Duka Aceh Dalam Sejarah
Judul | : | Lampuki |
Penulis | : | Arafat Nur |
Penerbit | : | Mizan, 2013 |
Tebal | : | 433 halaman |
Konflik di Aceh menyisakan luka. Bukan hanya untuk warga Aceh, namun juga untuk mereka yang diterjunkan ke daerah konflik dengan dalih meredam pemberontakan.
Dendam dan nafsu pembalasan seperti menjadi nafas bagi kubu yang saling bertikai. Kedamaian menguap, menyisakan amarah, kepal tangan serta kesumat. Hampir tidak ada jeda untuk memikirkan kemajuan-kemajuan riil di masa depan.
Kemajuan, kemerdekaaan serta kesejahteraan pun diterjemahkan secara berbeda-beda oleh pihak-pihak yang ekstrem berseberangan. Akhirnya, tidak ada pihak yang menang atau kalah. Keduanya mengalami kerugian yang sia-sia.
Arafat Nur secara jelas mengungkapkan hal-hal itu dalam Lampuki. Di dalam novel ini ia mengisahkan segala problema, dinamika serta gejolak masyarakat Aceh, ketika para pemberontak Aceh dan serdadu pemerintah saling mengarahkan senjatanya.
Menariknya, Arafat Nur tidak mengetengahkan kesemuanya dengan amarah ataupun emosi keberpihakan. Sebaliknya, ia mengungkapkannya dengan satir, sindiran, sinisme, sampai olok-olok.
Inilah yang membuat Lampuki terasa berbeda jika dibandingan dengan novel-novel lain dengan latar belakang konflik lokal lainnya. Lampuki tidak hadir untuk memihak, melainkan melakukan protes keras kepada semua pihak.
Ia ingin menelanjangi bahwa pihak-pihak yang bertikai hanyalah orang-orang yang justru menambah beban dan penderitaan rakyat biasa. Justru rakyat biasalah yang menanggung segala akibatnya.
Oleh sebab itu, Arafat tidak segan untuk mengatakan bahwa orang yang mengaku pemimpin perjuangan rakyat Aceh–yang dalam novel ini diwakili oleh Ahmadi–adalah seorang pengecut.
Ketika kampungnya disatroni oleh serdadu misalnya, wajah Ahmadi digambarkan tiba-tiba menjadi kecut. Ia seperti raja malang yang kehilangan kuasa dan martabat. Sinar matanya meredup dan kumisnya terkulai tiada daya.
Padahal Ahmadi mencitrakan dirinya sebagai sosok yang angker. Namun semua itu hanya kulit belaka. Sesungguhnya Ahmadi adalah orang tanpa perhitungan, tidak peduli kepada orang lain dan juga pengecut.
Arafat mendeskripsikan Ahmadi sebagai sosok yang membosankan, dengan kumis tebal yang memuakkan. Menghadapi fakta itu, tokoh “aku” dalam novel ini hanya bisa diam karena ia sendiri dalam posisi terintimidasi.
Sementara itu, Arafat menjuluki serdadu, alias tentara yang ditugaskan untuk meredam kaum separatis, sebagai pasukan beringas yang sering melakukan pembantai dan kekejian terhadap rakyat kecil.
Selain itu, di sana-sini Arafat kerap melemparkan kisah-kisah jenaka dari tokoh-tokoh yang “berseliweran” di dalamnya. Ini bukan sekadar humor, melainkan sebuah komedi masyarakat yang di dalamnya hadir kritik maupun gugatan.
Secara keseluruhan, tampak Arafat ingin mengajak pembaca melihat konflik Aceh dengan cara yang berbeda. Ia tidak ingin memerangkap pembacanya pada pengutuban “salah-benar” atau “Jakarta-Aceh”.
Sebaliknya ia ingin pembaca melihat konflik dengan perspektif yang lebih luas. Di sini bukan hanya sisi politis yang diungkap, tetapi juga sisi sosiologis dan ekonomis masyarakat Aceh. Di sanalah persoalan-persoalan kemasyarakatan menggantung. (ulas-buku.blogspot.com)
Average Rating