Kerajaan Bisnis Militer Plus Bisnis Militer GAM Di Provinsi NAD
Kerajaan Bisnis Militer Plus Bisnis Militer GAM Di Provinsi NAD[1]
Ditulis oleh Aryos Nivada[2]
(Ditulis tgl 29 Mei 2007 dan di terbitkan oleh The Ridep Institute)
Gambaran Historis
Bila mengkaji secara sistematis bisnis militer memang sangat sulit, ibaratnya mencari jarum yang jatuh di rerumputan. Untuk menelusup mencari korelasi antara bisnis militer dan pelanggaran merupakan suatu kesatuan yang sinergis. Intinya di setiap institusi militer didirikan jaringan bisnis secara otomatis korbannya adalah masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung, maka tidak heran kaum serdadu selalu melihat dari sudut pandangnya serta pola pikirnya, bahwa untuk mencapai sesuatu harus mengorbankan orang lain.
Pasca perdamaian di Aceh merupakan sebuah turunan dari MOU dan UUPA. Benang kusut yang telah lama terbelit pelan-pelan mulai terbanahkan, sedangkan bisnis militer pun sudah berganti wajah dengan pola baru, karena pihak serdadu mengetahui bukan lagi mereka yang memegang kendali lapangan atau bukan sebagai aktor utama dalam permainan sebuah film dan sebagai salah satu aktor kesuksesan bisnis di Aceh. Keadaan sudah aman dan kondusif yang membuat income dari bisnis militer melemah. Perdamaian sudah mulai tercermin di Tanah Rencong pasca konflik berkepanjangan.
Berbeda kalau mengkaji secara holistik peranan militer dalam melakukan bisnis terlarangnya di Aceh, hampir segala ranah lahan bisnis dikuasai dengan mekanisme kekejamannya belum lagi adanya nilai pelanggaran HAM yang terjadi pada saat implementasi bisnis tersebut.
Penerapan bisnis militer tidak hanya berada di luar, tetapi juga di dalam institusinya pun melakukan sepak terjang tersebut. Kalau kita kaitkan dengan di Aceh membuat militer mengumpulkan upeti dari bisnis di Aceh, bahkan dari masyarakat Aceh pada khususnya. Anehnya pun kegiatan itu malahan dibiarkan berkembang tanpa kontrol yang jelas melalui prosedur tertentu, sehingga kegiatan itu dibiarkan mendarah daging. Kalau mau diusut banyak sekali kegiatan bisnis militer di Provinsi NAD, yang hampir tidak tersentuh tangan keadilan hukum Indonesia.
Dalam doktrin Dwi Fungsi ABRI (dulu) sekarang bermetamorfosis menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) hanya mengenal dua fungsi secara institusinya, yaitu fungsi pertahanan-keamanan dan fungsi terakhir sosial politik. Tetapi fakta realitas dalam kepemerintahan Indonesia, bahwa masing tersisa lagi satu fungsi yang secara tegas belum dikatakan oleh TNI yaitu sebagai aktor pemain perekonomian hampir di selutuh lini bisnis di Indonesia. Modus operandi bisnis militernya melalui wadah yayasan dan koperasinya, tetapi teknis kerjanya di dalam yayasan atau koperasi banyak melahirkan perusahan-perusahan milik jenderal berbintang maupun perwira menengah. Kejadian ini terjadi di seluruh Indonesia, sehingga tidak heran bila keterlibatan TNI di dunia ekonomi menjadikan aktor terpenting di Indonesia.
Aparat militer di Provinsi NAD memiliki pengamalan yang cukup panjang dalam mencari dana yang berada di luar anggaran negara. Aparat militer ini memperoleh pendapatan dari bisnis–bisnis yang mereka dirikan baik atas nama yayasan maupun koperasi serta individual masing-masing petinggi TNI atau perwira menengah. Pengertiannya mereka bekerja atau berbisnis dluar anggaran yang telah di tetapkan oleh pemerintah
Pergulatan di tubuh militer antara dua instansi Polri dan TNI di arena bisnis menciptakan ketegangan di Tanah Rencong sejak kepengaktifan kembali Kodam diperkuat lagi pasca pemisahan Polri dari TNI diperkuat dengan regulasi hukum yang jelas antara kedua lembaga pertahanan.
Kehadiran militer di Aceh selama ini tidak dengan tangan kosong alias tanpa kepentingan. Mengutip Hasil penelitian Pusat Studi Pengembangan Kawasan (PSPK), 2000, ia menunjukkan, selama ini ada tiga kepentingan militer di Aceh.
Pertama, pada masa revolusi dan Orde Lama kepentingan militer lebih kuat pada konsolidasi militer dan bangsa. Konsolidasi ini amat masuk akal karena pada masa itu TNI sedang mengusahakan penggabungan sejumlah kesatuan, antara lain tentara KNIL, PETA, dan pasukan laskar. Kepentingan konsolidasi bangsa muncul karena Indonesia dihadapkan pada ancaman penjajahan Belanda, terutama tahun 1947 sampai 1948. Ancaman juga muncul dari beberapa pemberontakan, antara lain dari pergolakan DI/TII, PRRI, dan PKI. Dalam situasi ini kehadiran TNI dibutuhkan untuk menegakkan dan menjaga kedaulatan negara.
Kedua, di masa Orde Baru kepentingan militer lebih kepada pertimbangan karier dan bisnis. Aceh juga menjadi proyek militer untuk meningkatkan karier (prestasi). Syarwan Hamid, misalnya, setelah menyelesaikan masa tugas sebagai Komandan Korem Lilawangsa tahun 1990-1991, pada masa korban DOM mencapai puncaknya, langsung diangkat sebagai Kepala Pusat Penerangan TNI AD, lalu sebagai Kepala Pusat Penerangan ABRI dan terakhir sebagai Menteri Dalam Negeri. (www.kompas.com/kompas-cetak/0305/04/Fokus/290292.htm – 46k).
Pembagian Ranah Bisnis Militer
Indonesia terkenal dengan militer memainkan bisnisnya hampir di semua ranah lahan bisnis. Konteks pola menjalankan bisnis militer di Indonesia melibatkan pensiunan TNI, keluarga anggota TNI atau anggota TNI yang masih aktif tetapi di luar struktur institusi TNI, berbentuk yayasan atau koperasi. Meninjau bentuk keterlibatan militer melakukan bisnisnya terbagi menjadi tiga pola teknis menjalankan bisnisnya. Pertama militer yang terlibat langsung dalam pengertian dia seorang pelaku bisnis langsung seperti seorang militer pemilik salah satu saham secara besar sekaligus pemilik bisnis tersebut. Kedua, militer yang bukan pelaku utama tetapi pihak yang menjalankan bisnis tertentu atau menjalankan bisnis milik jenderal berbintang. Terakhir (ketiga) yaitu mereka berstatus bukan sebagai aktor pengelola atau resmi seorang pemilik, tetapi nama para jenderal berbintang tersebut digunakan untuk memperlancar bisnis orang tertentu yang telah mengikat kerjasama dengan bisnis tertentu.
Memang sangat aneh bila serdadu baik dari kepolisain maupun TNI terjun ke dunia bisnis. Menimbulkan sebuah pertanyaan dari benak kita semua apakah ini berdampak dari kurangnya anggaran dalam kebutuhan militer di Indonesia ataukah memang institusinya yang tidak bisa mengelola anggaran yang cukup besar tersebut, bahkan hampir setengah APBN untuk logistik operasional maupun memperkuat kapasitas militer Indonesia. Entry pointnya masih tidak stabilnya perekonomian Indonesia bisa jadi.
Di daerah konflik di Aceh bukan nasib buruk menimpa militer di kancah pertempuran di Tanah Rencong selama kurun waktu kurang lebih 32 tahun, tetapi keuntungan yang diperoleh dari militer guna membangun jaringan bisnisnya baik melalui logistik maupun penjualan senjata secara ilegal.Titik puncak militer berbisnis ketika diterapkannya DOM, DM, dan DS.
Cangkupan ruang militer dalam mengeruk uang baik dari segala penjuru lahan bisnis di Indonesia khususnya di Provinsi NAD terbagi ke beberapa sektor criminal economy. Income militer terbesar bersumber dari criminal economy baik ranah penjudian, penyelundupan minyak, illegal logging, perdagangan obat terlarang, penyelundupan mobil mewah dan senjata. Untuk itu dalam mengupas setiap item bisnis militer di Tanah Rencong yang dikategorikan criminal economy harus secara mendalam dan bersinergi kepada keadaan realitas.
Perjudian
Melihat keadaan realitas di Serambi Mekkah tentunya publik tidak melupakan bagaimana togel atau KIM merajai Aceh dalam beberapa tahun ke belakang. Pembahasannya terletak ketika militer menjadi preman dalam pengamanan bisnis terlarang tersebut. Walaupun dalam konteks hukum positif Indonesia, bahkan oleh agama dilarang keras, anehnya tidak dapat diberantas. Ini terkait dengan pola kerja yang militer yang melindungi di bawah baju lorengnya.
Daerah di Aceh antara lain Aceh Utara, Lhokseumawe, Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang yang menjadi pusat konsentrasi dari bisnis militer berkedok mulai dari melindungi hingga menjalani bisnis tertentu umum berpangkat perwira menengah yang bermain itu juga sudah menjadi rahasia umum, karena banyak sekali yang tertangkap mengakui bahwa mereka dilindungi oleh militer. Sejak 40.000 personel militer dikirim ke Aceh, memang kian banyak saja bisnis haram yang mereka kuasai.
Walaupun dengan penerapan syariat Islam di Aceh membuat bisnis Kim dan Togel di beberapa ranah yang telah disebutkan di atas, ruang gerak militer pun diubah menjadi lebih cantik lagi melindungi dan bermain. Konteks ranahnya telah berbeda. Kalau dulu mereka berani blak-blakan karena belum diterapkan syariat Islam, sekarang dengan penerapan itu membuat militer harus berhati-hati dan bermain soft.
Untuk Aceh Timur, Langsa, dan Aceh Tamiang memang togel dan KIM masih ada karena efek dari geografis wilayah yang berdekatan dengan Sumatra Utara yang membuat bisnis tersebut tetap subur dan militer dapat meraup keuntungan dari bisnis itu. Satu lagi terkait dengan adanya pelaku dari kalangan militer berpangkat rendah, sehingga ada sinergi yang mendalam dengan komandanya.
Selain judi buntut, bisnis minuman keras juga menjadi salah satu favorit militer seperti yang terjadi di Kuala Simpang bisnis militer dikelola melalui fihak kedua. Maksudnya, militer melindungi organisasi pemuda setempat, Karmin (50) masyarakat mengenal sebagai dedengkotnya atau bos besar minuman keras di Aceh Tamiang.
Selain Karmin, ada pula dua agen lain yang beroperasi di daerah Pos (kota) dan Lintang Atas, Kecamatan Kota Kuala Simpang. Mereka masing-masing mempunyai beberapa penyalur dan pengecer. Setiap penyalur dan pengecer mempunyai hak memasarkan minuman keras tanpa gangguan dari pihak manapun. Beberapa kali memang dilakukan razia, tapi itu hanya formalitas saja. Siang razia, malamnya, semua minuman yang disita kembali ke tempat semula. Nilai setoran bagi penjual miras di kenakan setoran Rp 1 juta sedangkan untuk togel atau KIM tergantung dari jumlah masukan (tim acehkita, 2005-05-02 website).
Untuk daerah Aceh Timur, Langsa dan Aceh Tamiang bisnis militer mendapatkan uang dari Olo Panggabaean seorang bos besar KIM dan Togel di Medan, pimpinan Ikatan Pemuda Karya (IPK). Dari tangannya militer di ketiga ranah tersebut mendapatkan uang pengamanan (Serambi Indonesia, 25 April 2004).
Jasa Keamanan
Omset terbesar dari bisnis militer salah satunya jasa pengaman, karena Aceh terkenal sebagai daerah penghasil migas terbesar di Indonesia. Penambangan gas dilakukan di daratan maupun lepas pantai dan kemudian diolah menjadi gas alam cair (Liquified Natural Gas = LNG). Jumlah produksi penambangan tersebut telah memberikan sumbangan sebesar 30% dari total ekspor gas dan minyak bumi Indonesia. Beberapa perusahan yang bergerak dalam mengeksploitasi gas dan minyak bumi di Aceh yaitu Pertamina, ExxonMobil, PT Arun LNG. Bila dikaji secara matematis memang datangnya konflik membawa berkah bagi kalangan militer dari segala institusi militer. Pasalnya mereka mendapatkan proyek pengamanan yang incomenya cukup besar, sehingga baik dari penjabat teras atas hingga bawahan mendapatkan keuntungan. Perusahan multinasional itu harus merogoh koceknya dalam-dalam untuk biaya pengamanan, padahal seharusnya pengamanan pabrik dan pekerja perusahan sudah merupakan kewajiban fihak militer. Ini juga salah satu kewajiban pemerintah berupa penyediaan public goods.
Konsepnya bahwa perusahan-perusahan baik gas dan minyak bumi dalam menjalankan proses produksinya telah dikenakan wajib pajak hampir semua item. Anehnya, pihak militer masih mengenakan biaya pengamanan. Diperkirakan TNI mendapatkan dana dari ExxonMobil sebesar $500.000 (sekitar Rp 4,5 milyar) per bulan dan 3000 prajurit TNI mendapatkan dukungan dalam bentuk pengadaan logistik. Untuk pengamanan itu hampir 2 Kompi TNI sedangkan pihak kepolisian hanya 1 Kompi untuk mengamankan tidak hanya ExxonMobil saja PT Arun LNG pun jadi pangsa pasar yang basah bagi militer dalam hal bisnis pengaman.
