TGK. Malik Mahmud Al-Haytar Resmi Menjadi Wali Nanggroe
BANDA ACEH – Malik Mahmud Al-Haytar resmi bertakhta sebagai Wali Nanggroe Aceh IX menggantikan Wali Nanggroe VIII Dr Tgk Hasan Muhammad Di Tiro yang meninggal pada 3 Juni 2010. Pengukuhan Malik Mahmud berlangsung dalam Sidang Paripurna Istimewa DPR Aceh, Senin (16/12). Sebagian besar pejabat pusat yang diundang tak hadir pada acara tersebut.
Rapat Paripurna Istimewa DPR Aceh dalam Rangka Pengukuhan Paduka Yang Mulia Wali Nanggroe Aceh dimulai pukul 09.20 WIB di Gedung Utama DPR Aceh, di Banda Aceh. Pada pukul 10.01 WIB, Malik Mahmud secara resmi mengucapkan sumpahnya menandai ia resmi menjabat sebagai Wali Nanggroe Aceh IX dengan gelar kebesaran Al-Mukarram Maulana Al-Mudabbir Al-Malik.
Prosesi pengkuhan berlangsung khidmat dihadiri sekitar 2.500 undangan. Prosesi pengukuhan diawali dengan ketibaan Malik Mahmud di depan pintu gerbang utama Gedung DPR Aceh mengenakan pakaian adat Aceh dipayungi payung kuning emas. Malik didampingi Gubernur dr Zaini Abdullah dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf yang juga mengenakan pakaian adat Aceh.
Beberapa meter setelah memasuki halaman Gedung DPR Aceh, Malik Mahmud disambut suara serunee kale diikuti tarian silek beuso dan ranup lampuan.
Untuk menuju ke dalam ke Gedung Utama DPR Aceh, tempat pengukuhan berlangsung, panitia telah membentang karpet merah mulai dari pintu gerbang hingga pintu masuk gedung dewan. Prosesi pengukuhan diawali pembacaan Alquran dilanjutkan selawat badar dan lagu Indonesia Raya. Sidang dibuka Ketua DPR Aceh Hasbi Abdullah yang kemudian diikuti pembacaan surat masuk oleh Sekretaris DPR Aceh, HA Hamid Zein.
Tepat pukul 10.01 WIB, Wali Nanggroe Malik Mahmud Al-Haytar mengucapkan sumpah diawali suara azan oleh qari internasional asal Aceh, H Hamli Yunus SAg. Seusai azan, Malik Mahmud turun dari podium utama menuju sebuah meja di depan Ketua DPR Aceh untuk mengucapkan sumpah.
Sumpah yang diucapkan Malik Mahmud tertera di atas sebuah naskah bersampul merah yang ditulis dalam dua bahasa, yaitu Arab dan terjemahannya dalam Bahasa Indonesia. Tampak juga sebuah Alquran kuning emas di antara naskah sumpah yang dibacakan Malik Mahmud. Ucapan sumpah ini disaksikan Gubernur Aceh Zaini Abdullah dan Hasbi Abdullah.
Dalam pidato perdana pascapengukuhan, Malik Mahmud Al-Haytar menyebutkan Aceh kembali mengukir sejarah baru, yakni dimulainya kebangkitan peradaban Aceh sebagai wujud dari komitmen seluruh pemangku kepentingan Aceh dalam menjalankan amanah MoU Helsinki dan UU Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006.
“Semoga di hari yang berbahagia ini menjadi hari yang mulia bagi kita semua, khususnya rakyat Aceh tercinta,” begitu antara lain penegasan Wali Nanggroe Aceh.
Di luar Gedung DPRA, seusai pengukuhan Wali Nanggroe, massa yang sejak pagi sudah memadati ruas Jalan Tgk Daud Beureueh di depan gedung dewan tanpa dikomandoi bersorak-sorak meminta dikibarkan bendera Bintang Bulan di tiang yang sudah dipersiapkan di halaman gedung DPRA yang bersisian dengan tiang bendera Merah Putih.
“32 tahun konflik Aceh, bendera ini yang kami perjuangkan. Bendera ini juga amanah MoU Helsinki. Kami ingin menaikkan bendera ini sekarang, jika tak diizinkan, maka kami akan menaikkan bendera ini di menara Masjid Raya Baiturrahman,” teriak seorang warga.
