POTRET DEMOKRASI : Studi Kasus Peran CSO Dalam Memperkuat Demokrasi di Nagan Raya
Oleh : Aryos Nivada
BAB I
PENDAHULUAN
Pengantar
Isi bab I akan menjelaskan tentang sejarah Kabupaten Nagan Raya, kondisi topografi dan geografi Nagan Raya. Di masing-masing akan terjelaskan bagaimana Kabupaten Nagan Raya ditinjau dari tidak aspek tersebut.
Latar Belakang
Pasca Tergulingnya Rezim Orde baru pada tahun 1998 lalu, Indonesia secara bertahap terus berupaya membenah diri menuju Negara demokratis yang responsif terhadap dialektika politik yang berkembang di masyarakat. Salah satu persoalan penting yanmg menjadi sorotan para akademisi dan aktivis pada masa transisi ini adalah berkaitan dengan terbukanya ruang publik dalam mengartikulasikan kepentingannya baik melalui organisasi massa maupun Lembaga Swadaya Masyarakat. Urgensitas hadirnya gerakan masyarakat sipil ini pada dasarnya untuk mengontrol hegemoni politik yang dimiliki Negara, karenanya Antonio Gramsci[1] menyebutkan bahwa hegemoni ini pada dasarnya bukan semata-mata karena kekuatan (force) politik, namun hegemoni atau dominasi ini juga meliputi kekuatan kepemimpinan intelektual dan moral dalam menjalin relasi yang kompleks dengan kekuasaan, sehingga pada titik inilah hadirnya ruang publik sangat diperlukan.
Demokrasi di tanah air dewasa ini juga dihadapkan pada ujian publik terkait dengan visi kesejahteraan masyarakat yang diklaim menjadi alasan diterapkannya demokrasi di Indonesia. Berbagai pertanyaan telah muncul terkait dengan cara dan kesiapan masyarakat indonesia menjalankan demokrasi yang substansial yakni demokrasi yang berorientasi pada kesehateraan masyarakat. Karena pada masa transisi demokrasi dianggap belum memebrikan ruang yang memadai untuk secara mandiri mengelola pemerintahannya. Dalam rangka merespon hal ini pemerintah kemudian menerapkan salah satu kebijakan berupa pemebrlakuan otonomi daerah yang diharapkan mampu memperbaiki kesenjangan ekonomi, pemerataan pembangunan, serta pengalokasian hasil sumber daya alam yang efektif antara pemerintah pusat dan daerah.
Provinsi Aceh merupakan bagian dari Negara kesatuan Republik Indonesia yang turut serta mengambil peranan dalam pelaksanaan otonomi daerah berupa kebijakan pemekaran daerah. Salah satu kebijakan pemekaran Daerah yang dilakukan pemerintah Aceh yakni pemekaran kabupaten Aceh Barat yang selanjutnya melahirkan kabupaten baru yakni kabupaten Nagan Raya. Melalui kebijakan ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas kehidupan demokrasi khusunya di Kabupaten Nagan Raya. Namun sebelum membahas secara lebih spesifik kualitas pelaksanaan demokrasi di Kabupaten Nagan Raya, pada bagian pertama riset ini terlebih dahulu menjelaskas tiga hal penting yakni Sejarah terbentuknya Kabupaten Nagan raya, Topografi dan Geografi serta Potensi Sumber daya alam di Kabupaten Nagan Raya.
A. Sejarah Terbentuknya Kabupaten Nagan Raya
Sebelum terjadinya pemekaran wilayah, Nagan Raya merupakan bagian dari kabupaten induknya yakni Aceh Barat. Pada periode-periode keresidenan Aceh, kabupaten Aceh Barat termasuk salah satu wilayah keresidenan dari 4 (empat) wilayah keresidenan[2]. Ruas wilayah Aceh Barat pada saat itu terbentang dari gunung geurutee sampai dengan Aceh Singkil dan kepulauan Simeulu. Dari bentangan wilayah administratif tersebut, selanjutnya dibagi kedalam 6 kabupten, salah satu kabupaten tersebut meliputi seunagan, seneuam dan beutong yang berada di Nagan Raya[3].
Pasca kemerdekaan Indonesia, Kabupaten Aceh Barat berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 (drt) tahun 1956 tentang pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Propinsi Sumatera Utara dimekarkan menjadi 2 (dua) kabupaten, yakni Aceh Barat dan Aceh Singkil[4]. Selanjutnya dalam rentang tahun 1996 sampai dengan tahun 2000, Aceh Barat telah mengalami dua kali pemekaran lagi, sehingga telah melahirkan 20 (dua puluh) Kecamatan, 7 (tujuh) Kelurahan dan 207 Desa[5]. Kemudian pada tahun 2002, berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2002 tepatnya pada tanggal 2 Juli 2002 Kabupaten Nagan Raya resmi memisahkan diri dengan kabupaten induknya Aceh Barat[6]. Kabupaten Nagan Raya sendiri sejak kelahirannya pada bulan juni 2002 juga mengalami perekembangan yang dinamis, hal ini terbukti dengan adanya pemekaran 5 kecamatan di Nagan Raya menjadi 11 (sebelas) Kecamatan dengan Ibu Kota Suka Makmue[7]. Dengan demikian hingga Tahun 2013 Nagan Raya memiliki 11 Delapan kecamatan yakni:
- Kecamatan Beutong
- Kecamatan Butong Ateuh Banggalang
- Kecamatan Darul Makmur
- Kecamatan Kuala
- Kecamatan Kuala Pesisir
- Kecamatan Seunagan
- Kecamatan Seunagan Timur
- Kecamatan Suka Makmue
- Kecamatan Tadu Raya
- Kacamatan Tripa Makmur
- Kecamatan Seuneuam
Kata “Nagan Raya” sendiri merupakan singkatan dari kata “Seunagan”, sedangkan kata “Raya” berarti besar, hal ini merupakan cerminan dari keinginan dan cita ideal masyarakat di Nagan raya agar masayarakat di Nagan ini suatu saat akan menjadi daerah yang besar[8].
B. Kondisi Topografi Dan Geografi Kabupaten Nagan Raya
Secara geografis Kabupaten Nagan Raya terletak antara 03040’- 04038’ LU dan 96011’ – 96048’ BT. Tinggi rata-rata 12 meter di atas permukaan laut, dengan luas wilayah 3.363,72 km2 atau 336,372 hektar. Kabupeten Nagan Raya berbatasan langsung dengan empat Kabupaten lainnya yakni Di sebelah utara, Nagan Raya berbatasan dengan Aceh Barat dan Aceh Tengah, sementara di sisi timur dengan Aceh Tengah, Gayo Lues, dan Aceh Barat Daya. Sedangkan Di bagian barat, Nagan Raya juga berbatasan Aceh Barat dan Samudera Hindia, dan di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia.
Kondisi geografis seperti ini pada dasarnya cukup menguntungkan dari sisi ekonomi, baik dalam hal kelancaran transportasi barang/jasa dan potensi kelautan karena terletak dikelilingi oleh samudra Hindia[9].
Dari sisi topografisnya, Kabupaten Nagan Raya berdasarkan dataran wilayahnya memiliki angka kemiringan rata-rata 0-3 persen dengan mendudukui lahan seluas 176,562 Ha atau 52,49 Persen. Wilayah berombak dengan kemiringan 3-8 persen meliputi areal seluas 6,49 persen, bergelombang dengan kemiringan 8-15 persen seluas 11,02 persen, lahan hampir curam (gumuk-gumuk rendah) dengan kemiringan 15-25 persen meliputi areal sekitar 18,07 persen, lahan curam dengan lereng 25–40 persen menempati areal sekitar 11,2 persen dan kemiringan > 40 persen menempati areal seluas sekitar 0,73 persen dari luas Kabupaten Nagan Raya. Menurut letak ketinggian, rata-rata wilayah Kabupaten Nagan Raya berada antara 0 s/d 12 m dpl[10]. Artinya rata-rata wilayah Nagan Raya termasuk dataran rendah.
C. Potensi Sumber Daya Alam
Dari aspek sumber daya alam, Nagan Raya menyimpan potensi yang sangat besar. Bahkan jika sumber daya alam yang terkandung di Nagan Raya mendapat penanganan yang khusus potensi sumber daya alam ini dapat dikatakan akan menjadi sumber lahan uang baru tidak hanya bagi Aceh, namun juga sumber pendapatan Negara.
Jika diamati secara spesifik sumber daya alam yang terdapat di wilayah pantai barat Aceh ini, kekeyaan sumber daya alam tersebut terutama disebabkan lahan yang subur sehingga sangat cocok bagi pertanian dan perkebunan. Kabupaten Seunagan, Seunagan timur dan Beutong hingga saat ini masih menjadi sentra produksi padi berkualitas di Aceh, Hal ini didukung pula oleh kondisi geografis ketiga wilayah ini yang dibentangi oleh aliran sungai Krueng Nagan. Besarnya Potensi di bidang pertanian tersebut selain dapat memenuhi kebutuhan beras para petani, juga dapat menjadi salah satu sumber penunjang kebutuhan ekonomi keluarga petani setempat. Melihat geliat petrtumbuhan ekonomi yang menjanjikan dan produksi padi berkualitas tinggi ini, mantan Presiden RI Soeharto pada Tahun 1987 secara khusus pernah mengunjungi kabupaten Nagan Raya untuk memberikan apresiasi langsung kepada masyarakat dan Pemerintah setempat.
Demikian juga dari Aspek perkebunan, kelapa sawit menjadi andalan utama bagi pegiat perkebunan di Nagan Raya. Luasnya lahan perkebunan Kelapa sawit tidak hanya mampu menyerap banyak tenaga kerja, namun juga mendorong munculnya pengusaha-pengusaha lokal yang bergerak dibidang olahan kelapa sawit. Pesatnya pertumbuhan sektor pertanian dan perkebunan pada dasarnya bukan hanya disebabkan faktor lahan yang subur, tetapi juga dikarenakan Nagan Raya menjadi Pusat bagi Transmigran yang berdatangan dalam jumlah yang besar untuk menghidupkan lahan tidur yang ada di Kabupaten Nagan Raya. Namun sejak Konflik melanda Aceh, para transmigran ini karena alasan keamanan berupa ancaman kelompok sipil bersenjata memilih meninggalkan Nagan Raya, sehingga hal ini berpengaruh pula pada pengelolaan dan produksi pertanian wilayah ini. Oleh karenanya pasca damai Aceh seperti sekarang ini, kesempatan bagi para transmigran selalu terbuka untuk mengelola kembali lahan-lahan tersebut.