Biaya penyewaan untuk keamanan itu untuk satu orang anggota Brimob diberikan satu bulan yaitu Rp 1,5 juta dari pihak ExxonMobil maupun dari PT Arun LNG. Itu merupakan harga pasaran, bahkan mereka memiliki patokan tersendiri dalam memberikan keamanan terhadap fasilitas bisnis di Aceh. Rp 1,5 juta untuk seorang anggota Brimob tidak semua diterima oleh mereka, tetapi setengahnya disetorkan kepada komandan kesatuan masing-masing.
Illegal logging
Rentang waktu selama bertahun-tahun keberadaan militer telah mengeksploitasi sumber daya alam masyarakat Aceh, khususnya hutan di pegunungan. Diperkuat lagi terciptanya lagi zaman Orde Baru yang menerapkan sistem bagi hasil SDA yang tidak mementingkan kesejahteraan rakyat Aceh. Padahal, kondisi hutan secara geografis memang sangat bagus sebagai penyangga kestabilan alam, baik dari segi iklim, tanah longsor dan penyerap air.
Wilayah hutan di Provinsi NAD bila ditinjau dari aspek kebudayaan dan sinergi ketradisionalannya, kearifan ekologis sudah dimiliki oleh masyarakat adat setempat. Mereka bertani di hutan lalu menerapkan pola pemilihan lahan yang memperhatikan aspek kelestarian alam. Tetapi yang lebih meresahkan adalah praktek illegal logging, terutama di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser. Polisi hutan tidak bisa bergerak karena keterlibatan anggota TNI melindungi bisnis haram tersebut. Indonesia Center for Environmental Law (ICEL) mendapatkan kasus keterlibatan seorang perwira menengah, yakni Letkol TNI M Soleh. Mantan Komandan Kodim 0108 Aceh Tenggara itu sampai saat ini tidakjelas tindakan hukum terhadap dirinya, karena Pangdam Bukit Barisan memutasi dia. Kasusnya berkaitan illegal logging di kawasan ekosistem Leuser.
Masalah illegal logging bahkan mendapatkan sorotan yang sangat serius dari kepemerintahan Irwandi Yusuf dalam memimpin Aceh. Buktinya banyak kasus yang tertangkap langsung oleh Irwandi ketika melakukan inspeksi mendadak ke beberapa daerah yang di katakan sebagai daerah basah dalam pembalakan liar kayu dari hutan Aceh.
Sebelum Irwandi Yusuf dilantik pun telah mendapat sorotan tegas dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Mereka menemukan keterlibatan oknum militer sebagai penebang kayu di lokasi TN Gunung Leuser yang luasnya mencapai 43.622,65 hektar.
Salah satu alasan mengapa Walhi Aceh menentang pembangunan jalan Ladia Galaska, ya karena masalah ini. Bila ada jalan membelah Leuser secara otomatis otak dari militer akan bermain untuk melakukan aktivitas illegal logging dengan leluasanya. Belum lagi temuan dari Walhi Aceh yang mengatakan bahwa aktor terbesar dalam melakukan penebangan liar yaitu TNI dan Polisi, sedangkan masyarakat hutan sekitar dikategorikan sebagai pelaku tergolong kecil.
Salah seorang wartawan Majalah Acehkita edisi Mei 2005 melakukan investigasi di Aceh Singkil mendapatkan kasus bisnis militer. Walau tak terlibat langsung dalam bisnis kayu, tetapi personel TNI di sana menetapkan fee sekitar Rp 250 ribu untuk setiap pengangkutan. “Jika tidak membayar iuran, jangan harap kayu bisa diangkut,” ujar Irwan (Nama samaran).
Kasus lain lagi yaitu ketika akhir tahun 2004, tim Mabes Polri menangkap seorang perwira militer yang sedang mengiringi pengangkutan kayu dari Aceh Singkil menuju Medan. Terdapat lebih dari 20 ton kayu yang diangkut empat truk dengan nilai omset ratusan juta rupiah.
Jenis kasus yang agak aneh yakni di mana kepolisian Polda NAD membangun Markas Komando Brimob di Kecamatan Lembah Seulawah, Kabupaten Aceh Besar, hanya berbekal hak guna pakai lahan seluas lima hektar dari BPN di tahun 1975. Tetapi implementasinya berbeda, di mana Polda membuka hampir 13 hektar dengan menerapkan illegal logging. Polda NAD juga membangun Mako Brimob itu tanpa studi kelayakan dan AMDAL, sambil melanggar beberapa Surat Keputusan baik dari Dinas Kehutanan, Gubernur, hingga Menteri Kehutanan.
Kecamatan Cot Girek (Aceh Utara) dan Lokop (Aceh Timur) dikenal sebagai kawasan yang kaya hasil bumi, seperti sawit, pinang, dan kakao (biji coklat). Dulu wilayah ini termasuk kawasan “hitam” yang dikuasai GAM. Saking maraknya bisnis gelap di Lokop alias Kecamatan Serbajadi (Aceh Timur) ini, sampai-sampai Komandan Rayon Militer (Danramil) 04/Serba Jadi, Kapten Suyitno, dicopot dari jabatannya gara-gara kepergok mengumpulkan kayu curian, Oktober 2003.
Yang lebih menarik lagi hasil investigasi lapangan Mapayah, sebuah ornop lingkungan, di kawasan Seulawah (Aceh Besar) mendapatkan bisnis militer dalam pembabatan habis kawasan Seulawah, bahkan merambat ke hutan yang berdekatan dengan hutan lindung Seulawah. Mereka telah masuk ke hutan lindung itu bukan dengan izin HPH, tetapi hanya berbekal surat izin pemanfaatan kayu a/n Primkopau Lanud Sim. No 522.64/183/ipk/2006-v yang dikeluarkan oleh Kadishut Provinsi NAD. Perlu ditegaskan bahwa itu izin IPK bukan HPH. Luas areal yang diberikan oleh Dinas Kehutanan Provinsi NAD kepada TNI/AU diberikan secara acak, di mana pemanfaatan areal itu tidak dapat diprediksikan. Mapayah menemukan kayu yang dikeluarkan dari areal itu berjumlah 15 meter kubik per hari.
Penyelundupan Mobil Mewah dan Senjata
Pendapatan yang masuk ke kantong militer baik perorang maupun institusi tidak hanya dari illegal logging, perjudian, dan jasa keamanan, tetapi juga dari penyelundupan mobil mewah. Bisnis tersebut terletak di Pelabuhan Bebas Sabang. Semenjak disahkannya Sabang sebagai pelabuhan bebas (freeport) banyak sekali mobil mewah yang masuk ke Banda Aceh tanpa surat yang resmi, bebas berkeliaran di ibukota NAD itu.
