak dilakukan, maka aktor keamanan makin menunjukan kepada publik agenda reformasi yang dijalankan hanya sebatas wacana saja tanpa perubahan berarti. Sekali lagi aktor keamanan bukanlah penguasa yang mengatur perpolitikan di Indonesia. Mereka alat negara yang diperintahkan konstitusi untuk memberikan rasa aman dan damai bagi rakyatnya.
Average Rating