KKR dan Demokrasi Aceh

Read Time:8 Minute, 57 Second

KKR dan Demokrasi di Aceh
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) direncanakan akan dibentuk di Aceh. Amanah dalam MoU Helsinki dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh menjamin kehadiran KKR. Namun kenyataan hingga kini belum direalisasikan.
 
Oleh: Aryos Nivada
Berangkat dari kondisi tersebut, memunculkan tanda tanya apakah lemahnya peran dari masyarakat sipil? atau masyarakat sipil sendiri tidak memiliki usulan dalam memperjuangkan hadirnya KKR di Aceh dan bagaimana melihat prespektif KKR dalam sudut pandang demokrasi dan HAM dikorelasinya dengan masyarakat sipil? Berbagai pertanyaan mendasar itu sebagai pemandu untuk mengkonstruksikan tulisan ini.
Tulisan ini  membahas dan menganalisis peran dari masyarakat sipil dalam mewujudkan maupun melakukan advokasi terhadap pembentukan Komisi Kebenaran Rekonsiliasi di Aceh. Kata kunci dari tulisan ini yaitu KKR dan masyarakat sipil. Rumusan masalah di artikel adalah bagaimana peran masyarakat sipil dalam membentuk KKR di Aceh dintinjau dari sudut pandang demokrasi dan hak asasi manusia.
Jika kita melihat studi pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) di Aceh. Kehadiran dari element masyarakat sipil dari kalangan NGO (LSM), akademisi, dan mahasiswa dalam memperjuangkan terbentuknya KKR menarik dibahas. Tinjauan pembahasan dari sudut pandang demokrasi.
Berbicara demokrasi ruang keterbukaan dan kebebasan mengeluarkan pendapat menjadi penting. Ruang itu baru tersedia setelah Aceh mengalami masa kelam konflik yang berkepanjangan. Pengakuan keberadaan masyarakat sipil diakui setelah transisi dari pemerintahan yang otoriter menuju pemerintahan yang demokratis.
Tindakan otoritarianisme Pemerintah Indonesia diwujudkan dengan memberlakukan kebijakan operasi militer antara lain daerah operasi militer (DOM) diterapkan selama hampir sepuluh tahun (1989-1998). Pemberlakuan status Darurat Militer dan Darurat Sipil di Aceh pada tanggal 19 Mei 2003 – 18 Mei 2005. Syarat utama dalam mengembangkan nilai-nilai demokratis harus menyelesaikan permasalahan di masa rezim otoritarian.
Bagi Aceh, kehadiran lembaga KKR sebagai nilai terkecil dalam mengembang demokrasi. Mengapa, dikarenakan demokrasi juga harus membuka kran keinginan dari masyarakat Aceh, khususnya korban konflik. Keinginan itu haruslah ditindaklanjuti oleh negara melalui representatifnya Pemerintah Indonesia. Bilamana kebutuhan akan lembaga KKR tidak direalisasikan, hal itu sama juga pemerintah mengingkari akan sistem yang telah dibentuk yaitu sistem demokrasi. Jikalau negara gagal mewujudkan, bisa dikatakan negara lemah dalam menyerap aspirasi kebutuhan prioritas dari masyarakat korban konflik di Aceh.
Untuk itu, agar Pemerintah Pusat (Indonesia) tidak gagal membentuk KKR di Aceh, kewajiban dari kalangan masyarakat sipil yang diwakili oleh NGO maupun CSO perlu meletakan peran (role enactment) yang strategis agar terkonsolidasi gerakan untuk melakukan advokasi KKR. Tentunya konsolidasi terkristal, apabila memiliki satu visi dan berbagai misi untuk menjalankan strategi gerakan tersebut.
Basis konsolidasi harusnya mengedepankan nilai-nilai berdemokratis. Maka harus melalui dimensi kultural, sistem pemerintah, dan manajemen gerakan. Kesemua itu terlebih dahulu harus dipahami oleh CSO dan NGO di Aceh, sebelum mewujudkan hadirnya KKR.