Selain aspek pertanian dan perkebunan, kabupaten Nagan Raya juga menyimpan cadangan bahan galian logam yang banyak terutama bataubara dan permata[11]. Berikut tabel potensi cadangan bahan galian logam menurut Dinas Pertambangan Aceh:
Dari potensi sumber daya alam serta infrastruktur penunjang baik yang telah ada maupun yang sedang berjalan, menempatkan Nagan Raya sebagai daerah yang diproyeksikan sebagai daerah yang akan mengalami perkembangan yang pesatnya nantinya.
Namun besarnya potensi sumber daya alam suatu wilayah tentu saja tidak secara langsung dapat menjamin kesejahteraan masyarakat secara adil dan merata. Faktanya, Besarnya potensi sumber daya alam di Kabupaten Nagan Raya justru memicu keretakan sosial yang semakin hari semakin luas. Imbas sosial tersebut antara lain seperti munculnya gap antara si kaya dan si miskin.
Kabupaten Nagan Raya pada dasarnya menyimpan potensi yang cukup baik terutama dari segi sumber daya alam dan kondisi geografis, sehingga kelebihan ini semestinya dapat menjadi penunjang dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat seperti yang menjadi cita utama dari kehidupan Berdemokrasi.
Jika dilihat dari definisi Desentralisasi yang dikemukakan World Bank bahwa desentaralisasi merupakan responsibiltas dari aspek keuangan, politik dan administrasi yang diberikan kepada tingkatan-tingkatan pemerintahan yang lebih rendah[12]. Berdasarkan Definisi tersebut, nilai ideal pelaksanaan Otonomi daerah yang merupakan turunan dari konsep desentralisasi pada dasarnya tidak hanya dilihat dari aspek sumber daya alam semata, namun meliputi aspek pendukung lainnya yakni berupa pengelolaan keuangan, politik dan birokrasi. Oleh karenanya, sebelum membahas perkembangan demokrasi di kabupaten Nagan raya secara lebih spesifik, bagian awal dari riset ini terlebih dahulu akan membahas mengenai tiga aspek penting dalam rangka penegakan nilai-nilai ideal demokrasi, yakni aspek Sumber Daya Alam.
BAB II
KONTROL NAGAN RAYA DI TANGAN POLITIKUS DAN BIROKRAT
Pengantar
Demokrasi pada dasarnya berfungsi sebagai sarana bagi masyarakat untuk berproses mencapai kesempuranaan dalam segala aspek pemenuhan kehidupan dasarnya. Salah satu varian dari perwujudan demokrasi yakni penerapan sistem perwakilan masyarakat pada level pemerintahan baik eksekutif, legislatif maupun dalam ranah yudikatif. Jika disadari lebih jauh, prinsip keterwakilan sekarang ini justru mengalami pembiasan makna yang demikian jauh sehingga lambat laun bertentangan dengan makna asasinya. Prinsip keterwakilan hanya dipahami hanya sebatas keabsahan pencapaian legitimasi kekuasaan secara legal formal semata, padahal menurut salah satu pemikir demokrasi, Hans Kelsen[13], penilaian ideal terhadap prinsip keterwakilan ini berorientasi pada ada atau tidaknya pertanggung-jawaban yang besar terutama secara moral kepada masyarakat pemilihnya, akan tetapi realitas yang terjadi sekarang pertanggung-jawaban prinsip keterwakilan ini hanya sebatas pertanggung jawaban pada partai pengusungnya saja. Dari sini apabila model keterwakilan seperti ini yang terus dipraktikkan, maka demokrasi sebagai sarana pencapaian kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat hanya akan dibajak oleh kalangan politikus untuk kepentingan yang bersifat parsial dan dipastikan tidak akan mampu mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana cita ideal dari prinsip demokrasi itu sendiri.
Berkaca pada akar persoalan ini maka sangat penting untuk melihat bagaimana prinsip keterwakilan demokrasi ini dijalankan oleh para politikus dan birokrat terhadap pemenuhan kesejahteraan masyarakat, terutama di tiga sector publik yakni ranah sipil, ekonomi dan politik. Ketiga elemen ini dinilai sangat menentukan perkembangan demokrasi suatu wilayah karena berkaitan langsung dengan pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat. Bab ini secara khusus akan mengelaborasi satu persatu ketiga ranah tersebut.
A. Ranah Sipil
Seperti yang telah disinggung di awal bab ini, keberlangsungan demokrasi sangat bergantung pada cita masyarakat dalam mewujudkan kesejahteraan. Karenanya demokrasi yang sehat adalah kondisi demokrasi dimana para aktor politik dan birokrasi secara serius memperhatikan kehendak rakyat yang diwakilinya tersebut[14]. Demikian juga dari sisi teori politik, bahwa demokrasi lebih menekankan pada unsur masyarakat sebagai sebuah variabel[15]. Jika dilihat dari sektor Negara atau pemerintah, Secara teoritis terbentuknya negara bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dalam hal kesejahteraan dan keamanan. Untuk merealisasikan hal tersebut maka diperlukan adanya perpanjangan tangan dari masyarakat dalam hal ini adalah pemerintah. Jika sekilas memahami apa itu pemerintah, pandangan umum mengartikan sebagai organisasi yang mengurusi hajat hidup masyarakat banyak yang diatur melalui serangkaian aturan hukum yang mengikat.
Dalam konteks pelaksanaan pemerintahan yang demokratis di Nagan Raya, kontrol politikus dan birokrat terhadap masyarakat sipil terutama dalam bidang pemenuhan pelayanan publik dan pembangunan infrastruktur masih tergolong belum maksimal. Meski jika dilihat sepintas pembangunan infrastruktur dan beberapa pemenuhan pelayanan publik memang telah berjalan.
Dalam bidang pemenuhan kebutuhan infrastruktur misalnya, Pemerintah kabupaten Nagan Raya telah melakukan pembenahan dan pembangunan sarana dan prasana pendukung baik berupa penyediaan transportasi maupun pembangunan jalan raya. Adapun sarana dan prasarana yang telah tersedia saat ini antara lain seperti: transportasi udara yaitu Bandara Cut Nyak Dien ke ibu kota Nagan Raya kurang lebih 25 km, sedangkan ke Meulaboh 40 km. Transportasi ke kedua tempat tersebut tersedia sepanjang waktu dengan kualitas jalan yang sangat baik. Untuk kendaraan umum, kendaraan yang menjadi andalan masyarakat Nagan adalah “labi-labi” untuk mobilitas dalam kabupaten juga untuk menghubungkan Nagan Raya dengan Kabupaten tetangga, Aceh Barat.
Selain itu Pemerintah Kabupaten Nagan Raya juga telah membuat 1 (satu) Rumah Sakit Umum Daerah Tipe C (Dokter Umum dan Dokter Gigi serta Dokter Spesialis,) dan 10 (sepuluh) Puskemas yang kesemuanya terletak dipinggir jalan raya, sehingga mudah diakses. Sebagai factor penunjang lainnya, juga telah dibangun fasilitas telekomunikasi BTS Telkom Telkomsel, Indosat dan Flexi. Sarana telekomunikasi juga tersedia di Dinas Kesehatan berupa internet yang dapat diakses 24 jam yang menggunakan perangkat satelit hasil kerjasama dan donasi dari IOM. Sarana lainnya yang saat ini pembangunannya sedang berlangsung diantaranya adalah pembangunan pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan pembangunan Pelabuhan besar.
Namun tentu saja kualitas kontrol pemerintah terhadap masyarakat sipil tidak bisa dilihat dari aspek pembangunan semata, karena umumnya hal tersebut hanya menyentuh pada persoalan yang tampak secara formal saja. Hal lain yang mesti diperhatikan lebih jauh, terkait dengan dinamika yang sesunggunhnya dirasakan masyarakat mengenai pelayanan publik tersebut. Pada kenyataannya banyak masyarakat yang masih mengeluhkan pelaksanaan pelayanan publik di Kabupaten Nagan Raya yang dinilai belum begitu maksimal. Temuan ini diperoleh berdasarkan hasil wawancara dengan mahasiswa Nagan Raya (13-17 September 2013, di Kampus FISIP Unsyiah). Indikatornya masih banyak masyarakat yang mengeluhkan soal kebutuhan kesehatan yang belum cukup dirasakan. Ditambah lagi pendidikan yang masih kurang mendapatkan perhatian, hal ini dibuktikan dengan alokasi beasiswa yang terkadang ada dan terkadang tidak. Kalaupun beasiswa disediakan tapi jumlanya tidak terlalu besar, sehingga kesan yang muncul dari pemberian beasiswa tersebut hanya sekedar pencitraan Pemerintah Kabupaten Nagan Raya yang seolah sangat peduli dengan pendidikan di daerahnya.
Hal lainnya yang mengganggu proses percepatan pembangunan dan pelayanan publik di Nagan adalah merebaknya “wabah” korupsi yang menjangkiti hampir seluruh lini pemerintahan dan perilaku masyarakatnya sendiri. Kondisi ini disebabkan budaya korupsi sudah dianggap lumrah, bahkan mampu membentuk karakter masyarakat cinta korupsi. Jika ditelusuri lebih jauh, maraknya kejadian korupsi sudah berlangsung sejak terbentuknya Kabupaten Nagan Raya.
Dengan demikian, dampak korupsi makin memperlemah pelayanan publik kepada masyarakat Nagan Raya, dimana alokasi anggaran tersedia di APBK maupun APBN dinikmati hanya terpusat pada aktor politik maupun pelaksana pemerintahan di Nagan Raya. Modus dan sasaran yang sering dijadikan objek korupsi biasanya menyangkut sektor anggaran publik seperti; kesehatan dan pendidikan yang dikorupsi dengan berlandaskan semangat “kegotong-royongan”, bahkan perilaku masyarakat yang acuh terhadap tawaran korupsi akan segera mendapatkan “fatwa sesat” karena dianggap telah menyimpang dari tradisi dan budaya yang telah lazim berkembang di wilayah setempat, konsekuensi bagi yang menolak bekerjasama dalam hal korupsi, maka pihak tersebut dapat dipastikan tidak akan dapat menikmati hak pelayanan dasarnya.