Salah seorang petugas bea Cukai di Sabang bercerita tentang peranan militer dalam meloloskan beberapa mobil mewah ke wilayah Banda Aceh. Umumnya mobil yang masuk di Pelabuhan Sabang adalah eks mobil buatan dari Singapura. Kasus penyelundupan mobil yang melibatkan oknum berbaju hijau ini sudah lama jadi buah bibir di masyarakat Aceh. Aksi mereka lancar karena berkedok kepentingan operasi tertentu, dengan menumpang kebijakan kuota Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag).
Sebagaimana diketahui khalayak ramai Deperindag ketika itu memberikan kuota kepada TNI untuk mendatangkan mobil eks Singapura untuk transportasi operasi militer. Impor mobil dari pelabuhan Sabang lebih banyak keuntungan kalau dilihat dari sudut pandang matematis daripada didatangkan dari pulau Jawa. Keuntungannya antara lain harganya murah dan proses angkutnya pun lebih cepat dan efesien.
Sebagaimana diketahui dan telah menjadi buah bibir masyarakat Aceh, saat darurat militer, Depperindag memberikan kuota impor sebanyak 198 unit. Sementara tipe kendaraan yang tercantum dalam kuota itu adalah truk, ambulans L300, truk pemadam kebakaran, dan truk tangki minyak goreng. Semuanya didatangkan secara bertahap. Tetapi penyimpangan yang dilakukan oleh militer, yakni menyelundupkan mobil pribadi berjenis sedan.
Pasca darurat sipil mulai mencuat perseteruan antara penjabat pemerintah daerah dan penguasa darurat militer. Juga mulai mencuat perseteruan antara Bea Cukai dan Dinas Depperindag Aceh. Tapi mobil mewah terus saja masuk. Hebatnya, sampai batas waktu berakhir, aktivitas impor ini terus saja berlanjut. Indikatornya karena posisi militer sangat kuat, tak ada instansi yang berani protes (Tim Acehkita, 2005-05-02).
Setelah kasus tersebut mencuat ke ranah publik kasus, pejabat pemerintah daerah mulai berani buka-bukaan. Mereka mengungkapkan kepada pers tentang tingkah laku aparat berbaju loreng yang menyelewengkan kuota impor mobil. Lalu karena merasa bersalah atas tindakan bawahnya, Pangdam Iskandar Mayjen Muda Endang Surwarya berujar: ”Semua perwira akan saya tindak dengan tegas” (Majalah Acehkita edisi Mei 2005).
Pola penerapannya menggunakan tipe sampai barang baru mendapatkan fee dari pemilik mobil atau perusahaan mobil tertentu. Intinya mobil eks Singapura itu harus sampai ke daratan Aceh (Banda Aceh). Biasanya patokan standar harga untuk membayarnya sebesar Rp 5 juta hingga Rp 10 juta itu hanya fee belum termasuk keuntungan dari harga mobil tertentu.
Karena anggaran dari pelaksanaan operasi yang berterusan selama 12 bulan tidak dapat sepenuhnya diambil dari anggaran pertahanan, sebuah “peruntukan keuangan luar biasa” diizinkan. Pada akhir bulan Desember, pemerintah menyatakan pengeluaran dana operasi darurat militer mencapai Rp 10,5 triliun (Pernyataan pers DPR, 20 Mei 2004).
Komponen keamanan dalam operasi ini menerima alokasi dana terbesar: Rp 1,7 triliun untuk enam bulan pertama darurat militer. Perinciannya, Rp 1,2 triliun untuk tentara, dan Rp 500 miliar untuk polisi. Ini termasuk semua biaya operasional di lapangan, seperti logistik, amunisi, dan pergerakan persenjataan dan alat perang (Tempo, 26 Mei – 1 Juni 2003). Selanjutnya, pada bulan Juni 2003, pemerintah menyetujui permintaan Menteri Pertahanan dan Keamanan, Matori Abdul Jalil, untuk tambahan dana sebanyak Rp 1,23 triliun, di mana Rp 800 juta diperuntukkan lagi bagi polisi (Liputan 6 SCTV, 24 Juni 2003). Untuk jangka waktu enam bulan kedua, keuangan sedikit berkurang untuk tentara, yaitu Rp 1,5 triliun; sedangkan polisi menjadi Rp 534 milyar (Tempointeraktif, 14 November 2003). Jumlah keseluruhan dana yang digunakan untuk operasi militer dan polisi dalam satu tahun adalah Rp 5,764 triliun, dan sisanya Rp 4,736 triliun digunakan untuk komponen yang lain dalam operasi terpadu ini.
Dugaan yang meluas bahwa 20% dari alokasi dana darurat militer di Aceh telah disalahgunakan sepertinya diabaikan oleh pejabat pemerintah. Tidak ada audit publik dari jumlah sebenarnya yang dikeluarkan di Aceh dalam masa tersebut, dan juga tentang bagaimana dana tersebut digunakan. Lebih jauh lagi, ini kelihatan bahwa tidak ada audit di dalam pemerintahan, yang menimbulkan rasa curiga di kalangan banyak orang, bahwa biaya selama perang kenyataannya lebih tinggi dar pada Rp 10,7 triliun yang diumumkan dan ‘bocoran dana perang’ mungkin cukup signifikan.
Konflik yang berkepanjangan pun memaksa militer bermain di luar institusinya berupa bisnis ilegal penjualan senjata. Asumsinya mereka melakukan itu atas dasar keterbatasan biaya hidup, untuk kepentingan operasional TNI serta kepentingan politik pemerintah.
Hipotesis dari pemaparan di atas dapat dilihat bahwa, militer menggunakan anggaran dana perang untuk kepentingan perorangan petinggi militer serta untuk kepentingan bisnis tertentu.
Di Serambi Mekkah juga muncul wacana berupa rumor dari masyarakat pada umumnya, bahwa senjata milik para anggota GAM (Gerakan Aceh Merdeka) dipasok oleh tentara dan polisi. Sepucuk senjata dari TNI bisa dibeli seharga Rp 50 juta. Hampir tidak mungkin berbisnis di Aceh tanpa berhubungan dengan militer. Ada sebuah lelucon yang tercipta dari mulut masyarakat Aceh berupa “kalau bertugas ke Aceh, anggota TNI berangkat membawa M -16. tetapi setelah bertugas beberapa tahun di sana, pulang membawa 16 M” (maksudnya Rp 16 milyar).