Selain itu, sifat optimisme dan semangat jangan pernah luntur. Walaupun aliran donor tidak mengarah pada issue HAM, karena dianggap tidak seksi lagi ataupun ancaman dari pihak-pihak tertentu yang tidak berkeinginan terbentuknya KKR di Aceh. Disisi lain, bahwa setiap perjuangan membutuhkan pengorbanan fisik dan non fisik. Jangan sampai bentuk pengorbanan dari CSO/NGO memfasilitasi kebutuhan masyarakat korban konflik gagal dimata korban konflik sendiri. Sudah negaranya tidak memiliki keseriusan (political wiil), ditambah lagi CSO/NGO-nya mati suri dari gerakan advokasi terhadap KKR di Aceh.
Partisipasi dalam membentuk KKR haruslah melibatkan masyarakat Aceh yang terkena dampak akibat konflik yang mendera Aceh. Kita mengetahui, bahwa partisipasi bagian dari demokrasi itu sendiri. Jangan sampai konsep KKR lahir dari pemikiran kalangan CSO/NGO maupun masyarakat sipil lainnya seperti akdemisi, mahasiswa, wartawan, dll. Bukan murni dari pemikiran korban konflik. Sehingga KKR yang terbentuk nantinya, memiliki rasa kepemilikan, bukan hanya memiliki segelintir organisasi maupun personal orang.
Faktanya, CSO/NGO dan komponen masyarakat sipil lainnya begitu masif dalam memperjuangkan kehadiran KKR di Aceh. Buktinya sudah menghasilkan qanun (perda) KKR, walaupun belum kunjung disahkan oleh DPRA. Menurut penulis kewajiban dari anggota dewan di DPRA membahas qanun KKR. Apabila mengingkari, salah satu fungsi utama anggota yaitu legislasi.
Kita mengetahui keberadaan mereka menyerap aspirasi dari masyarakat Aceh, khusus masyarakat korban konflik. Pemerintah Aceh sendiri terlihat tidak memiliki tangggu jawab serius, kalaupun tim membuat qanun KKR versi Pemerintah Aceh telah dibentuk namun denyut kerjanya sama sekali tidak nampak ke publik. Apakah pembentukan KKR oleh tim Pemerintah Aceh sebagai strategi pecitraan saja. Seakan-akan ada kepedulian serius, kenyataan nol besar. Bahkan gubernur Aceh pun terkesan tidak mau membentuk, dikarenakan akan menambah anggaran daerah. Sesuai dengan pernyataannya di media. “KKR butuh biaya mahal. Jadi tidak cukup kalau dibentuk dengan qanun. Tapi harus dengan penerbitan undang-undang,” (SI,Wed, Aug 18th 2010, 15:01).
Alasan DPRA maupun Pemerintah Aceh tidak merealisasikan KKR, disebabkan Undang-Undang Pemerintahn Aceh (UUPA) Pasal 229, 230, dan 231 tersebut terbentur dengan UU Nomor 27 Tahun 2004 mengenai keberadaan KKR Nasional. Dalam ayat (2) disebutkan bahwa KKR di Aceh merupakan bagian tak terpisahkan dengan KKR (Nasional).
Masalahnya UU No 27 tahun 2004 telah dibatakan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) pda tahun 2006. Pembatalan UU No 27 tahun 2004 Tentang KKR oleh MK adalah melalui putusan dengan Nomor Perkara 006/PUU IV/2006 dan 020/PUU IV/2006 yang menyatakan UU KKR bertentangan dengan UUD Republik Indonesia tahun 1945 dan UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Otomastias pembentukan KKR Aceh juga terhambat karena payung hukumnya telah hilang. Begitu pun, CSO/NGO, masyarakat sipil, dan korban konflik berupaya melakukan desakan kepada pemerintah Pusat agar segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Selanjutnya bisa dilakukan dengan meningkatkan statusnya menjadi undang-undang. Demi menggoalkan tujuan itu dibutuhkan kekuatan bernegosiasi dengan Pemerintah Pusat.