Selain fakta adanya birokrasi yang korup, persoalan lainnya yang menjadikan kabupaten Nagan Raya sulit berkembang adalah minimnya inisiatif pembangunan dari Pemkab Nagan Raya sendiri, dari hasil wawancara dengan berbagai narasumber yang menyebutkan bahwa pembangunan besar-besaran di Kabupaten Nagan Raya terutama dalam hal infrastruktur dan fasilitas publik disebabkan kontribusi yang signifikan dari kalangan Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh, NGO Internasional, dan sektor swasta. Sehingga dari sini diketahui bahwa peran dan inisiatif dari Pemerintah Kabupaten Nagan Raya dan Pemerintah Provinsi Aceh sangatlah kecil sekali.
Sebetulnya Pemkab Kabupaten Nagan Raya dalam rangka mempercepat pembangunan dan efektifitas penggunaan anggaran telah mengadakan rencana kerja (Renja) pada tahun 2012[16]. Hasil rencana kerja tersebut menetapkan 7 fokus rencana pembangunan antara lain; pemberdayaan ekonomi masyarakat, perluasan kesempatan kerja dan penanggulangan kemiskinan, pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur dan sumber daya energi pendukung investasi, peningkatan mutu pendidikan dan pemerataan kesempatan belajar, peningkatan mutu dan pemerataan pelayanan kesehatan, penerapan syariat islam, sosial dan budaya, penciptaan pemerintahan yang baik, bersih dan penyehatan birokrasi serta penanganan dan penanggulangan resiko bencana. Untuk menjamin pencapaian tujuh prioritas tersebut, Pemerintah Kabupaten Nagan Raya menetapkan sepuluh sasaran strategis untuk melaksanakan tugas pokok baik urusan wajib maupun urusan pilihan. Capaian kinerja dari sepuluh Sasaran Strategis tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
- Meningkatkan Pengetahuan Pemahaman dan Kesadaran Masyarakat Tentang Pelaksanaan Syariat Islam,
- Meningkatnya Perluasan Akses, Pemerataan Pendidikan, Mutu dan Daya Saing Pendidikan,
- Meningkatnya mutu, pemerataan pelayanan kesehatan dan mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat,
- Meningkatnya pertumbuhan ekonomi, perluasan, kesempatan, kualitas dan pelayanan kesejahteraan sosial serta menurunnya angka kemiskinan,
- Meningkatnya kualitas jalan, jembatan, sarana, prasarana, kemukiman, transportasi, komunikasi dan informasi,
- Meningkatnya kualitas irigasi, keamanan pantai dan normalisasi sungai,
- Meningkatnya usaha dan pengembangan pertambangan dan energi berkelanjutan,
- Meningkatnya pengembangan destinasi, apresiasi budaya, adat istiadat, pemuda dan olah raga,
- Meningkatnya peyelenggaraan pemerintahan dan informasi birokrasi yang bersih, efektif dan efisien, dan
- Meningkatnya penanggulangan resiko bencana, pencemaran dan kerusakan lingkungan
Untuk itu kedepan sangat dibutuhkan adanya pengawasan dari masyarakat agar Rencana Kerja Pemkab Nagan yang telah tersusun tersebut dapat terlaksana dengan baik, transparan dan akuntabel.
Bentuk kontrol sipil lainnya dilakukan Pemkab Nagan Raya terhadap masyarakatnya dengan membangun oligraki dan hegemoni kekuasaan. Temuan itu dikatakan Rusman[17]“Ampon Bang memiliki power kuat dari segi kekuasaan sehingga mampu mengontrol masyarakat di ranah sipil, bahkan dengan status dari keluarga bangsawan dan ulama menjadi modalitas mengontrol masyarakat dengan pendekatan hubungan kekeluargaan. Disinilah model kontrol sipil yang diterapkan Ampon Bang” .
Hasil fokus group diskusi[18] makin memperkuat temuan penelitian, dimana model Pemkab Nagan Raya mengontol masyarakat sipil yang militansi dan berkelakuan aktivis maka diberikan posisi jabatan ataupun uang. Tujuannya agar tidak mengganggu jalannya kepemerintahan Tgk Ampon Bang. Jika demikian terjadi, maka kekuasaan akan sumber daya yang dikuasi actor politik maka mampu mengendalikan masyarakat sipil dikarenakan keterbatasan sumber dayanya.
Tindakan tersebut sejalan dengan pemikiran Niccolo Machiavelli penguasa/aktor politik berhak melakukan apapun, baik atau buruk, cara halus atau cara kasar, untuk mempertahankan kekuasaannya dari segala ancaman yang akan mereduksi legitimasinya. Maka dapat disimpulkan pemikiran Machiavelli masih sangat relevan dengan kondisi di Kabupaten Nagan Raya.
B. Ranah Kekuasaan Politik
Kontrol pemerintah terhadap kekuasaan merupakan aspek yang sangat penting dalam kehidupan demokrasi, karena proses politik yang sehat semestinya akan membuahkan hasil yang menggembirakan bagi perwujudan kesejahteraan masyarakat Nagan Raya secara keseluruhan. Karenanya kualitas partisipasi politik masyarakat memiliki peran yang dominan dalam menentukan suatu agenda politik yang berpihak kepada masyarakat.
Bila dilihat dari partisipasi politik masyarakat pada pemilukada untuk memilih gubernur/wakil gubernur dan bupati/wakil bupati di kabupaten nagan raya cukup tinggi. Jumlah pemilih di Daftar Pemilih Tetap (DPT) 104.079 jiwa, dimana masyarakat yang menggunakan hak pilihnya 88.202 jiwa (84,79%)[19]. Angka hak pemilih yang menggunakan hak pilihnya ini berada diatas rata-rata kabupaten/kota lainnya di Aceh, sehingga Nagan Raya masuk dalam 2 besar setelah gayo lues dalam penggunaan hak pilih masyarakat dalam memilih kepala daerah tahun 2012.
Bagi Kabupaten Nagan Raya, walaupun secara umum tingkat partisipasi masyarakat di daerah ini cukup tinggi, realita di lapangan membuktikan bahwa di tingkat pemerintahan daerah masih adanya oligarki. Dimana kelompok “Teuku” yang dianggap sebagai keturunan raja dan mempunyai kehormatan keluarga yang tinggi mendominasi para pemegang tampuk kekuasaan. Masyarakat kecil yang bukan kalangan teuku sulit untuk mendapatkan jabatan atau kemudahan dalam urusan pelayanan publik[20].
Dalam kasus ini terlihat pemerintah alih-alih memberikan pendidikan politik yang benar kepada masyarakat, bayang-bayang oligarkhi sebagai prasyarat legitimasi pencapaian kekuasaan politik justru telah menjadi “hantu” yang terus mengikuti dalam setiap agenda politik para politisi di Nagan Raya.
Frame pemahaman politik semacam ini sangat mempengaruhi Dinamika perpolitikan di Kabupaten Nagan Raya, dimana legitimasi politik sangat dipengaruhi dua aras kekuatan, pertama; kalangan bangsawan, kedua; ulama. Kedua aktor ini mampu mendominasi kekuasaan di ranah eksekutif dan legislatif. Akan tetapi dominasi kalangan bangsawan lebih unggul daripada kalangan ulama dalam mempengaruhi perpolitikan di Nagan Raya. Menariknya lagi bupati terpilih saat ini yaitu Teuku Zulkarnaini (Ampon Bang) sudah 1 dekade menduduki posisi sebagai orang nomor satu di kabupaten tersebut. Faktor utama dikarenakan Ampon Bang keturunan berpaduan bangsawan dan ulama, dimana bapaknya bangsawan dan ibunya dari keturunan ulama.
Efek penerapan politik oligarki ini selain telah merusak citra politik yang sehat juga memunculkan konflik yang lebih massif. Hal ini dapat dilihat dari temuan lainnya dari pemetaan awal yakni hasil riset saya bersama Dinas Sosial Provinsi Aceh bulan Juni-Agustus 2013, berfokuskan kepada Pemetaan Konflik di Kabupaten Nagan Raya menemukan tiga bentuk konflik yaitu; 1) konflik agraria, 2) konflik politik, dan 3) konflik agama. Pada saat penelitian dilakukan batasan tahun ditetapkan 2011 dan 2012.
Dominasi konflik terjadi pada issue politik, ini terjadi ketika pilkada 2012 berjalan. Tetapi konflik kekuasaan menyeret juga intimidasi dan kekerasan terhadap pertarungan antar aktor politik. Apalagi menjelang pemilu 2014 masih ada tindakan intimidasi kepada kandidat caleg lain, seperti; Idris dari Partai Golkar dimana spanduknya selalu di rusak dan beliau selalu di marginalkan di dapilnya oleh salah satu caleg lain[21].
Menariknya pertarungan di ranah politik terjadi keseimbangan kekuasaan, dimana di eksekutif di menangi oleh Partai Golkar dan di legislatifi di dominasi dan dimenangi Partai Aceh. Komposisi sebaran kekuatannya sebagai berikut :
No |
Nama Partai |
Nama Kader Partai |
Jumlah Kursi |
1 | Partai Aceh |
|
4 |
2 | Partai Demokrat |
|
3 |
3 | Partai Bulan Bintang |
|
3 |
4 | Partai Golongan Karya (Golkar) |
|
2 |
5 | Partai Amanat Nasional |
|
2 |
Partai Bintang Reformasi |
|
2 |
|
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan |
|
2 |
|
Partai Persatuan Pembangunan |
|
1 |
|
Partai Karya Peduli Bangsa |
|
1 |
|
Partai Keadilan dan Persatuan Bangsa | 1. Asmanidar |
1 |
|
Parta Keadilan Sejahterah | 1. Adifal Susanto STp |
1 |
|
Partai Patriot |
|
1 |
|
Partai Hanura |
|
1 |
|
Partai Kebangkitan Bangsa | 1. Tgk H Sulaiman Daud |
1 |
Sumber : data KIP Nagan Raya tahun 2010.
Menganalisis komposisi sebaran kekuatan politik di parlemen (Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten) ternyata hadir keseimbangan. Dominasi mayoritas dari partai politik tidak terjadi hanya berbeda 1 kursi dari partai lokal yakni Partai Aceh berada di nomor urut 1 dengan jumlah 4 kursi. Sedangkan di imbangi dengan Partai Demokrat dengan 3 kursi bersamaan dengan Partai Bulan Bintang. Selebihnya terdistribusi ke partai-partai lainnya. Sehingga fraksi di DPRK Kabupaten Nagan Raya terbagi menjadi tiga fraksi tersebut antaranya, fraksi bersama Demokrat, fraksi Partai Aceh dan fraksi bangun bersama.
Model kontrol aktor politik terhadap kekuasaan memanfaatkan modalitas (capitals). Bentuk modalitas menurut Pierre Bourdieu (1930-2002) sosiolog dari Perancis terdiri dari modal sosial, modal budaya, dan modal simbolik. Hasil penelurusan peneliti dari berbagai narasumber menemukan Ampon Bang (Teuku Zulkarnaini) sebagai bupati melakukan ketiga hal tersebut. Modal sosial di lakukan Ampon Bang jauh-jauh hari ketika dirinya pernah menjabat sebagai pejabat sementara bupati Nagan Raya. Dari segi modalitas budaya dirinya dari kalangan bangsawan dan ulama dan dari modalitas simbolik dirinya menggunakan posisi sebagai pejabat negara, keturunan kerajaan, dan keturunan ulama. Keseluruhan modal digunakan sehingga Ampon Bang terpilih menjadi bupati hingga dua (2) periode yakni tahun 2007-2012 dan tahun 2012-2017.
C. Ranah Ekonomi
Pada saat Aceh dilanda konflik berkepanjangan, Kabupaten Nagan Raya dikatagorikan sebagai daerah abu-abu yakni istilah yang diberikan sebagai daerah dengan intensitas konflik yang rendah, termasuk kabupaten tetangganya yang berada di wilayah pantai barat Aceh sepeti Aceh barat dan Aceh selatan[22]. Walaupun daerah ini sebelum konflik dikenal sebagai wilayah transmigran, pada masa konflik para transmigrans yang kebanyakan berasal dari pulau jawa memilih mengamankan diri keluar Aceh. Namun, Ketika perdamaian Aceh pada 15 Agustus 2005 di Helsinki daerah ini berbenah dan berusaha meningkatkan perekonomian masyarakat dengan mengundang investor untuk berinvestasi di Nagan Raya.
Menurut data yang diperoleh dari Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal RI. Nagan Raya masih tergolong sebagai daerah tertinggal[23]. Kabupaten dengan jumlah penduduk 149.000 jiwa ini Mayoritas mata pencaharian masyarakat nya adalah petani (57.03%), diikuti selanjutnya masing-masing oleh pedagang (16.13%), Tenaga Kerja Harian (14.05%), dan Pegawai Negeri Sipil (12.79%). Tingkat pendapatan rata-rata masyarakat di wilayah ini adalah Rp. 639.099,- . Selain itu, kondisi kesehatan masyarakat masih rendah, terbukti selama tahun 2012, angka kematian bayi sebanyak 32 orang, sedangkan ibu sebanyak 7 orang[24]. Disisi lain tingkat pendidikan masyarakat sudah baik karena jumlah sekolah (SD,SMP dan SMA) merata disetiap kecamatan, yaitu Jumlah Sekolah Dasar pada tahun 2007 terdapat 106 unit berstatus negeri dan 4 swasta; SLTP sebanyak 24 unit dengan status negeri dan 3 swasta; SMA sebanyak 10 unit negeri dan 4 unit swasta; serta SMK negeri dan swasta masing-masing 1 unit. Sementara itu untuk madrasah terdapat MI sebanyak 14 unit berstatus negeri dan 5 swasta; MTs sebanyak 2 unit negeri dan 4 unit swasta; serta MA sebanyak 1 unit negeri dan 2 unit swasta[25] dan tingkat kelulusan ujian nasional cukup tinggi[26].
Dari segi pendapatan daerahnya Kabupaten Nagan Raya diperoleh dari pertanian, perkebunan, pertambangan, pariwisata, dan perikanan maupun pemasukan lainnya dari pajak[27]. Berdasarkan data hasil penilaian Kinerja Unit Pelayanan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi (KEMENPAN-RB)[28], Anggaran Pendapatan dan Belanja Kabupaten (APBK) Kabupaten Nagan Raya berjumlah Rp 665,602,474,009[29]. Proporsi anggaran belanja langsung dengan belanja pembangunan (publik) 60 : 40 %. Kabupaten yang lahir pada tahun 2002 ini telah 5 tahun berturut-turut berhasil mendapatkan opini tanpa pengeculian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.
Dari sisi perekonomian masyarakat, selain sektor pertanian dan perkebunan, hadirnya pasar-pasar terutama di Simpang Peut turut menunjang perputaran uang dalam jumlah yang sangat tinggi sehingga menjadi salah satu andalan perbaikan ekonomi masyarakat di Nagan Raya pada umumnya.
Menurut Ardiansyah[30], aktivis sekaligus politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pemberdayaan dibidang ekonomi masih sangat kurang sekali di Kabupaten Nagan Raya, dikarenakan Pemkab Nagan Raya tidak berorientasi dan fokus membangun perekonomian berbasiskan home industry dan program-program padat karya. Inilah membuat masyarakat di Nagan Raya tingkat kehidupannya berada di garis kemiskinan. Walaupun sumber daya alam di Nagan Raya sangat banyak tapi faktanya masyarakat Nagan Raya tidak terdongkrak (meningkat) tingkat kesejahteraannya. Harus ada evaluasi kembali perencanaan program ekonomi dari Pemkab Nagan Raya agar tepat sasaran, fokus, dan terarah.
Masih menurut Ardi akses terhadap ekonomi dikuasai kaum penguasa dan kaum ekonomi sehinga berdampak kepada terbangunnya sistem oligraki dalam mengeksploitasi sumber ekonomi untuk kepentingan pribadi. Tindakan itu makin memperparah kondisi kemiskinan dari masyarakat Nagan Raya. Kondisi seperti itu sejalan dengan pemikiran Max Weber bahwa ketika kaum borjois dan kaum politikus menguasai akses ekonomi maka terjadi pemarginalan kepada kaum proletar dikarenakan akses produksi sepenuhnya dikuasi kedua kelompok/kaum tersebut.
BAB III
GERAKAN MASYARAKAT SIPIL DI NAGAN RAYA
Konsep masyarakat sipil jika dilihat dari sejarah kemunculannya bermakna sebagai arena untuk mengorganisasikan penyelenggaraan kegiatan material dan intelektual, moral dan budaya masyarakat[31]. Meski dalam konsep Negara modern seperti yang disebutkan Rajesh, peran negara dan masyarakat sipil dipisahkan, namun peran Negara dan Masyarakat sipil seringkali masih dianggap kabur karena sama-sama melaksanakan dan mengorgansiasikan kepentingan masyarakat (publik). Jika dicermati lebih jauh mengenai masyarakat sipil dan Negara, Negara pada dasarnya mengambil peran yang lebih dominan dari masyarakat sipil, dimana Negara menguasai dan membuat kebijakan ekonomi makro, menentukan hukum dan ketertiban serta mendominasi pengaturan mengenai keberadaan industri-industri[32]. Sehingga dari sini tampak jelas bahwa negara menguasai hampir seluruh lini publik dan memiliki hak yang lebih tinggi dalam menerapkan aturan kebijakan. Konsekuensi dari bentuk dominasi semacam ini lama- kelamaan berakibat pada melemahnya peran masyarakat sipil untuk serta dalam pembangunan dan penentuan kebijakan, dimana disini masyarakat sipil dianggap hanya sekedar” konsumen” kebijakan Negara yang bersifat pasif[33]. Masyarakat sipil alih-alih mendapat perwakilan kepentingannya dalam birokrasi Negara, justru menjadi korban ekspolitasi dan pemaksaan kebijakan untuk kepentingan kaum elite Negara.
Padahal sejatinya hubungan yang semestinya terjadi antara masyarakat sipil dan Negara merupakan hubungan yang saling melengkapi antara satu dan lainnya. Bratton[34] mengilustrasikannya seperti metafor “yin-yang”. Dimana Negara mewakili politik dominasi dan masyarakat mewakili politik persetujuan. Berdasarkan posisi ini maka Negara mewakili unsur penyelenggaran dan Masyarakat sipil menciptakan nilai nilai yang menjadi kerangka kerja normatif bagi penyelenggaraan Negara[35].
Dalam pandangan demokrasi deliberatif, legitimasi suatu keputusan politik atau pemerintahan ditempatkan atas dasar deliberasi warga yang bebas dan setara terutama dalam mengeluarkan pandangan dan visinya terkait kebijakan publik[36]. Dengan pendekatan deliberatif ini, tidak hanya meningkatkan kualitas kebijakan publik, namun juga pada aspek tertentu meningkatkan pemahaman individu terhadap kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh warga atau individu itu sendiri[37].
Berdasarkan pandangan-pandangan diatas, karakter Negara dan birokrasi yang dominan terhadap penentuan kebijakan publik, pada dasarnya menuntut adanya upaya pengawalan dari masyarakat sipil agar kebijakan tersebut benar-benar telah mewakili gagasan umum yang dicitakan masyarakat. Karenanya tinjauan terhadap bagaiamana gerakan masyarakat sipil merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam pelaksanaan sistem demokrasi perwakilan seperti halnya Indonesia.