Semakin lama sorakan warga semakin kuat, bahkan mereka berupaya masuk ke halaman Gedung DPRA. Polisi yang berjaga di pintu masuk terpaksa membuka dan menutup pintu pagar. Pasalnya, saat itu para tamu VVIP juga sedang keluar dari Gedung DPRA menuju Pendapa Gubernur menghadiri acara peusijuek Wali Nanggroe.
Menanggapi aksi massa ini, Anggota DPRA dari Partai Aceh, Abdullah Saleh menyatakan memaklumi hal ini, namun ia berharap masyarakat bersabar hingga soal bendera ini disahkan Pemerintah Pusat. Menurutnya, pihak DPRA akan menyelesaikan perkara ini secara bertahap setelah selesainya pembahasan RPP Migas dan RPP Kewenangan Aceh dengan Pemerintah Pusat. Hal yang sama juga dikatakan Juru Bicara Partai Aceh (PA) Pusat, Fachrul Razi.
Ketua DPR Aceh, Hasbi Abdullah dalam sambutannya mengatakan, Wali Nanggroe adalah simbol kebesaran daerah dan keutuhan kultural sehingga memiliki gelar resmi yaitu Al-Mukarram Maulana Al-Mudabbir Al-Malik.
Menurut Hasbi, gelar tersebut penting maknanya sebagai penghargaan atas kewenangan, kekhususan dan kebesaran Aceh sebagaimana tercermin dalam semangat MoU Helsinki yang selanjutnya diimplementasikan dalam UU Nomor 11 Tahun 2006.
Hasbi menjelaskan, Wali Nanggroe diibaratkan sebagai langit yang mampu melindungi seluruh persada Aceh dari berbagai pengaruh negatif yang dapat merusak keharmonisan kaum di Tanah Aceh.
Gelar Al-Mukarram Maulana Al-Mudabbir Al-Malik dalam literatur sejarah Aceh dipakai pembesar kerajaan, baik kepada sultan maupun untuk Wali Nanggroe sebelumnya. “Seperti halnya Wali Nanggroe Teungku Mahyiddin dan Teungku di Buket ibnal-Mukarram Maulana al-Mudabbir al-Malik Teungku Di Tiro yang merupakan Wali Nanggroe VI (Desember 1910-3 Juni 1911),” kata Ketua DPR Aceh.
Meski sudah diundang secara resmi, namun hampir seluruh pejabat pusat, termasuk mantan Wapres RI Jusuf Kalla tak hadir pada acara pengukuhan Wali Nanggroe di Gedung Utama DPR Aceh, kemarin.
Undangan VVIP yang tak hadir, misalnya, mantan Wapres Jussuf Kalla, Menkopulhukam Djoko Suyanto, Dirjen Otda Djuhermansyah Djohar, Dirjen Kesbangpol Tanri Bali, dan Dirjen PMD Tarmizi Karim. Selain dari kalangan eksekutif, ada juga dari kalangan legislatif yang juga tak hadir, seperti Wakil Ketua DPR RI Prio Budi Santoso.
Kecuali itu, Staf Ahli Presiden Bidang Pertahanan Adnan Ganto dan Bidang Pemerintahan dan Hukum Prof Dr Ryas Rasyid yang masuk tim revisi qanun Wali Nanggroe, juga tak terlihat.
Begitu juga dengan beberapa orang perwakilan pemerintah pusat yang pernah terlibat dalam perundingan damai RI-GAM, seperti Hamid Awaluddin, mantan Menlu Hasan Wirayuda, mantan Menteri BUMN Sofyan Jalil, mantan Ketua Tim Pansus RUUPA Ferry Mursidan Baldan, dan dr Farid Hasan juga tidak hadir.
Khusus anggota Rakorpinmda Aceh, yaitu Pangdam, Kapolda, Kajati, Ketua Pengadilan Tinggi, Rektor Unsyiah, dan lainnya semuanya terlihat hadir dan duduk di barisan depan di belakang Ketua DPRA, Gubernur, Wakil Gubernur, Wakil Ketua DPRA, dan Wali Nanggroe.
Di jejeran yang sama juga terlihat Menteri PAN dan RB, Azwar Abubakar yang hadir dan menyampaikan sambutan atas nama pribadi.
Selain itu, Wakil Ketua MPR RI Ahmad Farhan Hamid dan anggota DPR RI asal Aceh Nasir Jamil, Faisal Amin, Marzuki Daud, dan lainnya terlihat hadir dan duduk satu deret dengan Azwar Abubakar dan Prof Dr Bakhtiar Ali.(serambi indonesia)
Average Rating