Lahan Pertanian Bisnis Sampingan TNI
Memang kehidupan masyarakat Aceh selama kurun waktu konflik tidak hanya dari beberapa ranah yang dijelaskan awal pembukaan judul Pembagian Ranah Bisnis Militer saja, tetapi intervensi pihak militer terhadap kebijakan bidang pertanian pun menjadi lahan baru dalam bisnis militer berkedok pertanian. Umumnya komoditi pertanian yang menjadi bisnis militer antara lain, ganja, biji coklat (kakao), pala.
Komoditi ganja sudah menjadi rahasia umum adanya peranan dari pihak TNI untuk menyelundupkan ke daerah Jakarta, Medan dan beberapa daerah lain. Maka tidak heran bila tanaman ganja di Aceh tidak akan habis tuntas dalam pelaksanaan pemberantasan tanaman surgawi dunia tersebut.
Di beberapa daerah di kawasan Aceh barat Daya dan Aceh Selatan, oknum militer juga punya bisnis sendiri. Tak main-main, peraturan seperti warga memberi setoran untuk setiap hasil pala yang dipanen merupakan sistem keterpaksaan yang dilakukan oleh warga di Desa Alur Sungai Pinang, Blang Pidie, Aceh Barat Daya pada tanggal 9 November 2004.
Isi perjanjian hasil dari kesepakatan berisikan harga pala yang seharusnya Rp 7000 per kilogram hanya akan diterima petani Rp 6500 saja. Timbul pertanyaan kenapa? Karena Rp 500 harus disetor ke aparat dengan rincian Rp 300 untuk pembangunan desa Rp 200 untuk operasional aparat TNI.
Aceh Selatan dan Aceh Barat Daya sendiri dikenal sebagai wilayah penghasil pala terbesar di Indonesia setelah Maluku. Areal pertanian pala di dau kabupaten itu mencapai 5.000 hektar dengan hasil pertahun hingga 6.500 ton lebih. Kalau kita kaitkan dengan sistem yang diterapkan oleh TNI di sana, kalau ada sekitar 3.000 ton dari hasil pala itu yang dikenakan “upeti”, maka bisa dibayangkan beberapa penghasilan ”operasional aparat TNI” itu. Kalikan saja dengan Rp 200 per kg, maka akan ketemu angka Rp 600 juta per tahun omset yang diraih oleh militer ketika masuk ke lingkungan pertanian.
Sebuah contoh realitas berupa kejadian di sebuah perkebunan yang berlokasi di Desa Sineubok Aceh, Kecamatan Sungai Raya, Aceh Timur, terpaksa harus mengeluarkan biaya hingga Rp 6 juta per bulan untuk membayar tenaga pengamanan dari militer. Biaya tersebut memang tak terlalu besar bagi usaha perkebunan yang memiliki luas lahan 4.000 hektar. Namun bila di analisis dengan perhitungan angka maka dalam setahun pendapatan yang di terima oleh mereka berjumlah Rp 72 juta.
Namun belakangan ini jadi masalah, sebab justru oknum pengaman itu yang menjadi motor pencurian hasil pertanian dengan menggunakan jasa beberapa karyawan setempat yang bekerja di perkebunan itu.
Istilahnya, pagar makan tanaman. Kelapa sawit milik perusahaan itu dijarah dan dijual kepada tengkulak dengan harga murah. Aksi penjarahan ini sudah menjadi rahasia umum di kalangan pekerja. Tak ada yang berani bersuara, apalagi mengadukan kasus tersebut kepada pihak manajemen.
Di sektor agribisnis, kiprah para baju loreng biasanya lebih banyak di bidang hasil bumi. Di wilayah pedalaman, seperti Lokop (Aceh Timur) dan Cot Girek (Aceh Utara), oknum TNI mewajibkan warga lokal menjual hasil bumi kepada pengusaha atau tengkulak yang mereka tunjuk. Tak boleh menjual kepada orang lain. Jika menolak, bisa-bisa petani bersangkutan dituduh sedang mengupayakan logistik untuk GAM. Peristiwa seperti ini terjadi di sepanjang tahun pertama pemberlakuan darurat militer.
Akibatnya, warga yang ketakutan tak punya pilihan lain. Kalau sudah dimonopoli begini, maka harga jual pun menjadi murah, tergantung si tengkulak yang berbeking aparat. Di Cot Girek misalnya, kalau harga biji kakao (cokelat) kering di pasaran berkisar Rp 6750 per kg, maka kepada pengumpul yang ditunjuk, harga jualnya turun menjadi Rp 5.000 per kg.
Ada pula petani yang dipaksa menjual kakao dalam keadaan basah. Itu berarti harga jual semakin jatuh. Kakao dalam kondisi basah hanya dihargai sekitar Rp 1.500 per kg. Jika ada petani yang ngotot menjemur biji kakao, maka ia akan dikenakan denda Rp 1.000 per kilogram.
Pernah suatu ketika, seorang petani di Cot Girek, mengajukan keberatan dengan sistem paksa ini. Ia menolak menjual kakao kepada agen tunjukan oknum TNI. Apa yang terjadi? Tiga orang oknum berseragam mendatangi rumahnya dan memaksa petani itu melepas semua biji kakaonya. Seorang warga setempat kepada acehkita menuturkan, petani malang itu pun masih harus menerima tindak kekerasan.
Bisnis Militer Berwajah Perusahan
Bisnis Militer dapat dibedakan antara bisnis afiliasi dengan bisnis institusi, yaitu KODAM, KOREM, dan KODIM ; Usaha-usaha tersebut di miliki oleh Sanak Saudara atau Anggota keluarga dari para perwira tinggi; dan pinjaman property militer untuk perusahaan-perusahaan swasta.
Contoh kasus yang mencuat hasil investigasi tentang bisnis militer yang dilakukan oleh wartawan koran Acehkita yaitu hubungan khusus yang terjalin sinergis antara Husaini Setiawan dengan KOREM di Lhokseumawe. Teknis bisnisnya yaitu KOREM harus mendapatkan persetujuan dari KODAM Iskandar Muda.
Jenis usaha berkedok perusahan untuk kepentingan masyarakat kalangan umum yaitu membuka kembali lapangan golf di daerah kawasan Lhok Nga, tetapi orientasinya di tujukan untuk masyarakat kelas menengah dan tinggi. Ilustrasinya dari keuntungan tersebu secara otomatis pihak militer khususnya TNI mendapatkan uang sampingan. Hasil tersebut masuk ke kas institusinya.
Contoh lainnya adalah kilang penggergajian kayu di Jalan Kotalintang Bawah di Kota Kuala Simpang di wilayah Aceh Tamiang, yang mana tertutup dari segala jenis operasi legal maupun ilegal terlihat sebagai karet dan terjual ke masyarakat umum.