Dalam konteks kehidupan demokrasi di Nagan Raya, hubungan antara masyarakat sipil dan pemerintah kabupaten merupakan dua elemen penting yang mesti terjalin. Karena hegemoni pemerintah dengan segala perangkat kekeuasaan birokrasinya belum tentu sepenuhnya mewakili kepentingan masyarakat umum yang diwakilinya. Dalam sistem politik modern saat ini, manipulasi kepentingan elit politik seringkali dilakukan dengan cara-cara yang terlihat “santun” dan pro-rakyat, sehingga kebijakan yang dikeluarkan seolah-olah bertujuan mensejahterakan masyarakat, sehingga masyarakat benar-benar dibuat terbius dan menerima begitu saja. Pada tahapan ini, kualitas masyarakat sipil/ CSO yang ikut mengawasi kebijakan publik sangat menentukan kualitas hasil dan daya dorong masyarakat terhadap suatu kebijakan. Diamond (2003) menyebutkan bahwa salah satu syarat bagi Civil Society untuk dapat dikatakan mengusung demokrasi adalah soal bagaimana Civil Society mendefinisikan hubungan mereka dengan negara? Karena peran semacam ini bisa saja berlangsung dengan cara yang cukup variatif, namun belum tentu hubungan yang dibangun merupakan hubungan ideal sesuai dengan visi-misi organisasi, namun bisa saja hubungan yang terjadi berupa perselingkuhan dengan kekuasaan yang merusak tatanan demokratisasi pengambilan kebijakan.
Secara istilah Civil Society Organisastion (CSO) memiliki banyak varian definisi, hal ini disebabkan adanya perbedaan situasi dan kondisi yang berbeda-berbeda di setiap tempat[38]. Dari berbagai definisi yang berkembang paling tidak CSO/OMS mengandung definisi sebagai “organisasi kemasyarakatan yang terbagi menjadi organisasi massa, organisasi rakyat, organisasi profesi, organisasi komunitas, dan organisasi NGO/Lembaga Swadaya Masyarakat. Fokus kerja organisasi sangat ditentukan berdasarkan visi dan misi serta kemampuan merealisasikan mandat tertuang dalam visi dan misi tersebut”. Namun untuk kepentingan Riset ini ruang lingkup CSO/OMS dibatasi pada OMS yang berbentuk NGO atau ORMAS dengan kriteria; berbadan hukum yayasan atau perkumpulan; organisasi yang menerima, mengelola dan atau meneruskan dana asing.
Selanjutnya untuk melihat bagaimana peran Masyarakat sipil khususnya NGO/LSM dalam mengawal demokrasi di Nagan Raya, pada bab ini akan menjelaskan tiga tema terkait dengan proses pengawalan tersebut, yakni: Sejarah kemunculan CSO/LSM di Nagan Raya, pasang surutnya CSO/LSM tersebut dan relasinya dengan kekuasaan.
A. Sejarah Kemunculan CSO/LSM Di Nagan Raya
Runtuhnya Rezim Orde baru di Indonesia telah membuka ruang partisipasi yang luas bagi setiap warga Negara dalam menyuarakan kepentingan politiknya. Seiring dengan era transisi tersebut, wacana tentang kebebasan mengeluarkan pendapat, berserikat dan berkumpul telah menjadi perhatian utama para politikus dan aktivis yang selama puluhan tahun dipaksa bungkam untuk segera diakomodasi sebagai agenda politik Negara. Hal inilah yang menjadi titik tolak kebangkitan dan tumbuhnya gerakan masyarakat sipil dalam skala besar yang ditandai dengan bermunculannya lembaga-lembaga masyarakat sipil berupa ormas, LSM, yayasan di berbagai daerah di Indonesia.
Dalam perjalannya kehadiran NGO/LSM ini secara perlahan turut mewarnai dinamika perpolitikan di Indonesia, dimana Negara bukan lagi satu satunya sumber kekuasaan yang menentukan segalanya, namun dalam konteks kekuasaan politik NGO/LSM telah menjelma sebagai salah satu kekuatan politik tersendiri yang turut mempengaruhi pengambilan kebijakan Negara.
Hegemoni gagasan kebebasan berpendapat dan partisipasi aktif masyarakat sipil dalam bernegara juga turut mempengaruhi gerakan sipil di kabupaten nagan raya. Kabupaten hasil pemekaran dari kabupaten induk Aceh Barat ini juga telah melahirkan beberapa CSO yang merupakan hak setiap masyarakat untuk berkumpul dan menyatukan visi misi. Seperti di daerah lainnya juga, di kabupaten Nagan Raya terdapat berbagai jenis lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi kepemudaan, dan organisasi massa, dan organisasi rakyat. Setelah peneliti melakukan tracking melalui www.google.com sangat minim sekali Civil Society Organisation[39] yang berada di Kabupaten Nagan Raya, terbukti berdasarkan table 1 dibawah ini :
Table 1
No |
LSM/NGO |
Organisasi Mahasiswa |
Organisasi Massa |
1 | Jaringan Advokasi Nagan Raya | Himpunan Mahasiswa Indonesia | Komite Nasional Pemuda Indonesia |
2 | Nagan Institute[40] | Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia | Muhammadiyah |
3 | Greennusa[41] | Komite Mahasiswa Pemuda Aceh | Nahdlatul ‘Ulama |
4 | Pena Institute[42] | BEM STIA Nagan Raya | Komite Peralihan Aceh |
Jika kita membandingkan data yang tergambarkan keduanya jelas sangat kontras. Sehingga memunculkan pertanyaan dibenak peneliti apakah penginputan data yang dilakukan Badan Kesatuan Bangsa, Politik, dan Perlindungan Masyarakat Kabupaten Nagan Raya sudah melakukan update berapa tersisa jumlah riil LSM yang masih hidup/bertahan?.
Bilamana dibandingkan dengan kondisi kekinian sangat jauh berbeda sekali, menurut pengamatan Ardiansyah dan Rusman kedua aktivis di Nagan Raya, posisi keberadaan LSM sudah mulai redup, bahkan sudah bisa dibilang tidak ada lagi memiliki aktivitas (ada kantor, program/kegiatan, dll). Penyebabnya dikarenakan faktor keterbatasan sumber dana, bahasa halusnya donor sudah tidak berada lagi di Aceh paska tsunami dan konflik dikarenakan dianggap sudah selesai Aceh dimata donor terhadap permasalahannya.
Sekilas pandang sedikit ke belakang terkait dengan sejarah munculnya LSM, Ormas, Orma di Nagan Raya. Berdasarkan informasi dirangkum dari berbagai sumber[43], sebelum terpisah dari Aceh Barat keberadaan LSM, Ormas, dan OKP Nagan Raya masuk ke wilayah kerjanya. Tetapi ketika terpisahkan dari Aceh Barat selanjutnya Nagan Raya berdiri menjadi kabupaten tersendiri banyak LSM di kala konflik[44] tidak semuanya masih menjadikan Nagan Raya sebagai wilayah kerjanya. Namun mengalami pergeseran setelah terjadi momentum bencana gempa dan tsunami, dimana mulai marak bermunculan LSM faktor pemicunya donator/donor dengan mudah memberikan uang untuk merespon rehabilitasi dan rekonstruksi terhadap bencana gempa dan tsunami.
Kembali mengkaji kendala utama rendahnya perkembangan LSM, ormas, dan orma di Nagan Raya, menurut Ardiansyah[45] disebabkan masih lemahnya jiwa aktivisme dan paradigma membangun daerah melalui lembaga ataupun organisasi. Selain itu tidak tertanam kuat ideology gerakan kepada generasi muda di Nagan Raya. Maka tidak mengherankan jika budaya gerakan tidak terbentuk sebagai sebuah karakter dari generasi muda di Nagan Raya.
Adapun program-program yang dilakukan NGO/LSM selama masih beraktivitas cenderung mengarah ke pendampingan dan advokasi terhadap masalah sosial masyarakat, mendorong partisipasi masyarakat, membantu kerja-kerja dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan, masalah dampak negatif pengelolaan sumber daya alam, dan pertanian. Namun seiring berjalannya waktu hingga saat ini tidak ada LSM/NGO lokal masih menjalankan dan fokus dengan rutinitas kegiatannya sehingga masih bisa dikatakan eksis keberadaannya di Nagan Raya.
B. Maju-Mundurnya CSO/OMS di Nagan Raya
Eksistensi gerakan masyarakat sipil dalam mengawal pemerintahan dan kinerja para politisi sekarang ini menjadi tolok ukur tersendiri bagi penilaian kualitas demokrasi. Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa dominasi para birokrat yang memonopoli kebijakan Negara membutuhkan lebih dari sekedar pertumbuhan organisasi masyarakat sipil yang banyak untuk mengimbangi dominasi tersebut, namun yang terpenting bagaimana mengorganisir visi dan misi mereka menjadi suatu agenda advokasi kebijakan yang akan bersentuhan langsung dengan birokrat. Dari sini advokasi jelas bukanlah sekedar gerakan, tapi membutuhkan legitimasi kompetensi terutama bagi individu aktor-aktor perubahan tersebut. Jhon Gaventa[46] menyebutkan kompetensi menyangkut belajar bagaimana memobilisasi sumber daya ( suara, dana, keahlian) untuk mempengaruhi pembuatan keputusan di arena kebijakan, untuk bekerjasama dan berunding, untuk menantang usaha membalikkan masalah kebijakan menjadi perkara teknis.
Jika ditinjau dari ruang partisipasi masyarakat sipil di Nagan Raya tidaklah begitu signifikan berkembang. Dari hasil diskusi dengan aktivis Nagan Raya (31/08/2013) menyebutkan bahwa partisipasi masyarakat dalam berpolitik masih sangat minim, bahkan gerakan masyarakat sipil sendiri tidak begitu kuat. Hal ini dapat ditelusuri dari jumlah Lembaga Swadaya Masyarakat di Nagan Raya yang bisa dihitung dengan jari. Meskipun dahulu sempat berkembang, namun realitas saat ini menunjukkan bahwa keberadaan LSM/CSO sudah banyak yang vakum.
Faktor penyebabnya adalah lemahnya fundraising, kaderisasi, manajemen, dan jaringan donor dari LSM yang berada di Nagan Raya begitulah hasil fokus group diskusi[47]. Sedihnya lagi narasumber di FGD mengatakan pembentukan LSM hanya sebatas programatik saja tanpa dipikirkan keberlanjutan lembaganya. Bahasa lainnya terjebak pada kepentingan financial sesaat dikalangan aktivis di Nagan Raya. Berdasarkan kondisi itulah membuat lemahnya gerakan masyarakat sipil menjadi kelompok eksternal yang bertugas melakukan monitoring, evaluasi, dan membantu memajukan pembangunan di Nagan Raya.
C. Relasi NGO/LSM Dengan Kekuasaan
Peran advokasi NGO/LSM terhadap pemerintah pada dasarnya menuntut adanya hubungan antar kedua pihak yang bekerjasama dalam melahirkan kebijakan yang bermutu. Hal yang menjadi persoalan disini terkait dengan mekanisme dan jenis hubungan seperti apa yang mesti terjalin antara pemerintah dengan NGO/LSM tersbut. Menurut beberapa hasil riset yang pernah dilakukan berkenaan dengan relasi ini, istilah relasi (linkage) merujuk pada beragam bentuk hubungan/ikatan/koneksi yang boleh jadi ada diantara warga negara secara individual, organisasi sosial, dan sistempolitik. Dalam beberapa contoh, hubungan/ikatan/koneksi tersebut, utamanya bersifat organisasisional sebagaimana dalam kasus jalinan formal dan informal antara organisasi-organisasi sosial dan sebuah sistem politik; misalnya hubungan serikat buruh dengan partai sosial demokrat. Dalam contoh yang lain, istilah “linkage” mengacu pada perasaan keterikatan individu yang bersifat lebih subyektif dengan organisasi-organisasi yang ada di sistem politik”. Akan tetapi dari sini masih belum jelas relasi seperti apa yang harus dibangun. Dari berbagai pandangan yang muncul mengenai bentuk relasi ini dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) wacana. Pertama: Pertama, Pandangan yang menyebutkan harus ada garis tegas antara posisi CSO dengan Pemerintah. Kedua, posisi CSO adalah oposisi abadi terhadap Pemerintah sepanjang proses penyelenggaraan kehidupan bernegara. dan ketiga, bahwa garis tegas antara CSO dan Pemerintahan atau Parpol adalah harga mati, namun tidak serta merta menghambat perjuangan individu aktivis untuk mengambil langkah-langkah strategis seperti halnya masuk lebih jauh ke dalam sistem pemerintahan dan perpolitikan.
Dalam pembagian yang lebih khusus, Sutoro Eko (2013) membagi hubungan ini menjadi 5 (lima) jenis yaitu (i) Participatory Linkage atau disebut sebagai relasi yang rekat. Ini link yang ideal dimana partai merupakan representasi dari berbagai organisasi masyarakat, dan masyarakat dimasukkan dalam proses politik yang dibawa partai. (ii) Relasi Klientelistik. Ini relasi patron klien antara partai dengan OMS. OMS menjadi mesin politik yang memperoleh keuntungan ekonomi yang berasal dari partai. Mereka berburu sumberdaya ekonomi seperti proyek-proyek pemerintah. (iii) Relasi Programatik. Hubungan erat antara OMS dengan partai diikat dengan kesamaan dan komitmen ideologi maupun program. (iv) Relasi Personaldan ikatan karismatik, OMS hadir sebagai pendukung setia partai karena diikat dengan relasi personal terutama karena ikatan karismatik tokoh partai. (v) Relasi Pasar. Relasi jangka pendek antara OMS dengan partai ini karena kecocokan isu yang dijual partai yang diterima dan didukung oleh OMS. Terjadi pertemuan antara permintaan dan penawaran antara partai dan OMS. (vi) Relasi Parokhial. Ini hampir sama dengan relasi personal. Dalam relasi parokhial, hubungan antara OMS dengan partai terjalin dengan erat karena kesamaan agama, suku, daerah, golongan, aliran, dll. (vii) Relasi Oposisional. OMS tidak percaya pada partai atau antipolitik, bertindak sebagai oposisi terhadap partai. Ini salah satu bentuk broken linkage antara OMS dengan partai. Menurut Sutoro, relasi yang paling ideal adalah relasi Participatory, dimana Parpol atau pemerintah yang mengakomodasi aspirasi masyarakat dalam menjalankan agenda partai atau pemerintah.
Dari pemetaan hubungan tersebut, dalam konteks hubungan pemerintah daerah dengan NGO/CSO di kabupaten Nagan Raya tergolong baik. Pemkab sendiri dalam visi misi kepala daerah (bupati dan wabup) Nagan Raya tahun 2012 menetapkan perlu adanya asas keterbukaan di kabupaten tersebut. Pemkab membuka diri dengan siapa saja yang ingin mendapatkan informasi, kritikan dan saran dari berbagai pihak dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan proses pembangunan di daerah tersebut dari berbagai elemen masyarakat termasuk NGO/LSM yang ada di Nagan Raya. Misalnya dalam penyusunan RPJM[48] dan qanun daerah melibatkan elemen lembaga swadaya masyarakat, lembaga massa dan lembaga rakyat. Karena hubungan keterbukaan dengan NGO/LSM Berdasarkan hasil survei SEKNAS FITRA menempatkan Kabupaten Nagan Raya termasuk dalam 10 besar daerah yang dianggap paling transparan di Indonesia[49].
Hal yang menarik dari riset awal ini meskipun Pemkab menyadari bahwa dalam sistem pemerintahan yang demokratis, kemungkinan terjadinya konflik antara pemerintah dan masyarakat sangat potensial terjadi. Misalnya ketika ada kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan kemaslahatan masyarakat, maka biasanya akan ada penolakan dan sikap resisten dari masyarakat. Namun untuk merespon hal ini Pemkab Nagan Raya dalam hal ini biasanya berusaha keras agar konflik di masyarakat dapat dicegah sekecil-kecilnya dengan cara berdialog dengan masyarakat setempat. Hal ini dicontohkan dalam kasus rawa tripa dimana Pemkab Nagan melalui Bupati mendukung rawa tripa dijadikan sebagai wilayah konservasi[50] dan menolak PT Kalista Alam yang mengalih fungsikan lahan gambut menjadi kebun kelapa sawit, kebijakan ini diambil setelah terlebih dahulu mengadakan pertemuan dan dialog dengan pihak WALHI dan Masyarakat setempat. Sesuai dengan aspirasi masyarakat dan LSM WALHI, Pemkab sepakat bahwa daerah Rawa Tripa merupakan daerah yang sangat vital bagi warga setempat terutama untuk pencegahan banjir yang selama ini rentan melanda Nagan Raya.
Pemkab Nagan Raya dalam hal ini memang secara perlahan telah berusaha mewujudkan suatu pemerintah yang demokratis dan membuka diri terhadap masukan dari masyarakat. Sehingga jika dilihat dari sisi relasi NGO/LSM memang telah terjalin dengan baik, yakni hubungan yang dibangun bersifat partisipatorik yakni adanya saling keterlibatan Masyarakat sipil dengan pemerintah dalam melahirkan suatu kebijakan yang partisipatif.
BAB IV
DEMOKRASI DAN SUMBER DAYA ALAM
A. Demokrasi dan Kesejahteraan Masyarakat
Demokrasi sebagai suatu konsep pemerintahan yang diyakni sebagai sarana ideal bagi perwujudan negara sejahtera bukanlah konsep yang baru tumbuh beberapa tahun belakangan, namun demokrasi telah menjadi cita-cita alamiah yang secara inheren disadari manusia ketika ia hidup dan berinteraksi satu sama lainnya. Manusia yang hadir di dunia pada dasarnya pasti mencita-citakan kebahagian bagi diri dan kelompoknya. Dalam hubungan inilah tumbuh kesadaran akan pentingnya nilai dan konsep yang utuh mengenai bagaimana interaksi antar manusia yang saling berbeda karakter dan pemikirannya mulai diperbincangkan oleh para pemikir demokrasi. Sehingga tidaklah mengherankan meski demokrasi telah lama berkembang, namun berbagai konsep dan variasi pemikiran telah lahir untuk mengartikulasikan bahasa demokrasi kedalam ranah praktis, yakni kehidupan bernegara.
Dari berbagai definisi yang berkembang ada dua aliran demokrasi yang dianggap paling berpengaruh di seluruh dunia, yakni Demokrasi Konstitusional dan Demokrasi Komunisme[51]. Demokrasi konstitusional menegaskan bahwa pemerintah yang demokratis adalah pemerintahan yang terbatas kekuasannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenag-wenang terhadap warga negaranya, dan biasanya pembatasan tersebut diataur dalam konstitusi suatu Negara, sehingga dinamakan demokrasi konstitusional[52]. Jika dilihat dari filosofi perumusan konsep demokrasi konstitusional ini seperti yang menjadi inti dari teori kontrak sosialnya Jhon Locke, teori ini pada dasarnya merupakan usaha untuk mendobrak dasar dari pemerintahan absolut dan menetapkan hak-hak politik rakyat[53].
Jika dilihat dalam UUD 1945 menyiratkan bahwa Indonesia menganut sistem demokrasi konstitusional, dimana Indonesia dicirikan sebagai Negara hukum (rechtstaat) dan bukan Negara kekuasaan (machstaat). Jika menilik kembali gagasan demokrasi konstitusional dalam kerangka teori kontrak sosialnya Locke, maka demokrasi sekaligus bermakna sebagai pelibatan warga Negara yang efektif dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Karena demokrasi tanpa adanya Kontrol masyarakat hanya akan membantu memunculkan absolutisme kekuasaan, sehingga pengakuan Indonesia sebagai penganut demokrasi konstitusional menjadi tidak bermakna sama sekali.
Gagasan ideal mengenai demokrasi sekarang ini menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah dan masayarakat Indonesia. Ryas Rasyid mengatakan bahwa Demokrasi yang pada hakikatnya bertujuan mensejahterakan masyarakat, namun sekarang ini indoensia justru masih terjebak dalam penerapan demokrasi dalam kerangka formalistik belaka, dimana demokrasi hanya dimaknai sebagai pestanya kaum elite melalui instrumen pemilu atau Pilkada. Keadaan ini menjadikan masyarakat terutama politisi lupa akan tujuan esensial dari demokrasi yakni mensejahterakan masyarakat[54].
