HAM dan KKR Aceh

Read Time:6 Minute, 28 Second

HAM dan KKR Aceh

( REFLEKSI HARI HAM SE-DUNIA )

Oleh : Benny Syuhada

 

Secara umum, Hak Asasi Manusia (HAM) selalu santer terdengar di berbagai media cetak maupun media elektronik. Namun, apakah sebenarnya HAM itu? Banyak kalangan masyarakat kita yang beranggapan bahwa HAM itu bertentangan dalam islam, banyak kalangan menolak dan menentangnya. Sebagai warga Negara, seseorang harus paham dan mengkampanyekannya kepada setiap elemen masyarakat. Pada tanggal 10 Desember disetiap tahun diperingati sebagai hari HAM se-dunia. Sejarah HAM dari zaman ke zaman mengalami perkembangan yang dinamis, dimana HAM di secara global digaungkan akan tetapi di beberapa Negara seperti Indonesia masih rentan terjadinya pelanggaran HAM berat yang mayoritas pelaku dilakukan oleh aktor Negara (pemerintah, TNI dan POLRI).

Pengertian HAM

secara formil, HAM  adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhlukTuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (UU no 39 tahun 1999). HAM hanya mengatur kebutuhan prinsipil atau fundamental manusia seperti hak atas hidup, hak untuk berpendapat, berkeyakinan, beragama, beribadah, hak persamaan di muka hukum, hak mendapatkan pekerjaan, pendidikan, kesehatan dan sebagainya. Selain itu, HAM tidak dapat dipisahkan dengan hakikat kodrat manusia oleh karenanya hak-hak asasi manusia senantiasa berhubungan dengan asasi manusia karena sifatnya sebagai makhluk individu dan sosial . Dalam hal ini, hak dibagi dua yaitu hak yang tidak boleh dikurangi dalam keadaan apapun ( non derogable right) dan hak yang boleh dikurangi (derogable right).

Perkembangan HAM di Indonesia

Deklarasi umum HAM pertama kali dideklarasikan pada tanggal 10 Desember 1948 melalui sidang umum majelis PBB di istana Chailot Paris. Setelah deklarasi ini muncullah beberapa ketentuan HAM internasional lainnya seperti konvenan internasional hak sipil dan politik(sipol) bersama dengan  konvenan internasional hak ekonomi, sosial dan budaya (ekosob) pada 16 Desember 1966. Selain itu dideklarasikan konvenan internasional penghapusan segala bentuk diskriminasi rasial (21 Desember 1965), konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (18 Desember 1979), konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat (10 Desember 1984) dan masih banyak konvensi-konvensi lainnya seperti konvensi anak, perlindungan buruh dan penghilangan orang secara paksa.

Konteks Aceh

Pemerintah Indonesia pada saat itu menggelar operasi militer dengan sandi operasi Jaring Merah. Akibat penerapan Daerah Operasi Militer (1989-1998) di Aceh, banyak korban berjatuhan diantaranya masyarakat biasa yang tidak tahu masalah. Para perempuan pun rentan menjadi korban amukan dari pihak aparat keamanan dalam menjalankan tugasnya. Forum Peduli Hak Asasi Manusia Aceh (FP HAM) mendokumentasikan sebanyak 1.321 korban pembunuhan, 1.958 orang hilang, 3.430 orang mengalami penyiksaan dan 128 orang perempuan mengalami perkosaan. Operasi tersebut juga telah berdampak sangat buruk kepada kehidupan sosial budaya dan juga kehidupan beribadah masyarakat Aceh,yang sudah dijalani dan dipraktikkan dengan baik selama bertahun-tahun sebelumnya[1]. Adapun beberapa kasus pelanggaran HAM yang berat terjadi seperti Daerah Operasi Militer (DOM) dari tahun 1989-1998, simpang KKA, gedung KNPI Aceh Utara (kekerasan dalam operasi wibawa), pembantaian Tgk Bantaqiah di Beutong Ateuh, pembantaian Idi Cut  yang masing-masing terjadi pada tahun 1999, bumi floran pada tahun 2001, kasus aktivis RATA pada tahun 2000, operasi rajawali pada tahun 2001, dan Darurat Militer I dan II pada tahun 2003-2004[2].

belum lagi sembuh dari luka konflik yang berkepanjangan Aceh kembali berkecamuk, ini merupakan imbas dari penerapan daerah operasi militer yang diterapkan 9 tahun lamanya. Gerakan Aceh Merdeka terus melakukan perlawanan bersenjatanya di pelosok Aceh, kali ini pengorganisiran GAM semakin luas hampir seluruh kabupaten/kota di Aceh yang pada awalnya hanya beberapa daerah seperti kabupaten Aceh Timur,kabupaten Aceh Utara dan kabupaten Pidie.