Tetapi menariknya ternyata konsep bisnis militer berkedok perusahan dilakoni juga oleh anak-anak Pangdam Iskandar Muda Jenderal Supiadin AS memperoleh keuntungan dari ikhmahnya keuntungan dari hasil rekonsturksi dengan memanfaatkan kroni-kroninya seperti Dek Gam, Dek Cut, melalui PT Sinar Desa dan Marzuki Bintang. Metodenya Pangdam memakai pihak ketiga dalam menjalankan bisnisnya.
PT Tusam Hutani Lestari salah satu bisnis militer milik Suharto dan keluarganya di daerah Takengon, kepemilikannya dikuasai oleh (Purn) Letnan Jenderal Prabowo Subianto dan saudara laki-lakinya, Hasyim Djojohadikusumo, berkantor di Jakarta.
Selain PT Tusam Hutani Lestari, juga ada perkebunan kayu gergajian dan kayu bahan kertas. Bahan baku kertas didistribusikan melalui beberapa perusahan, antara lain PT Alas Helau, PT Takengon Paper, dan PT Kertas Kraft Aceh yang semuannya hingga saat ini masih di bahwa manajemen kendali dari keluarga dan kroni Soeharto.
Di bidang proyek pemerintah, situasinya sama saja. Pemerintah Provinsi Aceh pernah menyorot tentang peranan oknum militer yang bermain di balik sejumlah tender konstruksi. Menurut sumber Majalah acekhita (02/05/05) di lembaga pemerintahan daerah, cara mereka sangat halus. Hanya menggunakan katebelece alias surat sakti yang isinya meminta kepada pihak Pemerintah Daerah agar memberi proyek kepada orang atau pengusaha lokal yang mereka tunjuk. Kuatnya peranan militer di Aceh memaksa kalangan pengusaha konstruksi ramai-ramai mendekatkan diri dengan perwira yang berpengaruh untuk memperoleh katebelece.
Suatu hari, tepatnya Sabtu, 24 April 2004, sebuah organisasi bentukan militer yang menamakan dirinya Berantas (Benteng Rakyat Anti-Separatis) menggelar “aksi massa” di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe. Setelah berorasi meminta agar darurat militer diperpanjang, Koordinator Berantas, Satria Insan Kamil, mendatangi gedung DPRD Aceh Utara dan menyerahkan pernyataan sikap.
Selain mengancam agar anggota DPRD mendukung perpanjangan darurat militer, Kamil yang juga mantan aktivis Kontras itu meminta secara terang-terangan kepada DPRD agar menekan pemerintah daerah untuk memberikan tender proyek-proyek pembangunan kepada Berantas. Menurut sumber Majalah acehkita (02/05/05), sebagian besar yang bermain dalam proyek seperti ini biasanya setingkat perwira menengah. Sudah tentu, setiap tender yang berhasil didapat, akan disertai fee yang harus dibayar kepada sang perwira.
Tak jelas, apakah ulah para personel TNI ini diketahui para jenderalnya (atau sebaliknya). Yang pasti, Pasal 39, Undang-Undang 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, jelas-jelas menyebutkan bahwa “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik; kegiatan politik praktis; kegiatan bisnis; dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.”
Bahkan PT Bravo Satria Perkasa kelompok usaha yang bergerak menangani masalah pemberian keamanan, tidak hanya itu saja mandat kerjanya, tetapi mengembangkan produk-produk berbasis elektronik pengamanan, sistem pengamanan dan juga manajemen SDM personil keamanan. Kepolisian bermain dalam mendapatkan lahan bisnisnya dengan bekerja sama dengan PT Bravo Satria Perkasa. Buktinya BRR menggunakan jasa tersebut. Bahkan tidak hanya BRR, tetapi bisnis yang berada di Aceh pun memakai usaha kolaborasi antara kedua bisnis itu, tetapi tetap berpegang kepada peraturan pokok penyelenggaraan keamanan swakarsa yang dikeluarkan Polri.
Bisnis Militer GAM Alat Perjuang
Dalam rentang konflik berbentuk perperangan antara pemerintah pusat dengan GAM telah menghabiskan dana pemerintah hampir kurang lebih Rp 3 trilyun. Saat ini pun akuntabilitas fihak militer tidak dituntut, sehingga publik menilai bahwa institusi militer tidak menjujung tinggi nilai supremasi keterbukaan. Memang dalam sebuah perperangan logistik dalam bentuk dana bertujuan membeli perlengkapan perang menjadi hal yang sifatnya ensesial, karena logiskti dana salah satu faktor kemenangan dalam peperangan.
Masa berjuang militer GAM pun dalam perperangan dengan pemerintah pusat yakni Jakarta membangun jaringan bisnisnya bertujuan untuk logistik perang. Kebanyakan konsentrasi dari bisnis militer GAM berada di luar negeri bukan di Aceh, tetapi ada juga bisnis militer GAM di Aceh itu juga jumlahnya hanya sedikit dari total keseluruhan.
Salah satu dari sekian banyak bisnis militer GAM sebagai alat penyokong perjuangan yaitu Pulo Gadeng. Perusahaan Pulo Gadeng dikelola oleh keluarga Muzakir Manaf. Fokus kegiatan perusahan meliputi mengimpor mobil-mobil bekas dari Singapura dan mengekspor biji pinang ke Malaka negara bagian Malaysia. Pasca perjanjian yang sangat sakral di Helsinki, Muzakir Manaf mengambilalih kepemimpinan seluruh grup di bawah bendera Pulo Gadeng, dengan posisi sebagai Direktur Utama atau CEO. Di bawah kepemimpinan dia dan direktur lainnya, yang bernama H. Tarmizi Yusdja dan Zulkifli bin Ubit, yang juga menjabat di dalam struktur kepengurusan perusahan Pulo Gedeng sebagai komisaris dari perusahan tersebut.
Melalui KM Pulau Weh yang di bawah bendera Pulo Gadeng dengan jalur bisnis masuk dari pintu Sabang. Ritme penjualan berkonsentrasi di negara Malaysia. Teknis penjualannya mengekspor kelapa, biji pinang, dan biji kopi dari pelabuhan Sabang dan Pulau Utama Aceh menuju ke Malaysia.
Tidak hanya itu saja Jatra III pun mengambil bagian dalam mengimpor mobil baru dan bekas dari Malaysia untuk masuk ke daratan Aceh. Jenis mobil antara lain, mulai dari Toyota Cygnus sampai ke BMW Seri 5 dengan plat nomor Malaysia untuk digunakan oleh petinggi GAM di Aceh (Intelijen, 30 Juni – 13 Juli 2006; 7)
Pemerintah baru di bawah pemimpinan Irwandi Yusuf dan M. Nazar yang sukses melalui jalur independen membuat program membuka kran bagi para investor guna mempercepar proses pembangunan Aceh pasca tsunami di sambut positif oleh para pebisnis baik dari kalangan luar negeri maupun dari pihak GAM sendiri.