Pertanyaan apakah negosiasi yang dibangun sudah intensif, jangan-jangan meredup tidak kesibukan agenda program dari kalangan CSO/NGO maupun pribadi personal dari kalangan masyarakat sipil?
Kembali lagi mengulas qanun KKR dihasilkan dari partisipasi berbagai komponen masyarakat sipil, tidak hanya CSO/NGO dan masyarakat korban konflik saja. Tidak hanya sampai disitu saja, gerakan CSO/NGO dan masyarakat sipil di Aceh telah berhasil mendirikan wadah komunikasi guna membangun sinergisasi dan konsolidasi yaitu Koalisi Pengungkapan Kebenaran (KPK), dimana menjadi hostnya adalah Aceh Judicial Monitoring Institute.
Keberhasilan mendirikan wadah KPK haruslah selaras dengan bukti kerja riil dalam memperjuangkan KKR di Aceh. Jangan sampai menjadi mandul, akibat konflik di internal yang berujung pada materi saja. Wal hasil sibuk menyelesaikan konflik internal, kerja bagi pembentukan KKR berjalan di tempat.
Kunci keberhasilan KKR terletak pada komunikasi, maksudnya dibutuhkan agenda pertemuan rutin segi tiga antara Pemerintah Aceh, DPR Aceh, dan komponen masyarakat sipil. Tujuannya untuk membangun kekuatan dalam melakukan negosiasi kepada Pemerintah Indonesia (pusat). Kenyataan masing-masing terfriksi pada kepentingan terselubung. Tidak menutup kemungkinan masih melekat stereotype permusuhan satu sama lainnya. Padahal, KKR seharusnya bisa dijadikan momentum melakukan kemesraan gerakan seperti di romantika Undang-undang Pemerintah Aceh.
Ditakutkan masyarakat korban konflik semakin menggunung keapatisannya. Setelah apatis terhadap Pemerintah Aceh, makin diperkuat lagi apatis kepada CS/NGO. Berangkat dari kondisi tanpa sadar mengarahkan pemikiran korban konflik”kami dijadikan komoditas dan objek kepentingan saja” terlepas bentuk kepentingan, apakah kepentingan program CSO/NGO di Aceh, kepentingan Pemerintah Aceh, dan kepentingan elit politik di Aceh meraih menjadikan lumbung suara dari korban konflik pada saat pilkada dan pemilu.
KKR dan HAM di Aceh
Korban konflik dan masyarakat sipil membutuhkan kehadiran KKR di Aceh. Keinginan pembentukan institusi terlindungi dan diakui oleh negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Hak Sipil Politik. Pada pasal 2 di UU tersebut, menjelaskan kewajiban negara merealisasikan” Menjamin, bahwa setiap orang yang menuntut upaya pemulihan tersebut harus ditentukan hak-haknya itu oleh lembaga peradilan, administratif, atau legislatif yang berwenang, atau oleh lembaga berwenang lainnya yang diatur oleh sistem hukum Negara tersebut, dan untuk mengembangkan segala kemungkinan upaya penyelesaian peradilan”
Bila merujuk pada pasal di atas, KKR di posisikan sebagai lembaga yang dipercaya memulihkan sekaligus mendorong penyelesaian di peradilan. Walaupun KKR bukan lembaga yang melakukan eksekutor atau menentukan hukuman seseorang pelanggar HAM. Selain itu, KKR juga menjalankan fungsinya yaitu memediasi hak korban konflik mencari kebenaran dan keadilan pasca tindakan pelanggaran HAM yang dilakukan, jikalau KKR terbentuk nantinya.
Lembaga atau institusi yang dibentuk haruslah memperhatikan aspek hak asasi manusia dalam operasional serta mekanisme menjalankannya. Di samping itu dibutuhkan keterlibatan aktif dari masyarakat sipil di dalam struktur institusi tersebut. Sehingga keberpihakan terhadap korban konflik dapat terwujud. Ciri khas dari institusi KKR semi negara, dikarena keterwakilan masyarakat sipil di dalamnya.