Selain kondisi perpolitikan yang belum sehat, pasca reformasi juga ditandai dengan fenomena euphoria pemekaran daerah yang memanfaatkan pemberlakuan sistem otonomi daerah sebagai sub-sistem dari demokrasi di Indonesia. Salah satu tujuan dilakukannya pemekaran ini agar pemerintah daerah mampu memaksimalkan dengan baik potensi sumber kekayaan alam didaerahnya masing-masing, karena seperti yang telah lazim diketahui sebelumnya seluruh kebijakan termasuk pengelolaan sumber daya alam diurusi oleh pemerintah pusat sehingga memunculkan jurang gradasi yang tidak berimbang antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, dengan bertameng pada alasan ini banyak daerah di indonesia mulai membentuk daerah pemekaran. Menurut hasil evaluasi Tim Pusat Kajian Kinerja Otonomi Daerah (PKKOD) lembaga Administrasi Negara (LAN) salah satu alasan yang paling banyak digunakan bagi usulan pemekaran daerah berkaitan dengan wacana pemerataan ekonomi[55]. Faktor pemerataan ekonomi sepertinya memang menjadi daya tarik tersendiri bagi Pemkab untuk meyakinkan pemerintah pusat terhadap usulan pemekaran daerah, sehingga dari sini kita melihat banyak daerah yang berlomba-lomba memunculkan peta keunggulan potensi sumber daya alam yang terkandung di daeahnya masing-masing.
B. Sumber Daya Alam dan Good Governance Di Nagan Raya
Sebagai salah satu kabupaten hasil pemekaran dari Aceh Barat, Nagan Raya juga menunjukkan keberadaan potensi sumber daya alam yang melimpah, sehingga dapat dimanfaatkan bagi kesejahteraan masyarakat. Dari sisi potensi sumber daya hutan, Nagan Raya memiliki keanekaragaman hayati yang cukup tinggi yang dapat memberikan manfaat bagi kesejahteraan rakyat apabila dikelola dengan baik[56]. Kabupaten Nagan Raya memiliki wilayah hutan seluas 156.449,10 ha, dengan wilayah hutan lindung sekitar 74.335 ha, selain itu hutan produksi menduduki lahan seluas 14.750, serta hutan rakyat 20.413 ha[57]. Selain sektor Kehutanan, potensi pertambangan juga tidak kalah menjanjikan, pertambangan di Kabupaten Nagan Raya terdapat kandungan Batubara, Emas, Grabit dan lainnya. Khusus Batubara saat ini telah ada 1 perusahaan yang melakukan eksploitasi dari beberapa perusahaan yang telah memiliki izin eksplorasi. Sedangkan pada sumber bahan tambang emas, masih dalam tahap eksplorasi[58].
Kabupaten Nagan Raya saat ini juga telah memiliki berbagi sector industri kecil adalah kerajinan bamboo dan kerajinan kasab. Namun, sebagaimana yang diakui oleh Pemkab Nagan Raya karena minimnya faktor kerjasama yang baik dengan investor lain, industri-industri ini belum dapat berkembang secara maksimal.
Namun dibalik kekayaan sumber daya alamnya, kabupaten Nagan Raya Menurut data yang diperoleh dari kemenegpdt masih tergolong sebagai daerah tertinggal[59]. Hal inilah yang menjadi tanda tanya besar bagi kita hari ini, meski demokrasi telah berlangsung selama belasan tahun serta tingginya potensi sumber daya alam ternyata belum mampu menjamin kesejahteraan masyarakatnya.
Beranjak dari fakta ini sepertinya normalisasi demokrasi memang menjadi tantangan abadi bagi Negara yang sedang dalam proses transisi demokrasi. Pandangan ini juga pernah di kemukakan oleh Adam Pzeworski ketika ia melakukan penelitian di Brasil pada tahun 1982, di mana elit mempergunakan instrument demokrasi demi mengamankan kursi kepresidenan. Selanjutnya Pzeworski (Democracy as Contingent Out Come:1988) mengatakan bahwa kelompok elit akan mendukung demokrasi jika mereka merasa yakin bahwa kepentingan mereka akan tercapai dalam kondisi yang lebih demokratis[60]. Upaya purifikasi makna demokrasi pada dasarnya telah mendapat sandaran sangat baik dengan lahirnya berbagai konsep mengenai bagaimana mengelola demokrasi dengan baik, sehingga tidak menyimpang dari tujuan dasarnya. Kesejahteraan masyarakat dalam bingkai Negara demokrasi tidak dapat dilepaskan dari kebijakan sosial yang dikembangkan oleh Negara (Midgley:2000)[61]. Lindenthal (2004) menyebutkan kebijakan sosial dalam arti yang luas bertujuan memenuhi empat tujuan utama yakni: (i) Pengurangan Kemiskinan, (ii) peningkatan standar hidup, (iii) pengurangan kerentanan sosial dan (iv) pencipataan kesempatan kerja[62].
Kebijakan sosial yang baik harus didukung prinsip-prinsip kerja birokrasi yang baik pula. Kebijakan Good Governance kiranya menjadi wacana yang juga telah membumi sebagai konsep pendamping pelaksanaan pemerintahan yang demokratis. Good Governance sendiri merupakan istilah menununjuk pada makna yang sangat beragama terutama dikalangan akademisi, namun diantara banyaknya tafsiran itu Good Governance paling tidak mengandung unsur-unsur pemerintahan yang partisipatif, berorientasi kepada konsensus, akuntabel, transparan, responsive, efektif dan efisien, adil dan inklusif serta mengikuti aturan-aturan hukum yang berlaku[63]. Good governance harus dapat menjamin bahwa korupsi dapat diminimalisir, pandangan dan aspirasi kaum minoritas didengar dan dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan, dan responsive terhadap kebutuhan masyarakat masa kini dan mendatang[64].
Dari hasil pemetaan di Kabupaten Nagan Raya seperti yang telah disebutkan pada bab-bab sebelumnya menunjukkan masih lemahnya kualitas pelaksanaan dan pengelolaan pemerintahan sehingga berdampak pada buruknya kualitas kesejahteraan masyarakat. Pengeloaan demokrasi Sedikitnya harus melibatkan dua institusi penting yakni Pemerintah/ partai politik dan Gerakan Masyarakat Sipil. Dengan kata lain baik buruknya pelaksaan demokrasi dalam suatu kawasan sangat tergantung pada kinerja dua institusi ini.
Pada level pemerintahan kabupaten Nagan Raya, penerapan prinsip Good Governance tergolong masih sangat rendah, hal ini dapat dilihat dari 3 (tiga) sisi: Pertama, Lemahnya insiatif dan penerapan strategi pembangunan. Meski kabupaten Nagan Raya sedang gencar-gencarnya melakukan pembangunan dalam rangka mendongkrak kualitas pelayanan dasar masyarakat dan peningkatan taraf ekonomi masyarakat, namun dari wawancara dengan sejumlah narasumber menyebutkan bahwa kebijakan pembangunan tersebut pada dasarnya lebih mengandalkan signifikansi peran Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh yang memang bertugas membangun kembali wilayah-wilayah yang terkena imbas Tsunami Tahun 2004 lalu. BRR sendiri merupakan badan yang dibentuk pemerintah pusat yang bertugas mengelola sumber donasi baik asing maupun dalam negeri untuk pembangunan Aceh, karena seperti yang kita ketahui bahwa pasca hantaman Tsunami Pemerintah Aceh mengalami kelumpuhan secara administratif, sehingga tidak mampu mengelola pemerintahan dengan baik. Selain itu Peranan NGO asing juga memiliki peranan yang sangat penting baik pembangunan sektor-sektor vital seperti pendidikan, ekonomi, telekomunikasi dan pemerintahan. Sehingga dari sini meski pembangunan telah berjalan di Kabupaten Nagan Raya, namun hal itu bukanlah inisiatif pemkab Nagan Raya sendiri.
Dalam konteks kehidupan saat ini, pasca selesainya tugas BRR di Aceh dan pemerintahan telah berjalan normal, kebijakan yang lahir dari Pemkab sendiri justru masih jauh dari harapan masyarakat terutama di sektor pelayanan publik dan pendidikan. Seperti yang terungkap dalam wawancara dengan sejumlah aktivis dan mahasiswa yang berasal dari Nagan Raya[65], dari wawancara tersebut disebutkan bahwa pelayanan kesehatan terhadap masyarakat terutama golongan menengah kebawah masih dirasakan sangat kurang. Demikian juga dalam aspek pendidikan, meski alokasi beasiswa disediakan Pemkab, namun jumlah beasiswa yang diberikan sangat kecil, serta tidak konsistennya pemberian beasiswa tersebut, sehingga terkadang ada dan terkadang tidak. Kondisi ini justru memunculkan kesan bahwa kebijakan alokasi beasiswa tersebut hanya sebagai ajang pencitraan akan komitmen Pemkab Nagan Raya dalam meningkatkan kualitas dan mutu pendidikan.
Kedua, Birokrasi yang Korup. Korupsi memang telah menjadi fenomena tersendiri yang berlangsung dengan pola sangat terstruktur dan massif yang terus berlansung diseluruh penjuru tanah air kita. Di Nagan Raya korupsi telah menjadi perkara yang lumrah dan menjadi prasyarat yang harus dipenuhi jika masyarakat menginginkan akses pelayanan publik yang mudah dan cepat. Karena itu kebiasaan ini tidak hanya berlansung pada level pemerintah, namun turut merambah kedalam tradisi masyarakat dan swasta dalam hubungannya dengan pemerintah. Bahkan jika ditelusuri lebih jauh korupsi telah dimulai sejak awal terbentuknya kabupaten Nagan Raya itu sendiri.
Akibat prilaku korup ini ditandai dengan melemahnya pelayanan publik bagi masyarakat, terutama dalam hal manajemen dan alokasi sumber dana APBK Nagan Raya. Alokasi dana publik yang sedianya dimanifestasikan untuk pemenuhan kesejahteraan masyarakat justru hanya bertumpuk pada lingkaran elite politik dan pejabat birokrasi. Adapun modus dan sasaran korupsi ini biasanya menyangkut dana publik seperti pendidikan dan kesehatan yang melibatkan banyak pihak dan tergolong sangat rapi.