Muzakir Manaf merespon kebijakan Irwandi Yusuf melalui cara memberikan peluang kepada investor untuk menanamkan modal di perusahan yang ia dirikan yaitu Grup Pulo Gadeng. Langkah itu di wujudkan secara nyata melalui konferensi press di Lhokseumawe hari Minggu, 8 April 2007 Untuk itu Muzakir Manaf mengumumkan beberapa bisnis baru di bawah bendera Pulo Gadeng akan mendirikan pabrik baja di daerah Krueng Raya (Aceh Besar).
Pabrik tersebut berencana memenuhi kebutuhan dari struktur baja untuk 30.000 rumah untuk para korban tsunami di Pidie, Aceh Besar dan Kota Banda Aceh serta sekitarnya yang terkena ekses gempa dan tsunami. Di lain fihak Muzakir Manaf akan membangun zona makan hewan dan pabrik plastik (Serambi Indonesia, 8 Febuari, 9-10 April 2007)
Hikmah dari perdamaian bagi perusahan yang dikelola pihak GAM. Pulo Gadeng makin melebarkan sayap bisnisnya sehingga banyak lahir anak perusahaannya. Pabrik bajanya yang telah selesai dibangun selain di Aceh Besar juga di Arongan Lambalek (Aceh Barat), yang telah menjalankan produksinya dengan merk Ubong Beusoe. Produknya bahkan telah digunakan BRR guna membangun rumah di wilayah Meulaboh, sejak pertengahan Maret 2007.
Selanjutnya di daerah Aceh Tengah rencananya Pulo Gadeng akan membangun kompleks peristirahatan di perbukitan Takengon. Tidak hanya itu saja rencana kongkritnya lagi yaitu membangun lahan pertanian, untuk mengekspor kentang dan sayur mayur ke Malaysia, di bawah MoU yang telah ditandatangani dengan pebisnis dari Malaysia (idem)
Lebih jauh untuk mempromosikan perdagangan ekspor dan impor Aceh, Pulo Gadeng juga merencenakan untuk meningkatkan fasilitas pelabuhan Malahayati, yang merupakan bagian dari kawasan industri Kreung Raya, dengan cara memasang derek berdaya angkat beban sampai 150 ton di pelabuhan, dengan harapan selesai akhir April 2007. Untuk itu, bahan-bahan bangunan juga dapat di tingkatkan dan di peroleh dari kapal-kapal yang merapat di pelabuhan tersebut (idem)
Berada di bawah payung Pulo Gadeng adalah PT Bank Perkereditan Rakyat Syariah (BPRS) Samudra Niaga; PT Matangkuli Perdana; PT Krueng Kureutou; PT Pandu Buana Nusantara; CV Aneuk Piranha, dan CV Mawar Sejati (Serambi Indonesia. 8 Febr 2007, iklan)
Perusahaan lain yang juga mengikut sertakan para mantan perwira GAM adalah Aceh World Trade Center (AWTC) Dagang Holding, PT Aneuk Nanggroe Expedition Bireuen, PT Megah Mulia, dan PT Halimun Meugah Raya, AWTC di pimpin oleh Nurdin Abdul Rahman, Mantan kepala GAM untuk Malaysia dan Australia. Beliau menandatangani MoU dengan Mohd. Khairuddin bin Othman, General Manager PPLM (Perusahaan Pengakutan Laut Malaysia) di Kuala Lumpur pada tanggal 15 January 2006, untuk mempromosikan pengapalan penumpang dan barang-barang dari pelabuhan Nottingham di pulau Penang Malaysia. Atas persetujuan , Jatra III berlayar seminggu sekali dari Penang sampai Krueng Geukeuh di Lhokseumawe tiap hari Sabtu, yang sudah dimulai Sabtu, 29 January 2006 (Intelijen, 30 June-13 July 2006: 6)
Kemudian, sesuai dengan namanya, PT Aneuk Nanggroe Expedisi Bireuen, beroperasi dari Bireuen, dan dipimpin oleh Tengku Yusuf Abdul Wahab. Di Pidie seorang mantan anggota garis keras GAM aktif bekerja menangani kontrak-kontrak bangunan. PT Halimun Meugah Raya juga aktif di daerah yang sama, Pidie, dan dimiliki oleh mantan pejuang GAM, sebagai pemasok pasir untuk kontrak-kontrak tehnik sipil. Mantan anggota Inong Bale, lasykar perempuan GAM, juga ikut terlibat di PT Halimun Meugah Raya, yang dipimpin oleh Said Rizal Pahlepi, dan berlokasi di Meutiara, Beureuneung (Intelijen, 30 June-13 July 2006:7)
Mantan komandan GAM yang lain juga telah mendirikan perusahaan-perusahaan untuk mereka sendiri sebagaimana untuk meningkatkan kondidsi perekonomian para pengikut mereka, ketua KPA untuk Pase, Tengku Zulkarnaen, mengkoordinasikan formasi dari perusahaan-perusahaan tersebut untuk mengadakan perjanjian dagang dan bengkel kerja di daerah Pase dan Lhokseumawe, dengan meminta para mantan anggota TNA untuk memberikan sumbangan sebesar Rp 12 juta untuk masing-masingnya. Setiap anak perusahaan mengkover sebagan besar tempat di daerah Pase, seperti di Matangkuli, Gendong, Pantonlabu, Tanah Jambo Aye dan pedesaan di Sawang. Sementara itu Teungku Nahsiruddin bin Ahmed, seorang mantan negotiator GAM di Helsinki, telah mendirikan perusahaan bahan bangunan milinya sendiri. (idem)
Belum lagi petinggi GAM yang dicalonkan berpasangan dengan M.Nazar pada konferensi GAM di Dayan Dawood Center yaitu Nashruddin bin Ahmed seorang pebisnis militer dari GAM. Ruang lingkup dari Tgk Nas meliputi bisnis pabrik batu bata dan bisnis multilevel marketing. Tgk Nas memang sangat berjasa dalam membangun GAM dalam bentuk menyumbang hasil bisnisnya untuk kepentingan perjuangan GAM melawan pemerintah pusat.
Referensi Pustaka
Aditjondro, George Junus (2005).”Menghadapi gelombang tsunami kedua: Studi kasus rekonstruksi Aceh, pasca-Helsinki.” Sociae Polites, Jurnal Ilmiah Ilmu Sosial dan Politik.
————– (2006). Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga, Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Yogyakarta: LKiS.
Cochrane, Joe (2002), “A Military Mafia”, Newsweek, August 26.
Crouch, Harold (1999). Militer dan Politik di Indonesia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. Cetakan Kedua.
Iswandi (2000). Bisnis Militer Orde Baru. Remaja Rosdakarya. Bandung.Cetakan Kedua.