Aceh terus dilanda konflik hingga mengalami jeda kemanusiaan (COHA) pada tahun 2001 serta status darurat militer dan darurat sipil yang diterapkan masing-masing selama 6 bulan lamanya. Belum  sembuh rasa trauma yang di alami masyarakat Aceh musibah melanda negeri yang dijuluki Serambi Mekah dengan gempa berkekuatan 8,9 Skala Richter dan susul dengan dahsyatnya gelombang Tsunami yang meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan masyarakat Aceh pada hari Minggu 26 Desember 2004. Ironi memang seperti kata pepatah sudah terjatuh tertimpa tangga pula lagi. Melihat penderitaan masyarakat Aceh yang tidak kunjung membaik,para pihak yang bertikai dalam hal ini pemerintah RI dan GAM membuat nota kesepakatan (Memorandum Of Understanding) di Helsinki, Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005 yang menyatakan bahwa tidak ada lagi pengorganisiran massa bersenjata di Aceh, pembagian hasil sumber daya alam (SDA) yang adil, pemberdayaan ekonomi rakyat korban konflik dan lainnya.

Keadilan Transisi di Aceh

Negara sebagai pemegang otoritas dalam penegakan HAM memiliki fungsi besar yaitu menghormati (Respect), melindungi (Protect) dan memenuhi (Fulfil).  Sebagaimana dalam amanat UUD 45 Psl 28 I (4) berbunyi “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggungjawab negara, terutama pemerintah”. Negara mau tidak mau harus bertanggung jawab atas semua pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia khususnya Aceh sebagai salah satu daerah tertinggi kasus pelanggaran HAM berat. Selain itu, Negara harus menjalankan mekanisme keadilan transisi melalui restitusi dalam bentuk restitusi, kompensasi, rehabilitasi, kepuasan dan jaminan ketidakberulangan bagi korban pelanggaran HAM berat.

Pasca penandatanganan nota kesepakatan (MOU) di Helsinki, upaya untuk menempuh hidup baru damai tanpa kekerasan terus dikampanyekan. Menindaklanjuti MoU Helsinki, pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Presiden dan DPR RI membahas dan mensahkan undang undang pemerintah Aceh (UUPA) pada bulan Mei 2006. Undang-undang ini mengatur tentang hak dan kewenangan Aceh untuk mengatur rumah tangganya sendiri secara khusus selain dari pada politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter, fiskal nasional, dan urusan tertentu dalam bidang agama. Hal lain terpenting dalam undang-undang ini mengamanatkan adanya pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi(KKR).

Hal ini hanyalah wacana belaka, halangan demi halangan dialami. Mahkamah Konstitusi membatalkan undang-undang KKR Indonesia dengan alasan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam MoU Helsinki disebutkan pada poin 2.3. berbunyi “KKR akan dibentuk di Aceh oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Indonesia dengan tugas merumuskan dan menentukan upaya rekonsiliasi”.

Amanat MoU menegaskan bahwa di Aceh akan dibentuk KKR yang bertujuan untuk mengadili kasus pelanggaran HAM masa lalu. Aturan tentang pembentukan KKR sebagai upaya pengungkapan kebenaran masa lalu juga ditegaskan didalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh(UUPA).

Di  Pasal 229 Ayat 1 UUPA berbunyi “Untuk mencari kebenaran dan rekonsiliasi, dengan Undang-Undang ini dibentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh”. Namun   sampai saat ini 8 tahun pasca lahirnya MoU Helsinki dan 7 tahun pasca lahirnya UUPA belum ada keseriusan pemerintah dalam hal ini pemerintah Aceh untuk membahas dan mensahkan qanun KKR di Aceh.

Kalangan sipil di Aceh sejak tahun 2007 hingga sekarang menawarkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dalam bentuk KKR. Janji tinggal janji, pemerintah Aceh baik gubernur dan DPRA tidak serius dalam merumuskan kebijakan tentang adanya KKR di Aceh. Bahwa  perdamaian  tidak hanya cukup diberikan rumah dan dana diyat bagi korban, akan tetapi perdamaian itu terlihat nyata jika adanya keadilan bagi korban. Dalam hal ini, pemerintah Aceh harus melakukan reparasi terhadap korban pelanggaran HAM di Aceh, berupa Restitusi atau pengembalian situasi korban ke kondisi awal, Kompensasi yang harus dibayarkan secara proporsional, Rehabilitasi berupa penyediaan medis, psikologi, hukum dan sosial, kepuasan termasuk dihentikannya pelanggaran, verifikasi dan pengakuan kebenaran kepada publik serta jaminan ketidakberulangan bagi korban.

Transisi pemerintahan telah terjadi baik legislatif (pemilu 2009) dan eksekutif (pilkada 2012) di Aceh, kekuasaan telah berhasil direbut dan dipertahankan oleh kelompok lokal Aceh berasal dari kombatan yang dulunya berusaha memisahkan diri dari NKRI. Namun, kondisi Aceh sekarang dimana kekuasaan telah direbut seharusnya dijadikan sebagai momentum perubahan untuk Aceh yang lebik baik dan bermartabat. Dengan mensahkan qanun KKR di Aceh oleh DPRA bersama pemerintah Aceh maka keadilan bagi korban akan terwujud.

Penulis adalah alumnus Siswa Sekolah HAM untuk Mahasiswa (SEHAMA) angkatan III KontraS Jakarta dan staf Jaringan Survey Inisiatif (JSI).


[1] Komponen Masyarakat Sipil Aceh, dalam Surat yang ditujukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, 25 Oktober 2010.
[2] Data KontraS Aceh (table pelanggaran HAM di Aceh)

About Post Author

JSI

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply