MK Putuskan Pemilu Serentak Tahun 2019
Permohonan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak dikabulkan sebagian oleh Majelis Hakim Konstitusi. Majelis membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) yang mengatur pelaksanaan Pilpres tiga bulan setelah pelaksanaan Pileg alias tidak serentak.
Namun dalam putusannya, MK menegaskan ketentuan tidak serentak itu tidak serta merta bisa diberlakukan pada Pemilu 2014 ini, tetapi berlaku pada Pemilu 2019. Alasannya, semua tahapan penyelenggaraan pemilu 2014 sudah berjalan dan mendekati pelaksanaan.
“Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya,” tutur Ketua MK, Hamdan Zoelva saat membacakan putusan bernomor 14/PUU-XI/2013 yang dimohonkan Effendi Gazali di ruang sidang MK, Kamis (23/1).
Mahkamah menyatakan penyelenggaraan Pilpres tahun 2004 dan 2009 setelah Pileg ditemukan fakta calon presiden terpaksa harus bernegosiasi (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang pada akhirnya mempengaruhi roda pemerintahan. Faktanya, tawar-menawar politik itu lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategis dan jangka panjang. Presiden sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial.
Penyelenggaraan Pilpres harus menghindari terjadinya tawar menawar politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang. Hal ini akan lebih memungkinkan penggabungan partai politik secara alamiah dan strategis, sehingga jangka panjang lebih menjamin penyederhanaan partai politik. “Dalam kerangka itulah Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 harus dimaknai,” ujar Hakim Konstitusi Ahmad Fadlil Sumadi saat membacakan pertimbangan hukumnya.
Menurut Mahkamah, hingga saat ini praktik ketatanegaraan Pilpres setelah Pileg ternyata tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki dan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), terutama antara DPR dan presiden tidak berjalan dengan baik.
“Norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pileg telah nyata tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 dan makna pemilihan umum yang dimaksud Pasal 22E ayat (1), (2) dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945,” lanjut Fadlil.
Dari sisi penafsiran sistematik dan original intent makna asli para perumus perubahan UUD 1945 disimpulkan penyelenggaraan Pilpres dilakukan serentak dengan Pileg. Hal itu secara tegas dikemukakan anggota Panitia Ad Hoc I BP MPR Slamet Effendy Yusuf yang mengemukakan “…yang dimaksud pemilu itu adalah pemilu untuk DPR, pemilu untuk DPD, pemilu untuk presiden dan wakil presiden, dan DPRD. Jadi, diletakkan dalam satu rezim pemilu.”
Diterangkan lebih lanjut secara teknis gambaran pelaksanaan Pemilu nantinya akan terdapat lima kotak, yaitu “… Kotak 1 adalah kotak DPR, kotak 2 adalah kotak DPD, kotak 3 adalah presiden dan wakil presiden, dan kotak 4 adalah DPRD provinsi, kotak 5 adalah DPRD kabupaten/kota.”
“Dari sudut pandang original intent penyusun perubahan UUD 1945 telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme penyelenggaraan Pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Pileg sesuai Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 dan penafsiran sistematis Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,” kata Fadlil.
“Sejalan dengan pemikiran itu, penyelenggaraan Pilpres dan Pileg secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraan lebih menghemat uang negara dan mengurangi gesekan horizontal masyarakat.”
Meski beralasan hukum, Mahkamah menyatakan semua tahapan dan persiapan teknis pelaksanaan pemilihan umum tahun 2014 telah dan sedang berjalan mendekati pelaksanaan. Demikian pula seluruh ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan pemilihan umum baik Pilpres maupun Pileg telah dibuat dan diimplementasikan sedemikian rupa.
Makanya, Mahkamah memandang apabila putusan MK langsung diterapkan setelah putusan ini diucapkan, tahapan pemilihan umum tahun 2014 yang saat ini telah dan sedang berjalan menjadi terganggu atau terhambat dan akan kehilangan dasar hukum.
“Hal ini dapat menyebabkan pelaksanaan pemilihan umum tahun 2014 mengalami kekacauan dan menimbulkan ketidakpastian hukum yang justru tidak dikehendaki karena bertentangan dengan UUD 1945,” lanjut Fadlil
Karena itu, Pasal 3 ayat (5) UU Pilpres dan ketentuan lain yang berkaitan dengan tata cara dan persyaratan pelaksanaan Pilpres diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum untuk melaksanakan Pilpres dan Pileg secara serentak. Kalaupun aturan baru itu dipaksakan dibuat dan diselesaikan demi menyelenggarakan Pilpres dan Pileg secara serentak tahun 2014, menurut penalaran yang wajar, jangka waktu yang tersisa tidak mungkin atau tidak cukup memadai membentuk peraturan perundang-undangan yang baik dan komprehensif.
“Meskipun Mahkamah menjatuhkan putusan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres, menurut Mahkamah penyelenggaraan Pilpres dan Pileg tahun 2009 dan 2014 yang diselenggarakan secara tidak serentak dengan segala akibat hukumnya harus tetap dinyatakan sah dan konstitusional.”
Kemenangan Rakyat
Selaku pemohon, Effendi Gazali mengucapkan rasa syukur dan menyambut baik putusan ini karena apa yang menjadi tuntutannya dikabulkan MK. Dia menilai putusan ini lebih menempatkan kepentingan bangsa ketimbang kepentingan pribadi atau golongan. “Ini merupakan kemenangan rakyat, tetapi kita kecewanya putusan ini ditunda-tunda pembacaannya,” ujarnya.
Pakar hukum tata negara, Irman Putra Sidin menilai, putusan MK ini memenangkan semua pihak. “Saya kira semua dimenangkan dengan putusan ini dan tidak ada yang kalah,” katanya.
Menurutnya, ini adalah putusan maksimal yang harus diterima semua pihak, meski dia berharap pemilu serentak mulai diselenggarakan pada Pemilu 2014. “Rupanya Mahkamah tidak mau mengambil resiko terlalu besar karena tahapan pemilu sudah berjalan,” ujar Irman.
Sementara menurut anggota Komisi III DPR RI Fraksi PDI-P Trimedya Panjaitan, jika pemilu serentak diselenggarakan 2014, hal tersebut sangat riskan dan berisiko. “Tetapi, kalau putusan ini diberlakukan 2019, kita setuju,” katanya.
Dia menilai putusan Mahkamah ini cukup negarawan, arif dan bijaksana. Selanjutnya, KPU tinggal menyelesaikan berbagai kekurangan pada tahapan-tahapan pemilu. “Kita mengapresiasi putusan mahkamah ini,” katanya. (www.hukumonline.com)
Average Rating