Kholik, dkk. Saatnya Militer Keluar dari Kancah Politik. PSPK. Jakarta. 2000.
Koran Tempo, 1 Agustus dan 28 Desember 2001.
McCullough, Lesley, “Trifungsi: The Role of The Indonesian Military in Business”, 2000, hal. 30.
Samego, Indria, dkk. Bila ABRI Berbisnis. Mizan. Bandung. 1999. Hal. 97.
Sudarsono, Juwono. “The Military and Indonesia’s Democratic Prospects”, 2000
McCulloch, Lesley, “Greed:The Silent Force of The Conflict in Aceh”, paper presented at the Asian Studies Association of Australia, 1-3 July 2002. Hal. 11.
Cochrane, op cit.
McCulloch, 2002. Hal.
Majalah Forum, 16 November 2001.
Serambi Indonesia 25/4/04, 8 Febuari, 9-10 April 2007
Intelijen, 30 Juni – 13 Juli 2006; 7.
Majalah acekhita 02/05/05
Tempo, No. 13, 26 Mei – 1 Juni 2003
http:// www.acehkita.com 02/05/05
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0305/04/Fokus/290292.htm – 46k
http://www.bspguard.com/berita/?isi_id=1
Bisnis Militer Berwajah Perusahan
Bisnis Militer dapat dibedakan antara bisnis afiliasi dengan bisnis institusi, yaitu KODAM, KOREM, dan KODIM ; Usaha-usaha tersebut di miliki oleh Sanak Saudara atau Anggota keluarga dari para perwira tinggi; dan pinjaman property militer untuk perusahaan-perusahaan swasta.
Contoh kasus yang mencuat hasil investigasi tentang bisnis militer yang dilakukan oleh wartawan koran Acehkita yaitu hubungan khusus yang terjalin sinergis antara Husaini Setiawan dengan KOREM di Lhokseumawe. Teknis bisnisnya yaitu KOREM harus mendapatkan persetujuan dari KODAM Iskandar Muda.
Jenis usaha berkedok perusahan untuk kepentingan masyarakat kalangan umum yaitu membuka kembali lapangan golf di daerah kawasan Lhok Nga, tetapi orientasinya di tujukan untuk masyarakat kelas menengah dan tinggi. Ilustrasinya dari keuntungan tersebu secara otomatis pihak militer khususnya TNI mendapatkan uang sampingan. Hasil tersebut masuk ke kas institusinya.
Contoh lainnya adalah kilang penggergajian kayu di Jalan Kotalintang Bawah di Kota Kuala Simpang di wilayah Aceh Tamiang, yang mana tertutup dari segala jenis operasi legal maupun ilegal terlihat sebagai karet dan terjual ke masyarakat umum. Tetapi menariknya ternyata konsep bisnis militer berkedok perusahan dilakoni juga oleh anak-anak Pangdam Iskandar Muda Jenderal Supiadin AS memperoleh keuntungan dari ikhmahnya keuntungan dari hasil rekonsturksi dengan memanfaatkan kroni-kroninya seperti Dek Gam, Dek Cut, melalui PT Sinar Desa dan Marzuki Bintang. Metodenya Pangdam memakai pihak ketiga dalam menjalankan bisnisnya.
PT Tusam Hutani Lestari salah satu bisnis militer milik Suharto dan keluarganya di daerah Takengon, kepemilikannya dikuasai oleh (Purn) Letnan Jenderal Prabowo Subianto dan saudara laki-lakinya, Hasyim Djojohadikusumo, berkantor di Jakarta.
Selain PT Tusam Hutani Lestari, juga ada perkebunan kayu gergajian dan kayu bahan kertas. Bahan baku kertas didistribusikan melalui beberapa perusahan, antara lain PT Alas Helau, PT Takengon Paper, dan PT Kertas Kraft Aceh yang semuannya hingga saat ini masih di bahwa manajemen kendali dari keluarga dan kroni Soeharto.
Di bidang proyek pemerintah, situasinya sama saja. Pemerintah Provinsi Aceh pernah menyorot tentang peranan oknum militer yang bermain di balik sejumlah tender konstruksi. Menurut sumber Majalah acekhita (02/05/05) di lembaga pemerintahan daerah, cara mereka sangat halus. Hanya menggunakan katebelece alias surat sakti yang isinya meminta kepada pihak Pemerintah Daerah agar memberi proyek kepada orang atau pengusaha lokal yang mereka tunjuk. Kuatnya peranan militer di Aceh memaksa kalangan pengusaha konstruksi ramai-ramai mendekatkan diri dengan perwira yang berpengaruh untuk memperoleh katebelece.
Suatu hari, tepatnya Sabtu, 24 April 2004, sebuah organisasi bentukan militer yang menamakan dirinya Berantas (Benteng Rakyat Anti-Separatis) menggelar “aksi massa” di Lapangan Hiraq, Lhokseumawe. Setelah berorasi meminta agar darurat militer diperpanjang, Koordinator Berantas, Satria Insan Kamil, mendatangi gedung DPRD Aceh Utara dan menyerahkan pernyataan sikap.
Selain mengancam agar anggota DPRD mendukung perpanjangan darurat militer, Kamil yang juga mantan aktivis Kontras itu meminta secara terang-terangan kepada DPRD agar menekan pemerintah daerah untuk memberikan tender proyek-proyek pembangunan kepada Berantas. Menurut sumber Majalah acehkita (02/05/05), sebagian besar yang bermain dalam proyek seperti ini biasanya setingkat perwira menengah. Sudah tentu, setiap tender yang berhasil didapat, akan disertai fee yang harus dibayar kepada sang perwira.
Tak jelas, apakah ulah para personel TNI ini diketahui para jenderalnya (atau sebaliknya). Yang pasti, Pasal 39, Undang-Undang 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, jelas-jelas menyebutkan bahwa “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan menjadi anggota partai politik; kegiatan politik praktis; kegiatan bisnis; dan kegiatan untuk dipilih menjadi anggota legislatif dalam pemilihan umum dan jabatan politis lainnya.”
Bahkan PT Bravo Satria Perkasa kelompok usaha yang bergerak menangani masalah pemberian keamanan, tidak hanya itu saja mandat kerjanya, tetapi mengembangkan produk-produk berbasis elektronik pengamanan, sistem pengamanan dan juga manajemen SDM personil keamanan. Kepolisian bermain dalam mendapatkan lahan bisnisnya dengan bekerja sama dengan PT Bravo Satria Perkasa. Buktinya BRR menggunakan jasa tersebut. Bahkan tidak hanya BRR, tetapi bisnis yang berada di Aceh pun memakai usaha kolaborasi antara kedua bisnis itu, tetapi tetap berpegang kepada peraturan pokok penyelenggaraan keamanan swakarsa yang dikeluarkan Polri.
Average Rating