Analisis Pemilu 2009 di Aceh
Oeh: Aryos Nivda
Menilai kondisi pemilu di Aceh, dalam maksud mengukur kemajuan dan peningkatan kualitas demokrasi secara holistik dan bersubtansi, haruslah juga didasari pada kondisi realitas di Aceh menjelang pemilu. Tingkat kemajuan demokrasi harus disimpulkan dari landasan teoritis dan empiris. Berbagai pengalaman pemilu yang terjadi, akan bisa menjadi pengalaman berdemokrasi di daerah lain. Tingkat partisipasi masyarakat untuk menjaga agar pemilu berlangsung damai, juga harus dicatat sebagai sebuah langkah maju berdemokrasi di Aceh. Maka semangat untuk menjadikan proses demokratisasi Aceh sebagai pilot project untuk demokratisasi indonesia akan lebih kontektual.
Konsepsi demokrasi secara harfiah mengandung azas dasar kedaulatan rakyat menentukan jalannya roda kepemerintahan. Perwujudan azas kedaulatan rakyat ini dalam kehidupan pemerintahan sehari-hari tergambar dari dilibatkannya rakyat secara konsisten dalam memutuskan kebijakan-kebijakan pemerintahan. Ukuran kedaulatan rakyat diukur dari semakin besarnya porsi peran yang dimainkan oleh rakyat, serta semakin selarasnya kepentingan rakyat dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Disinilah, partai politik harus memainkan peran, yaitu menjembatani kepentingan rakyat untuk dapat diwujudkan dalam sebuah kebijakan.
ACSTF menilai, walaupun terdapat banyak pandangan tentang partai politik, baik partai politik baru (lokal dan nasional) maupun partai politik lama, ada satu keseragaman dalam pandangan itu, bahwa partai politik memiliki sejumlah fungsi dalam memperjuangkan kepentingan publik melalui kebijakan diparlemen. Mereka harus berkompetisi untuk menarik mandat politik rakyat melalui pemilu. Legitimasi politik ini akan didapat melalui proses sosialisasi dan komunikasi politik yang dilakukan. Partai politik harus bisa menjalankan fungsi untuk komunikasi politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, sosialisasi politik, rekruitmen politik, dan pengatur konflik.
Kondisi demokrasi di Aceh ibarat sedang menghitung hari untuk menuju tahapan ujian baru, pemilihan umum tahun 2009 akan menjadi tahapan ujian terdepan yang akan dilalui. Mendorong pemilu damai, haruslah didasari pada pengimplimentasian nilai – nilai demokrasi yang dijalankan secara santun dan beretika. Saling menghargai dan bertoleransi antara seluruh instrumen peserta pemilu haruslah didorong, karena merupakan prasyarat mutlak untuk harmonisnya relasi antara seluruh personal yang terlibat dan berkepentingan dalam proses pemilu.
Kekhasan Aceh pada pemilu 2009 nanti adalah hadirnya partai lokal (parlok-red) yang juga akan berkompetisi sebagai peserta pemilu. Parlok akan bersaing untuk menarik simpati massa bersama-sama dengan partai nasional (parnas-red). Hal menarik dari pendirian parlok, adalah karena inisiator dari parlok ini mayoritas kelompok yang berasal dari kekuatan non mainstrem terdahulu. Mereka berasal dari orang-orang yang dulunya tidak sepakat dengan pola politik mainsteam. Kemudian mereka juga berorientasi menjadikan parlok sebagai antitesis dari parnas. Sehingga akan bisa lebih menjalan fungsi dan tanggung jawab kepartaiannya terhadap publik. Ditambah lagi mereka membungkus visi dan misinya untuk menarik perhatian masyarakat Aceh agar kelak memilihnya. Benderanya dan lambangnya pun kian bertebaran sepanjang jalan dan persimpangan di Aceh.
Secara historis dan legalitas formal, lahirnya Parlok di Aceh didasari pada rekomendasi yang tertuang pada kesepakatan damai (MoU) di Helsinki point 1.2.1, kemudian dikuatkan dengan penekanan secara legalitas policy dalam UU Pemerintahan Aceh (UU No. 11 Tahun 2006). Antusias komponen Aceh dalam pembentukan partai lokal cukuplah signifikan. Inisiatif pembentukan parlok di Aceh aawalnya mencapai angka 15 – 20 buah, yang kemudian 14 parlok dinyatakan lulus pada pengujian Depkum HAM. Kemudian melalui proses verifikasi faktual sesuai dengan aturan perundang-undangan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP), menetapkan hanya 6 partai lokal yang memenuhi persyaratan sebagai peserta pemilu 2009, yaitu Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh (PA), Partai Aceh Aman Sejahterah (PAAS), Partai Suara Independent Rakyat Aceh (SIRA), Partai Bersatu Aceh (PBA), dan Partai Daulat Aceh (PDA). Seluruh partai ini ditetapkan melakukan pengambilan no. Urut di kantor KIP Aceh. No. Urutan sebagai peserta pemilu dari parlok ini dimulai dari urutan sesudah No. 34 (no. Urut terakhir dari parnas yang menjadi peserta pemilu – sebelum ada perubahan sesuai kebijakan MK).