Ketiga, sisi lainnya yang mesti mendapat perhatian serius adalah menyangkut iklim perpolitikan yang tidak sehat. Meski dari segi partisipasi politik Nagan Raya menduduki urutan kedua terbesar dengan jumlah pemilih yang menggunakan hak pilihnya berjumlah 88.202 jiwa atau 84,79%[66], Namun tingkat partisipasi politik yang tinggi lagi-lagi belum menentukan kualitas perpolitikan yang berjalan. Di Nagan Raya jumlah partisipan politik yang tinggi tidak diikuti dengan pemahaman terhadap rasionalitas pemilih terhadap actor yang dipilihnya. Tingkat elektabilitas politik di Nagan Raya sangat ditentukan oleh sistem oligharkhi dimana ada dua kalangan yang cukup dominan, Pertama; kalangan bangsawan yang diwakili oleh para keturunan raja yang biasanya dilambangkan dengan “Teuku” di nama depan mereka., mereka sangat populer karena dianggap berasal dari keluarga yang memiliki kehormatan yang tinggi. kedua; ulama. Kedua aktor ini mampu mendominasi kekuasaan di ranah eksekutif dan legislatif. Bahkan bupati terpilih saat ini yaitu Teuku Zulkarnaini (Ampon Bang) Faktor utama elektabiliasnya dikarenakan Ampon Bang keturunan berpaduan bangsawan dan ulama, dimana bapaknya bangsawan dan ibunya dari keturunan ulama.
Selain tiga bentuk kerentanan birokrasi di Nagan Raya, elemen vital demokrasi lainnya yaitu Gerakan Masyrakat Sipil juga berada pada level yang cukup mengkhawatirkan. Dari hasil interview dengan aktivis Nagan Raya, gerakan masyarakat sipil di Nagan memang tergolong masih sangat lemah dan minim. Dari segi kuantitasnya keberadaan LSM/NGO masih dapat dihitung dengan jari, selain itu dari sisi kualitasnya LSM/NGO yang sebelumnya eksis, akan tetapi akibat lemahnya sistem manajemen, kaderisasi dan fundraising lembaga telah menyebabkan LSM/NGO tersebut banyak yang sudah Vakum dan bahkan menghilang dengan sendirinya. Dengan lemahnya gerakan masyarakat sipil di Nagan Raya maka aspek pengawasan dan partisipasi aktif warga Negara dalam pemerintahan tidak akan berjalan maksimal.
Analisis ini menunjukkan bahwa potensi sumber daya alam yang tinggi tidak menjamin kesejateraan masyarakat. Demokrasi sebagai wadah bagi pelaksanaan sistem pemerintahan yang baik justru hanya berhenti pada tahapan formalnya saja, sehingga pengelolaan sumber kekayaan daerah menjadi amburadul dan cenderung terabaikan. Hal ini ditambah lagi kenyataan lemahnya gerakan masyarakat sipil yang sejatinya merupakan garda pertahanan terakhir bagi masyarakat dalam mengadvokasi kepentingannya atau dalam rangka memberi masukan kepada pemerintah sehingga kebijakan yang lahir dapat mewakili kehendak masyarakat. Di Nagan Raya kemunculan Gerakan Masyarakat sipil terlihat tidak konsisten, dan cenderung menghilang bersamaan dengan berakhirnya proyek. Hal inilah yang memperlemah kualitas demokrasi dan tatakelola sumber daya alam yang sejatinya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat Nagan Raya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Demokrasi apapun definisi dan variasi yang telah dikembangkan, pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yakni sebagai sarana bagi masyarakat dalam mengelola suatu pemerintahan secara kolektif yang bertujuan mensejahterkan masyarakat. Dalam sistem demokrasi perwakilan seperti halnya Indonesia, masyarakat menempatkan wakil-wakilnya dalam pemerintahan untuk mewakili kepentingannya. Namun besarnya kewenangan yang dimiliki Negara/Pemerintah telah menempatkan Negara sebagai pihak yang memiliki peran yang sangat dominan dalam menentukan dan mengatur segala hal terkait dengan kebijakan publik. Karenanya demokrasi juga mensyaratkan keterlibatan masyarakat sipil yang intensif guna mengontrol dan memberikan sumbangsih ide dalam kehidupan bernegara. Dengan Demikian demokrasi yang baik sejatinya adalah pestanya warga Negara secara keseluruhan, dimana masyarakat dan pemerintah harus secara bersama-sama dan saling terbuka dalam menjalan tugas mewakili kepentingan masyarakat.
Namun tujuan demokrasi sekarang ini hanya berhenti pada slogan dan berujung pada pestanya kaum elit. Demokrasi yang dipahami hanya sebatas pada pemenuhan legitimasi formalnya saja, sedangkan ketentuan hukum yang sedianya berfungsi sebagai instrument yang menjamin terlaksananya tugas –tugas pemerintahan secara tertib dan teratur justru digunakan sebagai alat untuk untuk membungkam pandangan, memaksakan kehendak kepada masyarakat, sarana mencapai kekuasaan dan untuk mempertahankan kekuasaannya. Sehingga tidak mengherankan banyak meski telah belasan tahun hidup dalam alam yang demokratis, namun tetap tidak mampu mengangkat taraf kesejahteraan masyarakat kearah yang lebih baik.
Dalam konteks pelaksanaan Demokrasi di Nagan Raya, tingginya potensi sumber daya alam dan keinginan mewujudkan pemerataan pembangunan serta meningkatkan kesejateraan masyarakat telah menodorong wilayah ini untuk memekarkan diri dari Kabupaten Induknya Aceh Barat. Namun setelah beberapa dekade kepemimpinan berganti, tidak ada perubahan signifikan yang dirasakan masyarakat.
Hal ini disebabkan demokrasi pelibatan organisasi masyarakat sipil kurang didukung guna memajukan daerah Nagan Raya. Hubungan selaras dan harmonis Pemkab Nagan Raya dengan organisasi masyarakat sipil kurang dilibatkan dalam bentuk partisipasi aktif kedua arah. Tidak mengherankan penyimpangan dalam menjalankan Pemerintahan tidak terkontrol oleh OMS/CSO di Nagan Raya. Bahkan besar peluang tindakan kamuflase pelaporan anggaran dibuat sedemikian baiknya sehingga memperoleh penilai baik dari Badan Pemeriksa Anggaran.
Kondisi ini telah mengarahkan demokrasi sebagai pestanya kalangan yang berkuasa. Kekayaan sumber daya alam yang menjadi salah satu sumber pemasukan anggaran daerah justru hanya dinikmati oleh lingkaran elite birokrasi dan politikus saja. Selain itu kehidupan perpolitikan yang diharapkan berlangsung dinamis di Nagan raya semestinya mampu membawa agenda perbaikan bagi pelaksaan demokrasi, akan tetapi semakin membuminya paham politik oligarkhi dimana Politik hanya miliknya golongan bangsawan keturunan raja atau keturunan para alim Ulama yang dianggap memiliki keluarga yang tinggi dan terhormat, telah mengaburkan pemahaman masyarakat tentang fungsi politik dan aktor politik sebagai pihak yang benar-benar mampu mengelola pemerintahan yang baik.
Selain rendahnya kualitas tatakelola pemerintahan seperti yang disebut diatas, bencana demokrasi semakin bertambah dengan matinya gerakan masyarakat sipil di Nagan Raya. Meski beberapa NGO/LSM lokal sempat berjaya pada masa tanggap darurat pasca Tsunami Desember 2004 lalu, namun karenanya lemahnya manajemen organisasi, tidaknya adanya proses pengkaderan anggota serta minimnya pengetahuan mengenai fundraising telah membuat sebagian besar NGO/LSM ini vakum dan bahkan menghilang sama sekali. Meskipun dari penelitian ini menunjukkan masih adanya gerakan masyarakat sipil seperti dalam advokasi kasus rawa tripa, namun gerakan ini hanya bersifat temporer dan kasuistis, dalam arti bahwa pola gerakan yang dibangun tidak berlandaskan visi-misi yang jelas, sistematis dan berkelanjutan. Padahal gerakan masyarakat sipil merupakan salah satu elemen penting dalam menjalankan pemerintahan yang demokratis, namun lemahnya gerakan NGO/LSM ditambah lagi dengan kenyataan kondisi perpolitikan yang tidak sehat serta birokrasi yang korup telah menjadikan demokrasi di Nagan Raya mati suri.
B. Rekomendasi
Berdasarkan temuan awal dari riset ini maka yang menjadi rekomendasi :
- Perlu adanya pendampingan yang serius bagi peningkatan sumber daya manusia para aktivis NGO/LSM yang ada di Nagan Raya, baik mengenai manajemen organisasi, perkaderan, strategi advikasi maupun kemampuan di bidang fundraising lembaga. Hal ini mensyaratkan adanya informasi yang lebih mendalam mengenai penyebab mundurnya NGO/LSM, serta pemetaan lebih lanjut terkait dengan NGO/LSM mana saja yang masih eksis dan membutuhkan pendampingan secara berkala.
- Perbaikan tata kelola pemerintahan melalui penerapan asas dan prinsip Good Governance serta pengawasan masyarakat sipil sehingga potensi penyimpangan anggaran dapat diminimalisir.
- Perlu adanya pencerahan politik bagi masyarakat, terutama yang memiliki hak pilih agar dapat menggunakan hak suaranya pada orang-orang yang dianggap berkompeten dalam mengurusi tatakelola pemerintah yang baik. Kerena selama ini elektabilitas tidak ditentukan berdasarkan kualitas melainkan Aras keturunan yang dianggap terhormat.
[66] Laporan pemantauan pemilukada Aceh tahun 2012, Koalisi NGO HAM Aceh
One thought on “POTRET DEMOKRASI : Studi Kasus Peran CSO Dalam Memperkuat Demokrasi di Nagan Raya”
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.
Saya sudah beberapa kali bekerja mempromosikan buku pelajaran dan perpustakaan di Nagan Raya. Mereka sangat haus mendapatkan pelatihan, baik guru maupun murid.
Peningkatan literasi masih snagta diperlukan, karena tanpa membaca dan menulis dalam arti memahami conten buku dan majalah, ketertinggalan akan luarbiasa menyusahkan.