Keberadaan institusi KKR juga harus melindungi saksi, tentunya harus bekerja sama dengan aparat penegak hukum. Mekanisme menjalankan tertuang melalui UU Nomor 5 Tahun 1998, memberikan perlindungan kepada saksi dan kepada korban yang melapor ke lembaga KKR memanggil pada saat dibentuk di Aceh nantinya. Hal ini tertuang dalam pasal 13 dan 14.
Kalau melihat lebih jauh lagi, kehadiran institusi KKR karena ketidakpercayaan terhadap institusi negara yang sudah terbentuk seperti kepolisian, pengadilan, dll. Sejalan dengan pemikiran Cornelius Lay (Lay 2006, h. 6) mengatakan, proses kelahiran lembaga-lembaga sampiran negara merupakan refleksi dari kontestasi dua kecenderungan klasik yang menjadi salah satu pertanyaan-pertanyaan besar yang bersifat permanen dalam studi ilmu politik, yakni kecenderungan sentripetal (konsentrasi kekuasaan) dan cenderungan sentrifugal (pemencaran kekuasaan).
Institusi yang dipercaya bisa menyelesaikan permasalahan kemanusian tidak mengadopsi dan mempraktekan hak asasi manusia dalam kenyataannya. Berangkat dari kondisi itu, korban konflik berharap besar terhadap kehadiran KKR. Bilamana negara tidak merealisasikan kebutuhan akan institusi KKR, maka negara tidak menegakan HAM apa yang sudah dilakukan melalui kebijakan operasi militer di Aceh. Bentuk penegakan HAM, salah satunya menghadirkan dan membentuk institusi KKR.
Ditinjau dari hak resparasi bagi korban konflik merupakan wujud pemenuhan dari aspke hak asasi manusia pasca konflik, dimana melalui kebijakan operasi militernya. Selain daripada itu pemulihan hal sipilnya bagi korban konflik yang di klaim sebagai cuak harus di reintegrasikan ke masyarakat. Ditambah lagi bagi kalangan PETA dan Inong Bale (tentara perempuan GAM) tidak tersentuh dalam kebijakan dan program reintegrasi yang dilakukan Pemerintah pusat dan daerah. Kalau pun ada sebagaian kecil dari mereka yang merasakan dampaknya tidak holistik.
Akhir Sebuah Pemikiran
Sejatinya, perjuangan untuk menegakan keadilan dan kebenaran melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Aceh memang sangat membutuhkan kesabaran ekstra. Untuk itu dibutuhkan kesabaran masyarakat sipil atau Civil Society Organitation dalam memperjuangkan terbentuknya KKR di Aceh. Kunci keberhasilan masyarakat sipil atau CSO terletak dari komunikasi yang di bangun dan konsolidasi gerakan yang dibentuk dan dilakukan. Dinamika pasang surut dalam gerakan haruslah dimaknai sebagai khasanah dalam melakukan advokasi.
Namun kita harus optimis, walaupun KKR terkendala lantaran payung hukum tingkat nasional tentang KKR tidak batalkan Mahkamah Konstitusi. Seharusnya pembentukan KKR merupakan tanggung jawab dari negara melalui perpanjang tangan perangkat pemerintah (pusat, daerah, DPR RI, DPRA). Selain itu, pembentukan KKR sebagai wujud hadirnya penegakan HAM pasca perdamaian di Aceh.
Solusinya bisa diupayakan melalui Kepres, Perpu, atau CSO/NGO sendiri yang membentuk KKR. Pengalaman di negara Rwanda, di mana pembentukan KKT bukan di inisiasi oleh pemerintah tetapi oleh CSO/NGO yang membentuk KKR sendiri. Tentunya dengan adanya pelbagai pelibatan CSO/NGO internasional dari Amerika Serikat, Kanada, dan Perancis. Prinsip yang harus ditanam adalah dimana keinginan pasti ada jalan.[]
Penulis Aryos Nivada, Mahasiswa UGM Jurusan Politik dan Pemerintahanh.
Tulisan ini telah dimuat di Harian Aceh

About Post Author

JSI

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%

Leave a Reply