Pembentukan Parlok adalah juga bagian dari proses reintegrasi di Aceh, tepatnya reintegrasi politik. Reintegrasi tidak boleh hanya difokuskan pada basis ekonomi saja, tetapi harus juga bisa masuk keranah politik, sosial dan budaya. Parlok harus bisa mentransformasikan sistem dan budaya politik mainstrem ke sistem dan budaya politik ke Acehan yang lebih berperspektif damai berkelanjutan. Proses reintegrasi politik di Aceh pasca penanda tanganan damai sebenarnya sudah diawali dengan perubahan struktur GAM menjadi Komite Peralihan Aceh (KPA) sebagai upaya (tahapan) trasformasi kaum militer ke masyarakat sipil, kemudian pilkada dengan partisipasi calon independent (bahkan pemenang pilkada provinsi dan beberapa kabupaten/kota), dan berikutnya adalah pembentukan dan berkompetisinya partai politik lokal pada pemilu 2009 nanti.
Pertanyaanya adalah apakah parlok dan parnas bisa menjaga etika berdemokrasi?. Dapatkan parlok memberikan pendidikan politik bagi masyarakat Aceh yang merupakan jawaban terhadap stagnasinya proses pendidikan politik oleh parnas? Kemudian, apakah yang sudah digagas dan diprakarsai oleh parlok ini bisa menjadi motivasi bagi parnas untuk berbenah dan memperbaiki komunikasi politiknya. Karena kehadiran parlok haruslah diarahkan kearah itu, dan terakhir apakah seluruh parlok mampu mematuhi dan taat dengan segala ketentuan hukum yang berlaku di republik ini?. Tugas itu tidaklah hanya menjadi tanggung jawab partai politik, namun juga harus bisa menjadi tanggung jawab komponen demokratis lain baik di Aceh maupun diluar Aceh. Karena kepentingan mendemokratiskan Aceh adalah kepentingan seluruh pihak.
Kampanye Berbumbu Kekerasan
Setelah KPU (di Aceh KIP –red) memberikan lampu hijau untuk berkampanye bagi seluruh partai peserta pemilu, ada fenomena kurang baik yang masih terjadi ditanah damai ini (Aceh-red). Berbagai bentuk intimidasi yang dilakukan oleh parnas dan parlok seakan lazim dalam kultur sosial masyarakat Indonesia, bahkan akhir-akhir ini parlok yang awalnya kita harapkan sebagai partai yang berorientasi menjadi partai masa depan yang demokratis dan lebih punya tanggung jawab politik kepada konstituen di Aceh, juga terindentifikasi melakukan beberapa intimidasi. Pembakaran bendera dan penghilangan atribut partai yang dianggap saingannya dilakukan oleh anggota partai politik di Aceh. Bahkan sampai ada intimidasi fisik. Sadar atau tidak, prilaku itu ditakutkan akan mengarah pada kondisi oligarki politik. Dengan hilangnya etika berdemokrasi secara santun, akan menambah rumit masa depan demokrasi di Aceh.
Banyak juga politisi yang dulunya dipartai nasional, kini bergabung dalam parlok. Bahkan ada partai lokal yang mayoritas pendirinya adalah politisi mainstrem (berasal dari partai nasional). Beragam alasan yang dipakai untuk men-justifikasi sikap dan strategi politik mereka. Dari alasan pragmatis sekedar berubah baju, karena pencitraan publik terhadap parnas sudah semakin menurun, maka dengan bergabung ke Parlok akan membuka kembali peluang untuk menjadi anggota legislatif diperiode mendatang, sampai pada alasan yang lebih ideologis, misalkan partai lokal akan lebih merekatkan relasi antara partai dengan konstituen, otoritas tertinggi kebijakan partai hanya dilevel Aceh dan akan lebih mengoptimalkan perjuangan untuk kepentingan masa depan Aceh. Dari hasil pengamatan ACSTF, meskipun alasan yang logika dan lebih ideologis tentang pilihan dari politisi lama untuk bergabung dan mendirikan partai lokal, namun pandangan miris dan skeptis yang lebih dominan tersampaikan dari publik terhadap sikap politik mereka. Padangan miris tentang ketidak percayaan publik, dan terlihat ambigulah yang sering tersurat. Baik itu dari publik parnas, dan juga publik parlok.
Indikasi lain yang didapati dalam masa konsolidasi politik seluruh partai politik yang akan ikut menjadi peserta pemilu 2009 di Aceh, bahwa ada parlok-parlok yang sudah didekati intensif oleh parnas untuk kolaborasi. Bentuk kerjasamapun beragam, ada yang kerjasama antara calon anggota legislatif (caleg DPR RI dengan caleg DPRA dan DPRK), namun ada juga kerjasamanya sudah menjurus pada kerjasama partai. Kerjasama ini juga dengan berbagai kepentingan, ada kepentingan untuk sinegisitas dan membangun relasi yang baik dengan lebih jangka menengah, serta ada juga hanya untuk kepentingan sesaat partai, berupa kebutuhan dukungan logistik kampanye. Jika relasi ini tidak cepat tersadarkan pada arah yang lebih konstruktif dan tidak saling meredusir, bisa-bisa partai – partai lokal yang ada di Aceh hanya sebagai cabang dari berbagai parnas yang berhasil menggaetnya. Sehingga mimpi menjadikan kelahiran parlok di Aceh menjadi model perbaikan demokrasi Indonesia menjadi utopi kembali.
Analisis Keadaan
Berdasarkan sejumlah realitas, pertanyaan besar yang terlontar dalam benak insan Aceh adalah, bisakah Pemilu 2009 dapat dilaksanakan secara damai dengan menjunjung tinggi nilai – nilai demokrasi?.
Proyeksi terhadap kondisi di Aceh menjelang, saat dan sesudah pemilu dilandasi pada beberapa momentum dan sudut pandang. Bahwa dengan hadirnya nota kesepakatan damai (MoU Helsinki) antara pemerintah RI dengan GAM, yang kemudian beberapa rekomendasi kebijakannya dijabarkan dalam UU Pemerintahan Aceh, telah semakin meningkatan kepercayaan diri dari seluruh komponen masyarakat Aceh untuk terus peduli pada keberlanjutan damai diAceh. Kemudian, rekomendasi untuk boleh dibentuknya partai lokal di Aceh, telah menjadikan seluruh aspirasi dan inisiatif berpolitik rakyat Aceh tertampung pada institusi politik baru yang lebih dipercaya, merupakan 2 hal penting yang menjadi kekuatan dan modal untuk secara bersama menjaga pemilu berlangsung damai dan demokratis.
Disamping itu, juga ada kelompok yang tidak rela dan siap berdemokrasi serta tidak rela dengan perubahan mainstrem yang sedang berlangsung ini, sehingga melakukan berbagai upaya propaganda untuk merusak konsolidasi politik seluruh di Aceh. Ada juga yang merasa seolah proses politik kedepan ini hanya milik segolongan orang, kemudian cenderung melakukan intervensi terhadap kelompok lain. komunikasi politik dan kerukunan politik yang belum terjalin diantara parlok dan parnas, pendidikan politik yang masih belum begitu meluas, keberpihakan pejabat di daerah terhadap parlok tertentu. Merupakan serangkaian realitas yang masih dan telah menjadi kelemahan pemilu mendatang.
Pemilu 2009 akan menjadi momentum penting bagi Aceh dan Indonesia karena dipantau pihak asing, sehingga kebutuhan untuk melaksanakan Pemilu damai adalah keniscayaan, dan merupakan peluang bagi perbaikan kualitas sebuah proses demokrasi di Aceh. Disisi lain, saat ini juga masih terjadi berbagai jenis gangguan Kamtibmas, berbagai bentuk kriminalitas masih sering terjadi, bahkan senjata api illegal masih beredar di Aceh. Dalam beberapa bulan terdahulu, peningkatan kriminalitas sangat signifikan berlangsung di Aceh, dan ini semua merupakan bentuk ancaman terhadap pelaksanaan pemilu yang diharapkan damai dan demokratis di Aceh.
Itulah wajah Aceh menjelang pesta demokrasi 2009. Berbagai realitas yang sudah dan mungkin terjadi di tanah rencong ini. Kemudian kita semua haruslah menentukan posisi kita, posisi untuk berkontribusi menjaga agar pemilu damai dan demokratis, serta jangan sampai terlalu banyak kita dan rakyat Aceh dijadikan boneka kaum politisi jampoek. Tentunya, kita juga harus bangga dan berlomba menjadi Mitra atau minimal konstituen dari kaum politisi baru yang lebih visioner dan punya harapan untuk memperbaiki wajah pembangunan dan demokrasi Aceh kedepan.
(Koran Acehkita, Edisi No 11 tahun ke 4 Minggu Ke II Oktober 2008)
Average Rating