Dimensi Politik Perempuan Aceh

Read Time:4 Minute, 16 Second

Oleh : Aryos Nivada

Politik dan perempuan telah menjadi pembicaraan menarik mulai era pergerakan emansipasi.  Kebanyakan berbagai kalangan menafsirkan  bahwa politik perempuan hanya sebatas kuota 30% saja, serta sebaliknya, bahwa sebagian kalangan menilai politik perempuan tidak hanya sebatas kuota saja, tetapi substansi perjuangan melakukan penyadaran di arena Hak Sipil dan Politik (SIPOL) dan Ekonomi Sosial dan Budaya (Ekosobud). Perbedaan pemahaman tentunya mengurangi denyut nadi geliat dari gerakan perempuan itu sendiri. Hal ini dikarenakan definisi gerakan perempuan itu belum selaras dan sinergis dikalangan mereka. Inilah yang menyebabkan identitas gerakan politik perempuan belum mencapai titik temu sehingga menjadi agenda kesatuan utuh dalam gerakan perempuan itu sendiri.

Berbicara terjunnya perempuan Aceh di ranah politik praktis (public), dan masih kuatnya paradigma dari kaum politikus laki-laki yang beranggapan bahwa perempuan lebih cocok berada di rumah, dapur, kasur (domestic), Serta masih kuatnya budaya partiarki membuat sulitnya penerimaan perempuan di politik praktis oleh sebagian kaum lelaki. Tidak mengherankan ketika perempuan masuk ke organisasi politik, justru realitas yang terjadi adalah pemarginalan perempuan di partai tersebut. Pembuktiannya bahwa perempuan Aceh hanya sebagai ‘pelengkap’ saja di partai politik, bukan bertujuan memberikan kesempatan berkreatifitas serta memperjuangkan hak-hak kaum perempuan di ranah publik.

Akan tetapi perlu di garis bawahi, tidak semua kaum politikus lelaki di Aceh tidak perduli terhadap peningkatan kapasitas politikus perempuan dan mereka bahkan mendukung partisipasinya di ranah publik seperti pada politik praktis. Perilaku kepedulian politikus lelaki di Aceh ditunjukkan dengan memberikan kesempatan kepada perempuan untuk menempati posisi strategis di internal partai politik, memprioritaskan pengembangan kapasitas perempuan melalui training, menjadi narasumber, menjadi aktor penyuluh bagi penyadaran dikalangan perempuan sendiri, dll. Oleh karenanya, untuk menyikapi kepedulian sebagian politikus laki-laki terhadap peran serta politikus perempuan di ranah publik khususnya politik, maka tidaklah bijak kiranya kalangan perempuan melabelisasi dan mengeneralisasikan semua politikus lelaki tidak peduli terhadap politikus perempuan Aceh.

Untuk menelaah mengapa perempuan Aceh tidak di tempatkan pada posisi strategis, dikarenakan faktor utama adalah disebabkan masih kuatnya ketakutan ‘persaingan’ dengan kaum perempuan itu sendiri. Belum lagi berkaca pada proses pemilihan umum di Provinsi Aceh, dimana perempuan Aceh kurang dihargai dari segi pemberian nomor urut ketika menjadi calon legislatif. Terbukti hasil penelitian Perludem Jakarta tahun 2013 tentang partisipasi perempuan dalam politik menemukan penempatan posisi caleg perempuan lebih banyak di nomor urut tiga dan enam. Meskipun ada beberapa partai masih perduli untuk menempatkan posisi perempuan di nomor urut satu.

Dasar pertimbangan pimpinan di partai politik untuk tidak memberikan nomor urut satu atau dua, dikarenakan masih kuatnya kecenderungan anggapan bahwa perempuan dianggap lemah dikalangan pimpinan partai. Mirisnya lagi saya tegaskan bahwa, perempuan Aceh hanya ditargetkan di internal partai menjelang pemilu 2014 sebagai ‘pelengkap’ saja. Kalau tidak ada peraturan Komisi Pemilihan Umum mewajibkan kuota 30% mungkin partisipasi perempuan Aceh di arena politik praktis hanya sebatas mimpi saja.

Menjelang pemilihan umum, hasil tracking dari berbagai media cetak ditemukan hadirnya intimidasi dan kekerasan terhadap politikus perempuan di Indonesia. Menariknya lagi, tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap politikus perempuan itu lebih banyak terjadi di Aceh. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan, bahwa pemarginalan telah terjadi berkali-kali lipat. Baik di ranah domestik dan ranah politik praktis. Jangan disalahkan jika kaum perempuan menilai negara atau pemerintah telah ‘gagal’ memberikan perlindungan bagi kaum perempuan secara seutuhnya. Bahkan lebih jauh lagi negara menjadikan kaum perempuan baik di Aceh maupun nasional sebagai komoditas meraih tujuan utamanya yaitu kepentingan bagi kaum lelaki, khususnya eksistensi di arena domestik dan politik praktis. Dikarenakan dominasi penyelenggara negara adalah kaum lelaki yang berparadigma masih menganggap kecil posisi perempuan di ranah perpolitikan. Berarti negara telah lemah membuat sistem perlindungan bagi kaum perempuan.

Seharusnya perempuan, khususnya di daerah Aceh dijadikan mitra atau partner dalam meraih tujuan negera bersama representatifnya di partai politik. Tentunya bertujuan agar diraih visi dan misi partai politik yang berfokuskan kepada pembangunan negara di pemerintahan. Bukan malahan negara melalui partai politik menjadi aktor pemarginal bagi perempuan Aceh. Ketika kita ketahui bahwa fungsi dan peran partai politik, salah satunya adalah melakukan pendidikan politik serta memberdayakan kaum perempuan dengan memberikan kesempatan menunjukan kemampuannya. Disinilah partai politik menjadi pilar utama membawa perubahan positif bagi perempuan menjadi lebih baik ke depannya.

Realitasnya, partai politik malahan kesulitan melakukan kaderisasi khususnya terhadap perempuan diinternal partainya sendiri. Terbukti kebanyakan partai politik mengeluh ketika memenuhi kuota 30% perempuan di pemilu 2014. Ini menunjukan bahwa partai politik lemah melakukan kaderisasi perempuannya. Apabila tidak dilakukan perubahan sistem manajemen kaderisasi, maka bisa dipastikan partai politik terjebak dalam pusaran kekosongan kader perempuan.

Sungguh pun hadirnya perubahan dan keberpihakan partai politik apabila tidak disertai akan kesadaran dari perempuan sendiri, dan masih beranggapan bahwa mereka memang ditakdirkan untuk berada di ranah domestik saja, maka otomatis posisi politik perempuan tidak akan mengalami perkembangan secara signifikan. Oleh karena itu, hubungan sinergis yang membangun ke’harmonisasi’an menjadi kunci kemajuan kapasitas perempuan dan partisipasi perempuan di perpolitikan.

Akhirnya, kepada seluruh masyarakat Aceh yang peduli terhadap peningkatan kapasitas perempuan, mari bersama-sama menghargai dan memajukan hak-hak perempuan baik di ranah public maupun domestic. Tunjukan bahwa kepedulian terhadap pengembangan kapasitas perempuan bukan ilusi dan hanya sebatas bibir saja. Selanjutnya kepada pemerintah tunjukan keberpihakan dengan mengalokasikan anggaran yang besar bagi peningkatan kapasitas perempuan Aceh, untuk menjadikan Aceh sebagai sebuah daerah ‘potensial’ yang mampu menganyomi semua rakyatnya dalam segala hal. Amin.

About Post Author

JSI

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply