Potensi Swing Voter Pada Pemilu 2014
Oleh : Saddam Rassanjani
Kurang lebih dua bulan lagi masyarakat Indonesia akan segera menikmati penyelenggaraan pesta demokrasi di negaranya, hajatan lima tahunan tersebut sejatinya diselenggarakan untuk memilih legislatif dan eksekutif secara langsung.
Selain masyarakat secara luas, pihak yang paling menikmati euphoria terkait pelaksanaan pemilu 2014 nanti adalah partai politik. Bukan merupakan sebuah rahasia umum lagi jika eksistensi partai politik di publik cuma bersifat musiman layaknya seekor Beruang. Jika seekor Beruang melalang buana kesana-kemari ketika musim panas lalu kemudian memutuskan untuk tidur panjang pada musim dingin disebabkan karena kesulitan mencari makanan, maka cerita serupa juga dipraktekkan oleh partai politik. Paska pemilu 2009 partai politik yang ada di Indonesia bersama-sama melakukan hibernasi karena menganggap tidak ada yang dapat dilakukan ketika pemilu tidak ada. Namun menjelang diselenggarakannya pemilu, dengan semangat 45 mereka kompak bangun dari sarangnya masing-masing untuk mencari mangsa demi meraih kejayaan pada pemilu.
Geliat partai politik untuk mencari muka di mata masyarakat telah berlangsung sejak bendera start tanda dibolehkannya kampanye dikibaskan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 21 Tahun 2013 tentang penyelenggaraan pemilu disebutkan bahwasanya partai politik dapat berkampanye mulai dari tanggal 11 Januari 2013 sampai dengan 5 April 2014, jadi kurang lebih partai politik mempunyai waktu selama lima belas bulan untuk bisa memikat hati masyarakat (pemilih).
Kampanye sendiri merupakan tindakan yang telah dihalalkan oleh KPU untuk dilakukan oleh partai politik dalam rangka menarik minat calon pemilih. Memasuki bulan ke sebelas, intensitas rayu-merayu tentunya semakin gencar dilakukan, mengingat waktu yang hanya tinggal dua bulan lagi ini, maka waktu yang minim ini harus bisa dimanfaatkan seefektif mungkin oleh partai politik terutama para calon legislatif (caleg) jika memang sangat berkeinginan tinggi untuk menjadi wakil rakyat.
Tipologi Pemilih
Menurut hemat penulis, jika dilihat menurut perilaku pemilih, pemilih dapat diklasifikasikan kedalam tiga kategori: yang pertama adalah pemilih matang, yaitu pemilih yang sudah memiliki partai politik untuk dipilih, pemilih dari golongan ini biasanya berasal dari partai politik yang bersangkutan meliputi anggota partai, kader, simpatisan, atau bahkan anggota keluarganya, dan jika pemilu dilakukan hari ini, pemilih yang satu ini tentunya sudah memantapkan dirinya untuk memilih partai politik yang telah ditentukannya tersebut. Kemudian yang kedua adalah pemilih setengah matang, yaitu pemilih yang sudah memiliki partai politik untuk dipilih namun suatu waktu pilihannya dapat berubah ke partai politik lain, pemilik yang satu ini tergolong unik, mereka bebas mengubah arah pilihannya karena merasa tidak terikat dengan partai politik tertentu. Dan yang terakhir adalah pemilih belum matang, jenis pemilih yang bisa dimasukkan kedalam golongan ini adalah para pemilih pemula, yaitu pemilih yang untuk pertama kalinya akan menggunakan hak pilihnya pada pemilu. Dua tipologi terakhir yaitu pemilih setengah matang dan pemilih belum matang bisa diistilahkan dengan sebutan swing voter.
Swing Voter dan Pemilu
Pada tahun 2009, Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi Sosial (LP3ES) melakukan penelitian tentang tingkat kesetiaan para pemilih terhadap partai, dengan menggunakan data hasil pemilu 2004 dan 2009, hasil penelitian menunjukan kesetiaan pemilih untuk memilih partai yang pernah dipilih dalam pemilihan sebelumnya sangat rendah. Hanya 3 (tiga) partai yang memiliki konstituen dengan kadar kesetiaan tinggi, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dengan mempertahankan 53,70 persen pemilih, disusul partai Demokrat yang mempertahankan 42 persen, dan terakhir PDIP yang mempertahankan suara 38,60 persen. Sementara itu, data yang terbaru menunjukkan hal yang tidak jauh berbeda, menurut hasil penelitian dari Lembaga Survei Indonesia pada tahun 2012 yang lalu, angka swing voter di Indonesia saat ini cukup tinggi yaitu mencapai 80 persen, artinya pemilih yang konsisten terhadap pilihannya berjumlah sangat sedikit, yaitu hanya 20 persen saja.
Dari dua data atau hasil penelitian yang disebutkan diatas, dapat diketahui bahwasanya swing voter selalu hadir mewarnai dari pemilu ke pemilu, saling bergantinya pemuncak klasemen pemilu pada tiap musimnya merupakan bukti lain akan keberadaan kaum swing voter. Maka jika melihat beberapa bukti dan fakta yang ditemukan, merupakan suatu keniscayaan bagi para swing voter untuk hadir kembali meramaikan pemilu 2014 nanti.
Setiap partai politik tentunya mengklaim dirinya telah memiliki basis kekuatan dan dukungannya masing-masing. Namun, jika ingin memenangkan sebuah pemilu tentunya suara dari pada kader dan simpatisan saja tidaklah cukup, maka para pemilih yang digolongkan kedalam swing voter bisa dijadikan pendongkrak suara untuk bisa mengirimkan wakilnya ke parlemen.
Bahaya Swing Voter
Kehadiran pemilih “galau” pada tiap edisi pemilu pada dasarnya merupakan berkah dan anugerah tersendiri bagi partai politik dan para calegnya, para swing voter berpotensi besar untuk dijadikan lumbung suara agar bisa memanen kursi sebanyak-banyaknya bagi partai politik dan calegnya.
Disisi lain, kehadiran swing voter dapat memberikan sebuah citra negatif terhadap keberlangsungan demokrasi bagi sebuah negara, yaitu ketika swing voter akhirnya bertransformasi menjadi golongan putih (golput). Pemilih pada awal mulanya memilih untuk tidak/belum menentukan pilihan karena ingin melewati proses berfikir panjang terlebih dahulu agar lebih selektif dan objektif dalam menentukan pilihan, mereka tidak ingin kecolongan oleh oknum-oknum yang hanya menggunakan pemilu sebagai media perebutan kekuasaan, mereka ingin pemilu benar-benar menghasilkan pemimpin-pemimpin berkualitas yang mau memperjuangkan kepentingan rakyat. Ketika dalam masa pencarian tersebut mereka tidak menemukan apa yang dicari akhirnya sifat adaptif yang mereka terapkan tersebut lama kelamaan mampu merubah haluan mereka untuk lebih memilih golput daripada menggunakan hak pilihnya.
Sungguh ironis memang mendapati masyarakat yang tidak ingin menggunakan hak pilihnya. Namun justru hal ini menjadi sebuah peluang sekaligus tantangan bagi partai politik untuk bisa lebih berperan aktif dengan melakukan langkah-langkah sederhana seperti: pendidikan politik bagi pemilih pemula, melakukan proses rekrutmen caleg secara jelas, dan juga pelaksanaan kampanye yang positif. Hal-hal sederhana yang demikian jika serius dilakukan akan mampu mengkonversikan swing voter menjadi pemilih cerdas, daripada melakukan hal-hal negatif yang dapat memburukkan citra partai politik yang akhirnya menyiayiakan pemilih potensial tersebut berubah menjadi golput.
Average Rating